Pengantar
Bagi kalangan umat Islam yang intens mempelajari pemikiran modern di dunia Islam, tentu tidak asing lagi dengan nama Fazlur Rahman. Tokoh kelahiran Hazara, Pakistan, pada 21 September 1919 ini, oleh sebagian kalangan dijuluki sebagai "Bapak Neomodernisme Islam". Rahman telah mewariskan sederetan pencerahan intelektual untuk pengembangan paradigma dan rekonstruksi Islam masa depan. Buya Syafi'i Maarif---tokoh intelektual Islam Indonesia yang juga menjadi salah satu murid Rahman---pernah berkomentar: "dia [Rahman-pen] adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam masalah pembaruan pemikiran Islam secara total dan tuntas".
Rahman mengidentifikasi dirinya sebagai reformis muslim yang sangat optimis dengan posisi dan penyelesaiannya sendiri, juga dengan pengembangan paham yang rasional dan progresif. Karakter ini diasosiasikannya pada sejumlah tokoh besar dunia lainnya, seperti: Iqbal, Muhammad Ibn Abdul Wahab, Ibn Taimiyyah, dan Ibn Hazm. Sedangkan karakter antagonistik bagi Rahman adalah Abu Hamid al-Ghazali; seorang reformis yang sangat hati-hati dengan latar belakang intelektual yang tidak konstan dan cenderung labil.
Rahman juga dikenal sebagai sosok intelektual yang apresiatif sekaligus kritis terhadap Islam kesejarahan dan pergumulan umatnya dengan proses modernisme. Sebagai seorang intelektual, Rahman sadar betul akan peran dan tanggung jawabnya bagi proyek masa depan umat Islam, meskipun resiko pahit harus ditanggungnya; berupa sejumlah kontroversi dan hujatan yang datang silih berganti. Namun Rahman memang seorang pribadi yang utuh dan kokoh dalam pendirian. Pribadi yang demikian sempat digambarkan Wan Mohd. Nor---cendekiawan muslim Malaysia yang menjadi salah satu murid Rahman---ketika Rahman menanggapi seputar isu-isu kontroversial: "Nor, umat Islam telah terlena ratusan tahun. Kalau anda mau membangunkannya, seharusnya anda menggunakan shock treatment  dan bukannya dengan cara yang lemah lembut" (Wan, 1991: 107).
Hal lain yang juga menarik untuk adalah konsep "Neomodernisme Islam" yang ditawarkan Rahman. Konsep ini berupa metode dan gerakan alternatif yang diyakininya mampu memberikan arahan dan pijakan bagi proyek ke depan umat Islam. Pengaruh dari konsep ini dapat dilihat di beberapa negara dan kalangan intelektual muda Islam, termasuk di Indonesia, di mana Nurcholish Madjid yang sempat berguru kepada Rahman, menjadi tokoh utamanya di negeri ini. Bagaimana dan mengapa Rahman berpijak kokoh pada konsep ini, nampaknya perlu dikaji lebih lanjut.
Rahman, Pakistan, dan Karier Intelektulismenya
Rahman lahir pada 21 September 1919 (bersamaan tahun dengan tokoh Islam Rasional Indonesia, Harun Nasution), di distrik Hazara, daerah Barat Laut Pakistan. Daerah ini memang terkenal sebagai tempat lahirnya tokoh-tokoh pemikir liberal, seperti: Iqbal, Syed Amir Ali, dan Syekh Wali Allah. Iklim intelektual yang kondusif ada di daerah ini, sehingga tidak heran bila Rahman kemudian tumbuh menjadi salah satu tokoh rasional dan modernis.
Rahman dibesarkan dari lingkungan Sunni dengan tradisi mazhab Hanafi; mazhab yang secara umum lebih rasionalis dibanding tiga mazhab Sunni lainnya: Syafi'i, Maliki, dan Hanbali. Rahman kecil mengenyam pendidikan agama dari ayahnya langsung, seorang guru agama tradisonalis dari Deoban, dan pendidikan formal dari madrasah bergengsi di anak benua Indo-Pakistan yang didirikan oleh Muhammad Qasim Nanautavi (Amal, Â 1989: 80). Muhammad Qasim Nanautavi (m. 1880) dikenal sebagai tokoh intelektual dan sufi besar asal Deoband, India.
 Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, Rahman melanjutkan studinya pada jurusan Sastra Arab di Departemen Ketimuran Universitas  Punjab dan memperoleh gelar sarjana pada 1942. Selanjutnya pada 1946, Rahman mengambil program Ph.D. di Lahore dan di permulaan studinya bertemu dengan A.A. Maududi. Pertemuan ini sempat direkam Rahman dalam bukunya Islam and Modernity; Transformation of an Intellectual Tradition (1982:117): "...The more you study, the more your practical faculties will be numbed. Why don't you come and join the Jama'at? The field is wide open". (...Semakin banyak kamu belajar, kemampuan praktismu semakin berkurang, mengapa tidak bergabung saja dengan Jama'at? Pintu terbuka untukmu"). Namun ajakan itu ditolak Rahman dengan halus dan santun.
 Sekalipun puluhan tahun tinggal di Indo-Pakistan, Rahman tetap merasa tidak puas, bahkan kecewa terhadap perkembangan pendidikan dan iklim intelektual yang berlangsung. Yang lebih membuat kesal Rahman justru kebanyakan tokoh dan pemikir negeri itu merasa cepat puas dan betah dalam euphoria politik. Mereka bukannya mengerahkan potensi dan kapasitas intelektualnya pada tantangan-tantangan keras ke depan. Pengembangan orientasi pendidikan Islampun kemudian hanya menjadi slogan kosong.
Kecaman Rahman bukan hanya ditujukan di negerinya, tetapi juga di wilayah negeri Timur Tengah, terutama al-Azhar, Mesir. Untuk yang terakhir ini, dia berkomentar :"...But none of these works forced the authorities of al-Azhar to modify the content of their Islamic teaching. The reasons are not far to seek. The fact is that al-Azhar represents the late medieval body of Islamic thought with certain new and minor modifidations (Rahman, 1982: 100)". ("...Namun tidak ada dari karya-karya itu yang mampu menggugah para otoritas al-Azhar untuk memodifikasi ajaran Islam mereka. Alasannya tidak sulit dijawab, yaitu fakta bahwa al-Azhar mewakili warisan model pemikiran Islam abad pertengahan akhir dengan modifikasi baru yang minor).