Dalam kaitan tersebut, salah satu cendekiawan muslim yang juga pengamat politik Islam Indonesia, Bahtiar Effendy, menilai bahwa apa yang dilakukan Nurcholish dengan bersedia masuk pada institusi ICMI atau berkampanye untuk PPP pada pemilu 1977, bukanlah penyimpangan dari slogan “Islam Yes, Partai Islam No” yang dilontarkan Nurcholish pada awal 1970 itu. Bahtiar juga menegaskan bahwa pernyataan budayawan Emha Ainun Nadjib, “Islam Yes, Partai Islam Yes” bukanlah secara substansial mengasyaratkan revisi simbolik atas frase Nurcholish tentang “Islam Yes, Partai Islam No”.
Pemikiran teologi-keagamaan yang dilontarkan Nurcholish tersebut, terutama kaitan antara sekularisasi dan liberalisasi dengan problematika keberagamaan umat Islam Indonesia, juga bisa dilihat dari pandangannya seputar Islam dan negara, termasuk hubungannya dengan ideologi negara Pancasila. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Tempo, edisi 29 Desember 1984, Nurcholish menegaskan bahwa istilah atau perkataan “negara Islam” sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah.
Dia merujuk pada referensi kesejarahan di mana nabi Muhammad sendiri baru dimakamkan tiga hari setelah meninggal. Hal itu menurut Nurcholish, karena penggantinya tidak jelas. Pola suksesi tidak jelas. Dampak dari keadaan itu adalah ketidakjelasan. Dengan tetap konsisten pada pandangannya di era 1970-an, Nurcholish berpandangan bahwa gagasan negara Islam tidak lain hanyalah merupakan kecenderungan apologetis.
Penegasan Nurcholish bahwa tidak ada negara Islam sebenarnya bisa dipahami dari mainstream pemikirannya yang bermuara pada pemaknaan nilai-nilai substantif dan upaya sekularisasi ajaran Islam, dalam pengertiannya yang kontekstual dan tidak terjerumus pada simbolisme agama. Dalam arti bahwa agama tidak dijatuhkan nilainya hanya pada batas simbol (atribut-keagamaan) dengan menegasikan nilai-nilai substantif yang ada di dalamnya. Pada akhirnya, ide-ide Nurcholish tentang tidak adanya atau tidak pentingnya status negara Islam, juga mengatarkan pada pandangannya bahwa Pancasila sebagai ideologi negara bagi bangsa Indonesia.
Menurut Nurcholish, sikap menerima umat Islam Indonesia terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, adalah sebanding dengan Konstitusi (Piagam—pen) Madinah karena nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran Islam, juga karena fungsinya sebagai kesepakatan antar golongan untuk membangun masyarakat politik secara bersama. Demikian pula sama halnya dengan umat Islam Indonesia yang tidak memandang Pancasila dan UUD 1945 itu sebagai alternatif terhadap agama Islam, Rasulullah saw dan para pengikut nya pun tidak pernah terbetik dalam pikiran bahwa Konstitusi Madinah itu menjadi alternatif bagi agama baru mereka.
Rujukan historis yang dijelaskan Nurcholish di atas, dengan membandingkan realitas historis umat Islam Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah saw. yang kemudian menghasilkan al-Shahīfah al-Watsīqah (perjanjian damai antara umat Islam dan umat Yahudi ketika Rasulullah saw. di Madinah—pen) atau Konstitusi Madinah—dalam istilah Nurcholish—di satu sisi, dengan anjurannya agar umat Islam Indonesia tidak memiliki beban psikologis dan tidak mencurigai Pancasila sebagai upaya pemerintah melakukan domistifikasi Islam Politik di sisi lain, merupakan upaya cerdas Nurcholish untuk menempatkan Islam dalam konteks keindonesiaan secara proporsional dan bijak.
Hampir sama dengan Nurcholish dalam memandang artikulasi politik Islam Indonesia adalah Abdurrahman Wahid. Menurut Wahid, dalam terminologi bahasa Arab, negara itu sama dengan al-hukm yang berarti hukum, sehingga tidak memiliki bentuk negara sama sekali maupun sistem pemerintahan definitif seperti yang ada di masa modern sekarang. Yang terpenting bagi Wahid adalah etik kemasyarakatan dan komunitas. Pemahaman Wahid tentang hal tersebut dapat dilihat dalam tulisannya, “Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama”, dalam jurnal Aula, edisi Mei 1985.
Wahid berpedoman pada realitas historis bahwa suksesi kekuasaan dalam Islam tidak memiliki format yang tetap dan tunggal, seperti istilah istikhlāf (kekhalifahan—pen), bai’ah (ikatan janji setia atas dasar kesepakatan bersama—pen), dan ahlul hall wa al-‘aqd (semacam sistem formateur—pen).
Wahid selanjutnya mengatakan bahwa jika memang Nabi saw menghendaki berdirinya sebuah “negara Islam”, mustahil masalah suksesi kepemimpinan dan peralihan kekuasaan tidak dirumuskan secara formal. Nabi cuma memerintahkan “bermusyawarahlah kalian dalam persoalan”. Masalah sepenting ini bukannya dilembagakan secara kongkrit, melainkan dicukupkan dengan sebuah diktum saja, yaitu: “masalah mereka haruslah dimusyawarahkan antara mereka.” Mana ada negara dalam bentuk seperti itu? Demikian pendapat Wahid yang secara tegas menolak adanya praktik negara Islam di masa Nabi SAW.
Landasan teologis Nurcholish dan Wahid dengan berpijak pada realitas-hitoris itu, diperkuat oleh Munawir Sjadzali. Dalam bukunya berjudul Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Munawir merujuk pada beberapa keputusan penting yang terkait dengan beragam kebijakan Rasulullah SAW dan pola kepemimpinan empat khalifah yang memimpin setelah wafatnya Rasulullah SAW. Dalam kaitan ini, Munawir mengatakan bahwa Piagam Madinah yang oleh banyak pakar politik didakwakan sebagai konstitusi negara Islam yang pertama itu, ternyata tidak menyebut agama negara.
Semasa empat al-Khulafa al-Rasyidun pun, tidak terdapat satu pola baku mengenai cara pengangkatan khalifah atau kepala negara. Menurut Munawir, sejarah empat al-Khulafa al-Rasyidin menunjukkan bahwa tidak terdapat petunjuk atau contoh tentang cara bagaimana mengakhiri masa jabatan seorang kepala negara. Mereka berempat (Abū Bakr, ‘Umar, Utsmān, dan ‘Alī—pen) semuanya mengakhiri masa tugasnya karena wafat.