Mohon tunggu...
siti rhovi
siti rhovi Mohon Tunggu... -

measih terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berkembangnya Model Kampanye Baru

11 Mei 2013   19:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:44 1741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bentuk-bentuk komunikasi politik yang diperlukan dalam kampanye politik dalam pemilu sangat tergantung kepada sistem pemilihan umum. Sistem Pemilu secara garis besar ada dua yaitu sistem distrik dan sistem proporsional. Sistem Pemilu yang berlangsung di Indonesia pada tahun 2004 dan 2009 adalah sistem gabungan antara berbagai sistem pemilu yang selama ini dikenal. Dari sistem pemilu tersebut cara dan model kampanye yang dipilih dapat disesuaikan. Namun Arifin (2006: 42) menekankan bahwa penonjolan program dan ketokohan kandidat tetap harus menjadi perhatian utama. Demikian pula dengan kemampuan dan kredibilitas partai akan menjadi prasyarat dalam pembentukan citra politik, membina pendapat umum, mendorong partisipasi politik serta memenangkan pemilu.

Pemilu tahun 2004 dan 2009 merupakan pemilu dengan prosedur teknis yang berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Para pemilih secara langsung memilih para wakil rakyat (legislatif) dan juga presiden dan wakil presidennya. Selain itu dibentuk lembaga baru yaitu DPD yang dipilih dengan sistem distrik berwakil terbanyak. Perubahan sistem pemilu tersebu berimplikasi pada perubahan pola kampanye. Dalam pemilu-pemilu sebelumnya karena pemilih tidak mempunyai akses langsung untuk memilih kandidat anggota legislatif dan pimpinan eksekutif maka tidak ada kebutuhan bagi pemilih untuk mengetahui secara detail mengenai visi-misi sera program-program para calon. Lain halnya dengan sekarang.  Dengan sistem pemilu yang baru ini maka setiap parpol harus menyusun visi-misi serta program kerjanya unuk bahan kampanye yang lebih kongkrit.

Dalam Pemilu tahun 2004 terjadi fenomena yang menarik yaitu kampanye yang sebelumnya didominasi oleh rapat umum mulai memudar. Perilaku para pemilih dalam pemilu tahun 2004 sudah mengalami perubahan. Antusiasme pemilih terlibat dalam pemilu jauh berkurang. Kalaupun terlibat, tidak terlepas dari “transaksi-transaksi material” (Marijan, 2010: 130). Sangat jarang kandidat beserta tim kampanyenya mampu mengisi jadwal kampanye dalam rapat umum yang telah disusun oleh KPU. Rapat umum hanya berhasil dilakukan oleh beberapa parpol besar/lama dan itupun dengan jumlah pengunjung yang cenderung di bawah target yang telah ditetapkan. Kecuali jika rapat umum tersebut dapat menghadirkan tokoh politik tingkat nasional, atau setidaknya artis poluler, baik pelawak maupun penyanyi, membanjirnya pengunjung masih bisa diharapkan.

Seiring dengan pudarnya kampanye dalam bentuk rapat umum, mulai tumbuh bentuk kampanye baru berupa kampanye dialogis yang lebih mampu memfasilitasi terjadinya komunikasi timbal balik antara calon yang dipilih dengan para pemilih. Kampanye dalam bentuk ini menutup kekurangan dari rapat umum dalam menjembatani terjadinya komunikasi yang efektif antara calon yang dipilih dengan yang memilih. KPU, LSM, dan organisasi-organisasi masyarakat memfasilitasi terjadinya kampanye dialogis ini untuk mendorong terjadinya pendidikan politik para pemilih dan juga untuk menbangun komitmen para kandidat terhadap persoalan penyelenggaraan kehidupan bernegara.

Namun yang menjadi kendala dalam kampanye dialogis ini adalah bahwa bentuk kampanye ini kurang mendapat respon dari masyarakat. Dalam satu sisi kampanye dialogis mampu menutup kekurangan bentuk kampanye rapat umum dalam hal terjadinya komunikasi tibal balik yang efektif antara kandidat dengan peserta kampanye, namun di sisi lain kampanye dalam bentuk dialogis ini seringkali gagal untuk menghadirkan kandidat yang bersangkutan. Sementara hadirnya juru kampanye untuk mewakili calon dalam banyak kesempatan seringkali mengecewakan peserta kampanye, karena ketidakmampuannya untuk mewakili fikiran kandidat dan terlebih lagi berdialog tentang komitmen calon tentang visi, misi, dan program yang diusungnya.

