Bayangkan, ratusan juta harus habis dalam hitungan jam dan hari dari produk qurban yang berbentuk "santapan daging".
Mengapa tidak dibuat "qurban produktif" yang bisa mengentaskan kaum mustadh'afin dari kungkungan keterbelakangan dan kemiskinan...?
Mengapa misalnya, jika terkumpul 30 ekor sapi dengan harga @20jt (600 juta) + 70 ekor kambing dengan harga @2jt (140 juta) sehingga total 740 juta, kemudian dibuat dua model: pertama, tetap dalam bentuk hewan sembelihan sebesar 35% - 50% (karena untuk tetap melestarikan ketetapan agama yang memiliki nilai historis yang luhur); kedua, sisa hewan sembelihan itu (50% - 65%) diformulasikan dalam bentuk pemberian usaha produktif dan pemberdayaan. Hal ini akan lebih memberi "pahala jariyah", karena hasilnya berkelanjutan dan diharapkan bisa memberi perubahan ke arah yang lebih baik.
Tentu sebagian dari umat Islam bisa saja berargumen, bahwa untuk usaha-usaha produktif bisa dilakukan via ZIS (zakat, infaq, dan shadaqah). Ini bisa dijawab, bahwa ZIS + dana qurban akan melahirkan aset yg lebih baik dan produktif.
Apakah tradisi ribuan tahun dari Nabi Ibrahim AS ini harus terus diabadikan dalam ritual sembelihan secara keseluruhan? Murkakah Tuhan bila hamba-Nya "mengaktualkan" yang ritual...?!
*Dosen Tetap Fakultas Adab & Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H