Kembali kepada dauroh kami tadi. Setelah mendapatkan motivasi menikah dari Ustadz Asfuri, terlihat teman-teman tambah bersemangat dan semakin antuzias mengikuti obrolan. Termasuk saya sendiri. Pandangan saya menerawang jauh, membayangkan rangkaian moment spesial itu. Mengkhayal saat-saat nadhor, ta'aruf, khitbah, akad, malam pertama, honeymoon, program pacaran, punya anak, so sweet.. (lebay.com).
Namun tiba-tiba para Ustadz kembali melanjutkan uraian yang membuat kami semua kaget. Khusus kami para penuntut ilmu, yang sudah dinantikan umat di Indonesia, mereka bertiga sangat menyarankan kalau bisa jangan buru-buru nikah dulu. Menunda sebentar sampai selesai S3 ada baiknya. Kata mereka, nanti kalau sudah menikah kami tidak akan bisa fokus lagi belajar. Apa lagi kalau sudah punya anak. Kebutuhan biologis, kasih sayang, materi, susu bayi, masalah dengan mertua, dan seterusnya, akan banyak menyita perhatian dan tenaga. Apalagi kalau harus melanjutkan S2 ke pelosok Sudan, Libia atau Pakistan, mau bawa istri? Glek! Tubuh kami yang sejak tadi sudah melangit karena motivasi, tiba-tiba saja jatuh kembali ke bumi. Kok jadi begini endingnya?!
Yah, sebenarnya nasehat tambahan Ustadz di atas ada betulnya. Bagi sebagian orang, menikah sambil kuliah ternyata menimbulkan banyak masalah. Apalagi bagi para mahasiswa S1 di Madinah, yang belum boleh membawa serta istri. Dosen kami di kelas pernah bilang, "imma an tu'adzdzibaha au tu'adzdzibaka". Kalau tadi adalah kisah suksesnya, coba simak kisah sedihnya berikut ini.
Sebut saja namanya Usman (bukan nama sebenarnya). Mahasiswa asal Bandung ini menikah pada liburan musim panas pertama, yaitu masuk tahun kedua kuliah. Awalnya Usman terkenal sebagai mahasiswa yang rajin. Selalu datang ke kelas paling awal dan duduk paling depan. Ia juga aktif mengikuti kajian para Masyayikh di Masjid Nabawi. Namun setelah menikah, teman-temannya merasakan perubahan yang sangat mencolok dari perilakunya. Ia menjadi sering melamun. Di kelas selalu sambil chating. Ia pun mulai jarang kelihatan di masjid Nabawi. Itu semua berimbas pada prestasi akademiknya.
Lain Usman, lain lagi Hammad. Ia langsung menikah setelah dinyatakan lolos seleksi ke Madinah. Semangat! Mahasiswa angkatan lama ini bahkan baru bisa menyelesaikan jenjang S1 setelah delapan tahun lamanya. Sepertinya beban keluarga adalah penyebabnya. Kasihan memang, dua kali istrinya melahirkan secara sesar ia tidak bisa pulang mendampingi. Meskipun ia sangat produktif dalam dakwah dan bisnis, namun proses tholabul ilmi yang menjadi amanahnya menjadi tidak maksimal.
Ada lagi yang lain. Rio namanya. Teman seangkatan saya ini, sekilas adalah mahasiswa yang cerdas, dilihat dari cara berbicara dan wawasannya. Namun ternyata prestasi akademiknya tak seperti penampakan dhohirnya. Nilainya pas-pasan. Bahkan sering absen kuliah. Ia pun jarang keluar dari kamar, apalagi aktif di beberapa organisasi yang ada. Saya tidak bisa memastikan apakah itu karena ia sudah punya tanggungan keluarga atau ada faktor lain. Namun yang saya ketahui ketika masuk tanggal tua ia harus kerepotan mencari pinjaman sana-sini untuk mengirim wesel ke Istri. Terlihat beban yang cukup berat menggantung di wajahnya.
Soal finansial, ada lagi yang lebih parah. Panggil saja namanya Abu. Mahasiswa asal Afrika Selatan ini terkenal sebagai rajanya hutang. Terlebih di kalangan mahasiswa Indonesia. Ia berpindah dari mahasiswa satu ke mahasiswa yang lain untuk meminjam uang, bahkan kepada orang yang belum ia kenal. Parahnya, ia juga terkenal bandel dalam membayar utang. Telat satu atau dua semester itu biasa. Ketika ditanya alasannya kenapa, ia selalu bercerita tentang anak dan istrinya di pelosok Afrika sana.
Banyak lagi kisah sedih yang lain. Ada yang sampai stres karena harus berpisah dengan istri. Ada yang sampai nggak kuat dan terpaksa pulang ke tanah air sebelum tamat. Ada juga kisah lucu bagaimana ketika pulang ke Indonesia ternyata sang anak yang sudah besar tidak mengenal bapaknya dan bertanya, "Om ini siapa ya?" atau malah lari terbirit-birit sambil menangis menuju sang Ibu. Semua memberikan pelajaran bahwa ada banyak konsekuensi pernikahan yang harus kembali dipertimbangkan (mlempem mode:on).
Tak terasa obrolan kami sudah berjalan dua jam lebih. Penjaga restoran sudah memberikan sinyal pengusiran (yalla shodiq..:p). Kajian nikah kami harus berakhir sampai disini. Namun saya sebagai moderator agak bingung mengambil kesimpulan. Antara yang awal dan akhir. Antara menikah atau fokus dulu kuliah. Antara menghormati anjuran para Ustadz dan mengakomodir teman-teman yang lagi bersemangat.
Akhirnya secara sepontan terlontar juga sebuah penyimpulan seadanya. Bahwa dalam masalah ini berlaku teori relativitas. Tergantung kemampuan dan kondisi kejiwaan masing-masing. Bagi yang terbiasa melakukan banyak hal dalam satu waktu, bercabang dalam pikiran, sepertinya menikah saat kuliah adalah anugerah di atas anugerah. Apalagi kalau sudah sangat kebelet (hehe..). Namun bagi para penuntut ilmu yang belum mampu, dalam berbagai sisinya, dan tidak bisa fokus menghadapi bermacam masalah, sepertinya pilihan untuk menunda menikah ada baiknya. Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Yang penting sebelum memutuskan, silakan masing-masing bertanya kepada diri sendiri, di barisan mana ia berada. Tak lupa beristikharah juga, bertanya pada Yang Maha Tahu Segalanya. Allahu muwafiq ila aqwamit thoriq.
.:. Untuk kelima adikku tersayang, teruslah berjuang menggapai cita dan cinta. Tertunda bukan akhir segalanya..^^