Untuk mendorong perubahan perilaku pemilih dari pemilih tradisional emosional ke pemilih rasionalkritis, berbagai lembaga yang konsen terhadap peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia, memfasilitasi terjadinya kontrak politik antara kandidat dengan kelompok-kelompok kepentingan/pemilih. Aktifitas ini disamping untuk memberikan acuan yang lebih jelas dan kongkrit bagi para kandidat dalam menjalankan amanahnya jika terpilih, pada saat yang sama sekaligus untuk mencermati visi-misi dan program yang diusung oleh para kandidat. Ketika kontrak politik terjadi, tidak hanya memungkinkan terjadinya perubahan program yang diusung oleh kandidat, namun yang tidak kalah pentingnya adalah kemungkinan bagi para kandidat untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan kelompok masyarakat yang terformulasi dalam naskah kontrak politik (Suparman, 2005: 131).

Sebenarnya bentuk kampanye yang seperti ini sangat baik apabila dikembangkan. Hanya saja yang menjadi masalah adalah karena secara politis keuntungan yang dapat diraih oleh kandidat lebih kecil dibanding dengan konsekuensi yang harus didapat membuat sebagian besar kandidat, terlebih yang mempunyai peluang menang cukup besar enggan untuk terikat dalam suatu kontrak politik. Yang biasa hadir adalah partai politik kecil, calon dari partai politik kecil, serta calon DPD dengan kemungkinan terpilih sangat kecil. Akibatnya kalaupun terjadi suatu kontrak politik, kontrak tersebut tidak mempunyai makna apapun karena yang duduk di lembaga perwakilan bukanlah mereka yang sebelumnya terikat dalam kontrak politik.

Baik rapat umum, kampanye dialogis, maupun pembuatan kontrak politik  semuanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Rapat umum dapat menghadirkan massa yang sangat banyak namun aspek efektifitas komunikasi timbal balik antara kandidat dengan pemilih belum dapat terpebuhi. Kampanye dialogis yang efektif dalam segi komunikasi timbal balik antara kandidat dengan pemilih, namun gagal untuk menghadirkan peserta kampanye dalam jumlah yang banyak. Kontrak politik karena keuntungan yang dapat diraih oleh kandidat lebih kecil dibanding dengan konsekuensi yang harus didapat membuat sebagian kandidat calon yang akan dipilih tidak menghadiri kontrak politik dan hanya mewakilkannya kepada juru kampanye saja.

Selain bentuk-bentuk kampanye diatas salah satu fenomena yang menarik berkaitan dengan kampanye pasca Orde Baru adalah munculnya kampanye partai atau kandidat melalui iklan politik di televisi. Kampanye melalui iklan di televisi dilakukan baik oleh partai politik, calon presiden dan wakil presiden, bahkan calon kepala daerah dalam Pemilukada. Kampanye bagi calon Presiden dan Wakil Presiden karena alasan luasnya wilayah kampanye sedangkan durasi yang diberikan untuk  kampanye terbatas, sehingga walaupun sebenarnya dituntut adanya hubungan timbal balik antara kandidat dengan calon pemilih mengenai visi-misi dan program yang akan dilaksanakan apabila terpilih tetapi hal tersebut tidak terjadi. Tim kampanye pada umumnya lebih menyukai untuk memanfaatkan media massa untuk kampanye (pasang iklan).  Kampanye televisi memang sangat efektif karena dua keunggulan (Bambang, 1997: 56). Pertama, karena teknologi televisi mampu menciptakan citra seorang calon presiden dalam waktu amat singkat. Kedua, kemampuan ini didukung oleh penyebaran televisi. Hampir semua rumah memiliki televisi. Kondisi seperti ini tentu sangat mendukung program iklan kampanye para calon khususnya calon presiden yang cenderung memasang iklan nasional.

Citra politik dapat dirumuskan sebagai suatu ggambaran tentang politik (kekuasaan, kewenangan, autoritas, konflik, dan konsensus) yang memiliki makna, kendatipun tidak selamanya sesuai dengan realitas politik yang sebenarnya. Citra politik tersusun melalui persepsi yang bermakna tentang gejala politik dan kemudian menyatakan makna itu melalui kepercayaan, nilai, dan pengharapan dalam bentuk pribadi yang selanjutnya dapat berkembang menjadi pendapat umum.

