Tentang Neomodernisme Islam
Pengkajian tentang neomodernisme Islam di Indonesia memang belum dilakukan secara lebih sistematis dan mendalam. Akan tetapi arahan-arahan pengantar yang mempermudah pemahaman tentang konsep ini pernah dilakukan oleh sebagian ilmuwan muda Muslim yang progresif dan dinamis. Di antaranya adalah Taufik Adnan Amal, sarjana Syariah lulusan 1988, dalam bukunya Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman (1987), juga Ahmad Amir Aziz, yang memperoleh dana bantuan penelitian dari Toyota Foundation pada 1997, dengan tema Pengaruh Pemikiran Fazlur Rahman terhadap Gerakan Pemikiran Neomodernisme Islam Indonesia (1997). Untuk mengkaji lebih jauh tentang konsep ini, ada baiknya diidentifikasi terlebih dulu peta-peta gerakan intelektualisme di dunia Islam. Rahman, dalam hal ini, membaginya ke dalam empat gerakan (Amal,1987:17-20).
Pertama, revivalisme pramodernis yang muncul pada abad ke-18 dan ke-19 di Arabia (oleh Muhamad Abdul Wahab dengan Wahabiyyah-nya), di India (pimpinan Syaikh Wali Allah), dan di Afrika (oleh Muhamad Ali al-Sanusi dengan Sanusiah-nya). Di antara ciri umum gerakan ini adalah : 1) anjuran untuk kembali kepada Islam sejati (Quran dan Sunnah) serta melenyapkan takhyul dan khurafat; 2) anjuran melenyapkan predeterministik; 3) anjuan untuk melakukan jihad, jika perlu dengan senjata.
Kedua, modernisme klasik yang muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di bawah pengaruh ide-ide Barat. Di antara ciri menonjol  dari gerakan ini adalah perluasan makna ijtihad yang antara lain meliputi hubungan antara akal dan wahyu, pembaharuan pranata sosial seperti pendidikan, politik, dan bentuk pemerintahan representatif dan konstitusional. Gerakan ini dapat dilihat misalnya di Mesir dan Turki dengan tokoh-tokohnya antara lain :al-Tahtawi, Jalaluddin al-Afghani, Muhamad Abduh, Sultan Mahmud II, Mustapa Kemal, dan lainnya.
Ketiga, neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis yang dicirikan antara lain dengan gagasan demokrasi dan praktiknya serta bentuk lembaga pendidikan Islam yang mengalami modernisasi. Gerakan ini juga mendasari dirinya pada basis pemikiran modernisme klasik bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kolektif. Namun karena usahanya untuk membedakan diri dari Barat, maka neorevivalisme merupakan reaksi terhadap modernisme klasik. Tema-tema pipuler gerakan ini antara lain: bunga bank tidak sah menurut hukum Islam, tidak mengenakan busana Muslimah dan ikut KB adalah dosa besar, dll.Â
Keempat, neomodernisme yang muncul dari pengaruh sekaligus pengkritik neorevivalisme. Rahman sendiri mengklaim dirinya sebagai "juru bicara" gerakan ini. Bagi Rahman, meskipun modernisme klasik telah benar dalam semangatnya, namun ia memiliki dua kelemahan mendasar yang menyebabkan reaksi dengan munculnya neorevivalisme. Pertama, ia tidak menguraikan  secara tuntas metodenya dalam menangani permasalahan-  permasalahan umat. Sedang beberapa masalah penting di Barat justru ditanganinya secara sepotong-potong (ad hoc), seperti masalah demokrasi dan status wanita. Kedua, masalah-masalah ad hoc  yang dipilihnya sebenarnya ada dan bagi dunia Barat, sehingga ada kesan kuat bahwa mereka telah terbaratkan atau agen westernisasi (Amal,1987:21).
Rahman menganjurkan agar gerakan neomodernisme mampu mengembangkan sikap kritis terhadap Barat maupun warisan-warisan kesejarahannya sendiri. Kaum muslimin harus mengkaji dunia Barat beserta gagasan-gagasannya secara obyektif, juga pada gagasan dan ajaran dalam sejarah keagamaannya sendiri, Islam. Mereka juga harus mengembangkan prasarat keyakinan diri tanpa mengalah kepada Barat secara membabi buta atau menafikannya sama sekali. Bila kedua hal ini tidak dikaji secara obyektif, maka keberhasilannya dalam menghadapi dunia modern merupakan sesuatu yang sulit, bahkan; kelangsungan hidupnya sebagai masyarakat Muslimpun akan sangat meragukan.Â
Apa yang dapat kita tangkap dari gagasan-gagasan tersebut, Â pada dasarnya merupakan upaya keras Rahman dalam menempatkan sphere Islam kesejarahan dan pergumulan umatnya secara kohesif dan sinergis. Pada kedua aras inilah, Rahman meyakini bahwa metode dan gerakan neomodernisme yang ditawarkannya mampu menyanggah peradaban umat Islam ke depan. Upaya keras ini dapat diperhatikan pada sejumlah karya tulis dan gerakan intelektualismenya yang menunjukkan sebuah kometmen untuk melihat Islam secara genuine dan kritis, baik dari dalam (inward view) maupun dari luar (outward view). Dari sini, secara teknis, dapat kita tangkap bahwa Rahman menyuguhkan argumentasi-argumentasi logik-rasional di seputar doktrin Islam dan pergumulan umatnya dengan dunia realitas dan modernitas. Dalam bahasa yang lebih populis, neomodernisme Islam yang ditawarkan Rahman merupakan proyek penyembuhan dan penemuan kembali (rediscovery) jati diri umatnya menuju terbangunnya peradaban kemanusiaan yang luhur.
Refleksi Pemikiran Rahman
Tidak mudah memahami keseluruhan pemikiran Rahman tentang Islam secara deskriptif maupun enumeratif. Hal ini karena seperangkat piranti pendukung yang diperlukan cukup banyak; melingkupi latar perkembangan intelektualisme, pendekatan dan metode yang digunakan, juga kultur serta pergumulannya dengan dunia luar, terutama Barat. Yang lebih memungkinkan adalah, menangkap isarat-isarat (baik eksplisit maupun implisit) umum   yang ada, baik melalui gagasannya sendiri ataupun dari komentar dan penilaian sejumlah tokoh yang lebih dekat dan intens dengan pemikiran Rahman.
Seperti disinggung pada pembahasan sebelumnya, bahwa Rahman adalah intelektual yang sangat teguh dan tegas dalam mengkaji Islam melalui sumber utamanya: Al-Qur'an dan hadits. Karenanya, dia juga dikenal sebagai mufassir canggih abad ke-20 yang melakukan elaborasi terhadap persoalan-persoalan Islam dan pergumulan umatnya. Setidaknya predikat itu pernah dilontarkan Riffat Hassan, tokoh intelektual wanita berkebangsaan Pakistan yang menjadi guru besar Studi-Studi Islam di University of Louisville, Kentucky, Amerika Serikat. Ketika ditanya majalah mingguan  Tempo  tentang siapa saja mufassir terbaik yang pernah dikenal, ia menjawab: "saya kira tak ada satupun ilmuwan yang sempurna di dunia ini. Saya belajar selama dua puluh tahun, dan saya belajar banyak dari Iqbal dan Fazlur Rahman, kendati pendapatnya ada yang tidak saya setujui. Dua orang ini termasuk yang bagus dalam era kita (Tempo, edisi 28 Agustus 1993).