YANG PENTING NAIK KELAS
Sebagai orang tua, saya tak pernah menuntut anak untuk ranking 1, 2, atau 3. Yang penting naik kelas. Dan dialah yang menentukan dapat naik atau tidak.
"Yang menentukan naik kelas atau tidak adalah dirimu."
"Bukannya Bapak dan Ibu Guru/sekolah yang menentukan kenaikan kelas, Abah?" Protes Oman kepada saya.
"Benar. Tapi penentuan justru ada pada dirimu, Nak. Jika kamu mau naik kelas, ya rajin belajar. Jika gak mau belajar, ya bisa-bisa gak naik kelas," sahutku menjelaskan.
Oman ini memang anak yang beda. Ia sangat aktif. Kalau di kelas gak mau diam. Gaya belajar anak zaman now, hahaha. Sejak TK sampai kelas 1 SD kemarin, saya kerap dipanggil oleh Wali Kelas.
"Pak, Oman ini kalau disuruh lanjutin baca ke halaman berikutnya, ia malah yang bilang, 'Sampai sini saja, Zah. Kitanya yang diatur, Pak." Lapor Guru TK saat itu.
Mendengar laporan tersebut saya tersenyum, lalu berujar, "Ya, memang Oman begitu, Zah. Hehehe."
Saat masuk SD pun, baru beberapa bulan, wali kelasnya laporan ke saya.
"Pak, Oman ini sebenarnya pintar. Cuma gak mau diam. Suka jalan-jalan di kelas. Kalau dia mau serius saja, bisa ranking 1 tuh Oman."
"Ya, Bu. Oman memang gitu. Di rumah saja aktif. Suka lari-lari dan manjat-manjat jendela. Saya biarin saja. Dan, memang saya gak pernah nuntut ia untuk ranking, yang penting naik kelas," jawabku.
Walaupun ketika SD saya selalu juara kelas, tapi saya tak pernah menuntut anak untuk menjadi juara. Satu saja tuntutan saya, "Kamu jadi anak saleh." Itu saja.
Benar saja, saat Ujian Semester 2, anak ini santai saja. Sibuk main saja. Saya ajarin hanya 1 jam saja untuk setiap ujian. Oman ini slow banget, sempat juga Umminya cemas. Apa anak ini bisa naik kelas.
Tepat pembagian raport, yang dibuka pertama kali adalah lembaran kedua terkait kenaikan kelas. Alhamdulillah, ternyata naik kelas 2 juga. Setelah itu baru dilihat lembaran nilai. Ternyata lumayan juga nilai anak ini. Ada yang 90, 89, 87. Dan jreeeng, ternyata Ranking 8.
Kami tertawa.
"Naik kelas dan ranking 10 besar juga kamu, Man."
Kami berprinsip. Anak itu akan cerdas pada waktunya. Yang sangat kami tanamkan justru soal karakter. Dan Alhamdulillah lengket sampai sekarang.
Oman yang baru naik kelas 2 SD ini alhamdulillah anak yang terbangun karakternya. Ia suka membantu tanpa disuruh, empati, dan jika sedekah pasti ia keluarkan uang terbanyak di dompetnya.
Cita-citanya?
Wow, berbeda dari anak kebanyakan.
"Ingin punya showroom mobil. Ingin jadi orang kaya supaya banyak membantu orang." Katanya.
Dari sejak TK sampai sekarang cita-citanya tak pernah berubah. Entah apa dalam alam pikirnya.
Yang jelas, anak ini memiliki kecerdasan lain dari kebanyakan anak lainnya. Setiap kali saya nyetir saja, ia selalu bertanya dan memperhatikan. Sampai ketika mobil jalan dan melaju ia tahu saat saya oper gigi 1, 2, 3, 4, dan 5. Ia pun tahu mana yang gas, rem, dan kopling. Sepertinya, kalau saya ajarin nyetir, sebelum tamat SD, ia sudah mahir. Tapi, saya gak mau ajarin. Nanti saat sudah SMA saja ia ajarin, supaya stabil emosinya. Jadi saat punya SIM kelak, ia sudah bisa bawa mobil berikut rambu-rambunya.
Semua anak cerdas. Jangan lihat kecerdasan anak dari satu aspek. Sebagai orang tua, Â saya selalu menilai anak cerdas dan menerapkan "Merdeka Belajar", bukan sekadar teori tapi praktik.
Sungguh, menuntut anak untuk ini dan itu. Harus ranking, harus juara umum, bagi saya merampas kemerdekaan anak. Biarkan ia bertumbuh, kita sebagai orang tua hanya mengajari, mengawasi, dan mengingatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H