Saat ini citra seorang calon pemimpin dimunculkan dengan perencanaan melalui upaya-upaya periklanan. Upaya ini ditemukan pada banyak kampanye  politik, terutama yang menggunakan televisi. Proses membentuk citra dalam politik dewasa ini sudah menyerupai kemunculan bintang film di dunia hiburan yang hanya mengutamakan tampilan fisik dan popularitas dalam pelaksanaan kampanye. Hal ini kemudian menjadikan para calon pemimpin menjadi seperti selebritis, sehingga saat ini populer istilah “politisi selebriti” karena maraknya iklan politik yang menampilkan tokoh-tokoh politik di berbagai media massa. Sebagai contoh misalnya, pencitraan melalui upaya perikanan berpengaruh besar terhadap kemenangan pasangan SBY-JK dalam Pilpres 2004. Kemenangan SBY-JK yang diusung Koalisi Kerakyatan dalam Pemilu Presiden dilihat sebagai kemenangan “citra” yang dikemas secara apik oleh tim komunikasi (Akhmad, 2009: 5).

Untuk kasus di Indonesia, Ramlan Surbakti (2000)  dalam Akhmad (2009: 9) menyebutkan bahwa pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat dalam abad elektronik akan menimbulkan apa yang dia sebut sebagai “Amerikanisasi  Politik”.  Cirinya antara lain:

1)Penggunaan teknologi komunikasi, khususnya televisi sebagai sarana utama kampanye yang cenderung berupa sound bite dan kampanye negatif karena harus menyampaikan pesan yang efektif tetapi dengan biaya yang murah (dalam jangka waktu kurang dari satu menit),

2)Kapitalisasi politik atau penggunaan uang dalam jumlah besar untuk kampanye baik untuk iklan dan penampilan di televisi maupun kampanye ke dan di berbagai daerah, dan

3)Reduksi kepentingan politik menjadi kompetisi citra para calon presiden.

Sementara itu Efendi Gazali (dalam Akhmad 2009) menyoroti munculnya gejala “Amerikanisasi gaya Pemilu” yang menyebabkan biaya untuk ikut serta dalam pemilu kian tinggi. Gazali merujuk pada rumor yang banyak didengar bahwa para calon anggota legislatif yang ingin ditempakan dalam “nomor jadi” disertai keharusan merogoh koceknya untuk disetor pada partai dengan dalih “sumbangan partai”, untuk kegiatan-kegiatan partai termasuk juga kampanye. Jumlah minimal dikabarkan mencapai 100 juta. Gazali juga merujuk pada biaya parpol untuk belanja iklan. Jumlah definitifnya bervariasi, namun merujuk pada sumber-sumber di kalangan periklanan, estimasi biaya iklan kampanye parpol bisa mencapai 15 triliun. Dari jumlah tersebut sekitar Rp 3 triliun dialokasikan untuk pemasangan iklan baik di media cetak maupun elektronik. Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa proses transformasi gaya kampanye di Indonesia merupakan trend yang mengarah pada proses “Amerikanisasi”.

Namun pasca reformasi di Indonesia model kampanye melalui iklan di televisi tidak otomatis menghilangkan model kampanye jalanan dan pawai massa.  Karena kampanye yang dikemas melalui iklan televisi tidak menonjolkan visi, misi, dan program partai atau calon, tetapi hanya menjadi semacam suplemen kampanye untuk menunjukkan bonafiditas partai atau calon. Penggunaan model-model kampanye tradisional seperti pawai, arak-arakan, dan kampanye jalanan masih digunakan oleh parpol dan kandidat politik, dan tetap semarak walaupun tak sesemarak sebelumnya. Panggung-panggung kampanye yang menampilkan pidato para tokoh parpol atau kandidat, yang diselingi musik dangdut dan hiburan artis lainnya tetap menjadi model favorit yang frekuensinya masih tinggi.

Akhmad Danial. 2009. Iklan Politik TV: Modernisasi Kaampanye Politik Pasca Orde Baru. Yogyakarta: LkiS.

Anwar Arifin. 2006. Pencitraan Dalam Politik (Strategi Pemenangan Pemilu dalam Perspektif Komunikasi Politik. Jakarta: Pustaka Indonesia.

Bambang Cipto. 1996. Prospek dan Tantangan Partai Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kacung Marijan. 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Suparman Marzuki, dkk. 2005. Pemilu 2004 dan Eksperimentasi Demokrasi. Yogyakarta: Komisi Pemilihan Umum DIY.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun