Mohon tunggu...
zoefhuf
zoefhuf Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Banyak Anak Banyak Rezeki (?)

7 Mei 2019   09:53 Diperbarui: 7 Mei 2019   09:58 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                                                                                                                                                                                                                                                   

"Banyak anak banyak rezeki"

Kalimat itu pernah menjadi slogan, namun sekarang kesahihannya dipertentangkan. Pertentangan ini, di Indonesia, sejalan dengan banyaknya keluarga yang merasa berada di taraf hidup yang tak layak (tentu jika dibandingkan dengan negara-negara barat). Bayangan bahwa mereka tak mampu meraih kebahagiaan tidak dapat disangsikan. Pesimisme telah menghantui mereka. Sayangnya sifat pesismisme mereka hadir tanpa alasan, telah salah sejak awal hingga akhirnya.

Barangkali "banyak anak banyak rezeki" dapat dinilai sedikit lebih benar, jika kedua frasa yang menyusunnya dibalik: "banyak rezeki banyak anak", karena dengan begitu kita tak lagi berpersepsi, nenek moyang kita melalui revolusi-revolusi 'hebat'-nya telah menulis ceritanya.

Sepuluh ribu tahun lalu jumlah manusia tidak pernah berubah pesat, kuantitasnya fluktuatif, itupun selisihnya tak banyak. Jumlah manusia yang awalnya hanya berdigit enam bertambah berkali-kali lipat sejak revolusi pertanian. Manusia berharap dengan bertani mereka bisa mendapat lebih banyak waktu untuk bercengkerama dengan keluarga. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Tumpukan makanan yang berlimpah itu menimbulkan ledakan populasi dan adanya kaum elite yang dimanja.

Dapat dikatakan hampir-hampir manusia pemburu-pengumpul pra revolusi pertanian setara kedudukannya. Tidak ada si manja yang benar-benar kaya, ataupun si miskin yang benar-benar menderita. Para pemburu-pengumpul hidup berkoloni dan nomaden. Beberapa suku bahkan tega membunuh anggotanya yang sudah tak mampu melanjutkan perjalanan.

Mereka tidak kaya, mereka juga tidak miskin, namun mereka bahagia dengan keadaannya. Mereka tak punya banyak anak, mereka juga tak segan membunuh anggota yang tak layak diturunkan sifatnya. Akhirnya, jumlah anggota mereka juga tak seberapa.

Hal ini tak berarti banyak anak membawa petaka, pendidikan dasar si anaklah yang menentukan: Apakah si anak bakal jadi bocah manja, atau menjadi pemuda yang tak lelah dalam berkarya.

Hakim M. Mumtaz

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun