Pembagian Harta Gonogini
Menurut Anshary, ketentuan tentang harta gonogini jelas sudah diatur dalam hukum positif di Indonesia, bahwa harta yang boleh dibagi secara bersama bagi pasangan suami isteri yang bercerai hanya sebatas pada harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan. Adapun harta bawaannya tetap dibawah kekuasaan masing-masing pihak. UU perkawinan mengatur yang demikian dalam pasal 37 sebagai berikut: "bila perkawinan putus karena sebuah perceraian, harta gonogini diatur menurut hukumnya masing-masing". Maksud dari bunyi "hukumnya masing-masing" harus terlebih dahulu melihat penjelasan dari pasal tersebut. Dalam penjelasan pasal itu, " yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya".
Dengan begitu, penyelesaian harta gonogini suami dan istri dapat diselesaikan dengan tiga alternatif hukum, yaitu berasarkan hukum agama, hukum adat, atau hukum yang lainnya. Bagi umat muslim, begitu pula bagi masyarakat yang masih berpegang teguh secara ketat kepada sebuah adat, selama ia masih beragama islam maka jika terjadi sengketa pembagian harta gonogini akan diselesaikan berdasarkan hukum islam. Sedangkan bagi masyarakat adat yang tidak beragama islam, maka akan diselesaikan berdasarkan hukum adat mereka selama hal itu tidak diatur dalam ajaran agama mereka.
Di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, harta benda perkawinan dalm UU perkawinan hanya diatur dalam tiga pasal saja, yaitu pasal 35 samai pasal 37 UU perkawinan. Pasal 35 mengatur hal-hal sebagaimana berikut:
- Harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta gonogini
- Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah kekuasaan masing-masing sepanjang tidak menentukan lain.
Harta benda perkawinan menurut UU perkawinan terbagi menjadi dua golongan, yaitu harta asal atau harta bawaan dan harta gonogini atau sering disebut juga dengan harta gono-gini. Pasal diatas dengan tegas mengatur soal pembagian harta gonogini akibat perceraian, dan dari pasal tersebut juga dapat ditarik empat garis hukum. Pertama, harta gonogini dapat dibagi ketika terjadi kasus perceraian hidup dan mati. Kedua, besaran perolehan dari harta gonogini masing-masing suami istri mendapat seperdua bagian. Ketiga, dalam ksus cerai mati, yang akan mendapat harta gonogini adalah para ahli warisnya. Keempat, untuk menentukan harta gonogini tidak perlu memperhitungkan siapa yang lebih dominan dalam berusaha. Artinya, selama harta benda itu diperoleh selama ikatan perkawinan, maka dihitung sebagai harta gonogini tanpa menghiraukan siapa yang lebih dominan di dalam berusaha.
Bagi orang-orang yang beragama islam, dengan sendirinya menyelesaikan pembagian harta gonogini dengan menggunakan aturan-aturan hukum agama islam yaitu hukum islam. Di Indonesia, dalam bidang harta gonogini, umat islam di Indonesia telah berhasil merumuskan hukum-hukum normatif yang terdapat di dalam Al-Qur'an, Al-Hadist, dan doktrin-doktrin Ulama fikih yang termuat di dalam kitab-kitab fikih menjadi hukum nasional dan merupakan hukum materiil bagi badan Pengadilan Agama dalam melaksanakan tugas-tugas yudisialnya juga untuk menyelesaikan sengketa harta gonogini antara umat islam.
Bagi bangsa Indonesia yang bukan beragama islam, kecuali mereka yang tunduk kepada hukum adatnya dan selama hukum agamanya tidak menentukan lain, maka harta gonogini dibagikan mengacu kepada ketentuan pasal 128 KUH perdata yang berbunyi: "Setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka masing-masing, dengan tak memperdulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang itu diperolehnya".
Dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang istri tidak mempunyai kewajiban mencari nafkah untuk keluarga, karena tugas istri itu adalah mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Tetapi jika sang istri ingin melakukan kontribusi untuk ikut mencari nafkah membantu suami, maka itu merupakan satu hal kebaikan yang dilakukan oleh seorang istri, dan bukan merupakan kewajiban seorang istri. Ketentuan pasal 34 ayat (2) UU perkawinan, yaitu istri bertugas untuk mengatur urusan rumah tangga, sedangkan suaminya berusaha mencari nafkah untuk keluarga, tetapi jika terjadi satu perceraian, istri akan tetap dapat bagian yang sama dengan bagian yang diterima suaminya, yaitu masing-masing mendapat bagian yang sama. Karena yang dimaksud dengan istilah bekerja mencakup juga tugas-tugas domestik mengatur urusan rumah tangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H