Mohon tunggu...
Hakimuddin Salim
Hakimuddin Salim Mohon Tunggu... -

PhD Candidate - Islamic Education Department - Islamic University of Madinah - www.hikmatia.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tadabbur Al-Qur`an dan Kemenangan Da'wah

15 Desember 2015   21:04 Diperbarui: 15 Desember 2015   21:29 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS. Shaad: 29).

Tinta emas sejarah telah mencatat, dalam kurun waktu hanya 23 tahun Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam berhasil melahirkan generasi terbaik dengan kulaitas ilmu dan amal yang pantas diteladani. Dengan keterbatasan materi dan sulitnya kondisi, muncul kader-kader da’wah yang tangguh, dengan soliditas dan kemampuan survival yang tak diragukan lagi. Di bawah ancaman musuh dan tekanan tirani, justru terbina angkatan mujahid terhebat yang di kemudian hari menjadi para penakluk dan pemakmur sepertiga bumi.

Tentu capaian dahsyat itu bukan sekedar soal yang menempa mereka adalah seorang Nabi, atau soal mu’jizat dan kepentingan Alloh ta’ala untuk memenangkan agama-Nya. Tapi yang harus kita renungi adalah rahasia apa di balik capaian dahsyat itu? Toh dalam sejarah panjang para Nabi dan Rasul, sunnatullah atau sunnah kauniyah tetap berlaku. Artinya, keajaiban demi keajaiban itu baru akan muncul jika ikhtiar manusiawi sudah maksimal diupayakan. Justru dengan inilah, generasi penerus da’wah berikutnya mendapatkan celah untuk mencontoh dan meneladani.

Salah satu rahasia kesuksesan yang harus diteladani dari para pioner da’wah itu adalah bagaiamana ta’aamul atau interaksi mereka dengan Al-Qur`an. Bukan sekedar kualitas dan kuantitas bacaan yang menonjol dari mereka, namun tadabbur dan tafakkur terhadap firman-firman Alloh itu, membuat mereka kokoh dan tegar menempuh perjuangan. Al-Qur`an yang memang turun secara munajjaman (bertahap) mereka baca dengan penuh penghayatan dan perenungan yang mendalam, hingga melekat kuat pada lisan, pikiran, dan jiwa. Mereka tidak akan berpindah dari sepuluh ayat ke sepuluh ayat berikutnya, sebelum benar-benar memahami dan mengamalkannya.

Seperti Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallohu ‘anhu yang terkenal “cengeng” saat membaca Al-Qur`an. Penghayatannya yang mendalam terhadap Al-Qur`an membuatnya selalu terisak saat tilawah. Hingga ketika suatu hari Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam memerintahkannya untuk menjadi imam sholat, ‘Aisyah radhiyallohu ‘anha mencegahnya, “Wahai Rasulullah, sungguh Abu Bakar adalah lelaki yang berhati sangat  lembut. Jika ia menggantikanmu menjadi imam, orang-orang tidak akan bisa mendengarkan suaranya karena banyak menangis” (HR. Imam Muslim).

Atau seperti yang diceritakan ‘Ubbad bin Hamzah, bahwa suatu hari ia pergi ke rumah Asmaa binti Abi Bakar radhiyallohu ‘anhuma dan mendapatinya sedang membaca surat At-Thuur ayat 27, “Maka Alloh memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka”. Lalu ‘Ubbad meninggalkannya sendirian dan pergi ke pasar untuk sebuah urusan. Ketika ‘Ubbad kembali lagi, ternyata Asmaa masih membaca ayat tersebut berulang-ulang sambil bercucuran air mata.

Imam Nawawi menukil perkataan Hasan bin ‘Ali radhiyallohu ‘anhuma yang menggambarkan bagaimana hubungan para Sahabat dengan Al-Qur`an, “Sesungguhnya generasi sebelum kalian (para Sahabat) melihat Al-Qur`an seperti surat cinta dari Rabb mereka. Mereka mentadabburinya di waktu malam, dan memperjuangkannya di siang hari”.

Generasi salafus sholeh setelah mereka pun tak jauh berbeda. Seperti Sa’id bin Jubair yang mengulang-ulang surat Al-Baqarah ayat 281, Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Alloh. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). Sa’id mengulangi satu ayat tersebut lebih 20 kali untuk bisa mentadabburinya.

Atau seperti Hasan Al-Bashri yang membaca surat An-Nahl ayat 18 berkali-kali hingga pagi: Dan jika kamu menghitung-hitung ni`mat Alloh, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Alloh benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, sebagaimana dikutip Ibnu Abid Dunya, dalam Attahajjud wa qiyamullail.

Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya juga menyitir perkataan Muhammad bin Ka’ab Al-Qorodhy: “Tatkala aku hanya membaca surat Al-Zilzalah dan surat Al-Qori’ah, namun kuulang berkali-kali dan kutadabburi, maka itu lebih aku sukai dari pada semalam suntuk khatam membaca Al-Qur`an”.

Lalu dalam Al-Qur`an sendiri, Alloh ta’ala berkali-kali memuji tadabbur orang-orang beriman terdahulu: “Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Alloh, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Alloh Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis” (QS. Maryam: 58).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun