Di lereng gunung yang puncaknya senantiasa berkabut, terdapat sebuah kampung. Kampung terpencil itu sulit dijangkau karena untuk sampai ke sana, siapapun harus menyeberangi jembatan akar yang dibuat khusus untuk menghubungkan dua tebing curam yang di dasar jurangnya mengalir sungai berarus deras. Kampung itu hanya dihuni oleh 35 keluarga. Sebagian besar hidup sebagai peladang dan sisanya pemburu.
Apa saja tumbuh di kampung itu. Padi adalah yang paling subur tumbuhnya dan komoditas ini sering dijual keluar kampung. Mereka menumbuhkan padi dengan cara paling sederhana, tanpa dipupuk, kecuali hujan; dan tanpa alat bantu, kecuali cangkul dan parang. Penduduk di kampung itu belum mengenal membajak sawah dengan mengunakan sapi, mereka mencangkulnya. Pendudik kampung terpencil itu, meskipun mereka tahu tentang sapi tetapi mereka tidak pernah bersentuhan atau memelihara seekorpun sapi. Itu berlaku bertahun-tahun hingga suatu sore sekitar lima tahun yang lalu.
Waktu itu, seorang laki-laki tanggung yang bernama Kajen, muncul di tepi kampung dengan menggandeng seekor sapi. Menurut penuturannya, ia menemukan sapi itu sedang hanyut terbawa arus deras sungai. Kajen menyelamatkan sapi itu, menariknya ke tepian, dan membawanya ke kampungnya. Kampung itu hanya dihuni oleh 35 keluarga dan Kajen adalah salah satu warganya.
Lima tahun lalu, kemunculan Kajen bersama sapi menjadi polemik di kampungnya. Bukan hanya barang baru di kampungnya, sapi juga dianggap mendatangkan persoalan baru. Sempat terjadi penolakan dan sebagai puncaknya diadakanlah pertemuan khusus membahas kedatangan sapi pertama itu. Mewakili keresahan warganya, Patuo, sang pemimpin kampung, bertanya kepada Kajen. "Bagaimana mungkin manusia bisa hidup berdampingan dengan sapi?" tanyanya. Pada pertemuan itu, Kajen menjawab, "Saya akan pelajari caranya, Patuo. Saya pernah lihat bagaimana orang kampung luar hidup bersama sapi."
"Apakah sapi bisa ditundukkan oleh manusia?" tanya Patuo lagi. Kajen kembali menjawab, "Di kampung luar, Patuo, sapi bisa ditundukkan oleh manusia."
"Bagaimana jika sapi itu melawan dan menyerang kampung kita?" tanya salah satu warga. Kajen menjawab, "Saya tak tahu. Tapi saya akan berusaha menundukkan sapi ini."
"Di mana kita harus menyimpan sapi itu?" tanya yang lain. "Mungkin kita perlu membuatkan rumah untuknya," jawab Kajen. Semua pertanyan yang keluar adalah pertanyaan yang sangat mendasar. Mereka, para warga, bukan tidak tahu tentang sapi, tapi mereka tak pernah mau berurusan dengan hal-hal baru yang mereka belum ketahui dari nenek-moyang mereka. Bagi mereka, sapi identik dengan kehidupan kampung luar, bukan kampung mereka.
Sapi yang ditemukan Kajen pastilah sapi seseorang di kampung luar yang tergelincir hanyut ke sungai. Namun Kajen sudah mengelilingi kampung luar dan tak ada yang mengaku kehilangan sapi. Tiba di kampung luar, Kajen menemui Sarip temannya. "Rip, ajari aku bagaimana berhubungan dengan sapi," kata Kajen kepada Sarip. Sarip tertawa terbahak-bahak. "Kami di sini menyebutnya bukan begitu," komentar Sarip masih sambil tertawa. "Kami di sini menyebutnya memelihara sapi." Sarip bersedia mengajari Kajen memelihara sapi. Setiap hari Kajen diizinkan datang ke kampungnya untuk melihat langsung bagaimana ia memelihara sapinya.
Seminggu kemudian, Kajen sudah paham bagaimana memelihara sapi. Kini ia tak lagi membiarkan sapinya untuk mencari rumput sendiri, namun ia akan mencarikan rumput untuk diberikan kepadanya sebagai makanan. Sapi itu dibuatkan kandang beratap ijuk sehingga tidak kehujanan ketika turun hujan. Sejak mengetahui caranya, Kajen memiliki aktivitas baru selain berladang, yaitu memelihara sapi. Semingu sekali ia mengajak sapinya ke sungai untuk dibersihkan.
"Kajen sudah mulai aneh," kata seorang warga memulai kasak-kusuk. "Ia menyajikan rumput sebagai makanan untuk sapi itu," sahut yang lain. "Ia juga membuatkan rumah untuk sapi itu," kata yang satu lagi. "Bukan hanya itu," sahut yang lain lagi, "ia kini juga punya kebiasan, setiap minggu pergi ke sungai untuk memandikan sapi itu." Kasak-kusuk itu memuncak dengan kesimpulan aneh. "Kajen telah diperbudak oleh sapi!" Tapi yang lebih aneh lagi adalah kesimpulan seorang warga. "Kajen telah menyembah sapi," katanya.
Karena kasak-kusuk tak terbendung lagi, maka diadakanlah pertemuan kedua untuk membahas soal sapi.Â
"Kajen," seru Patuo pada pertemuan tersebut. "Saya mendengar, katanya kamu sekarang diperbudak oleh sapi! Benarkah?" Kajen menggeleng. "Saya hanya memeliharanya, Patuo," jawab Kajen. "Saya tidak diperbudak oleh sapi."
"Lalu, kenapa sapi itu kau beri makan?" tanya Patuo lagi. Di kampung itu, semua hewan hidup liar. Ayam, bebek, dan ikan mereka tangkap dengan salah satu dari dua kemungkinan, antara diburu atau dipancing. "Karena sapi butuh makan, Patuo," jawab Kajen. "Saya menggunakan tenaga sapi itu untuk membajak sawah. Sapi itu perlu makan untuk memulihkan tenaganya, Patuo," tambah Kajen.
"Kamu membangunkan rumah untuk sapi itu dan setiap minggu kamu memandikan sapi itu. Ritual apa itu?" tanya lagi Patuo. "Itu bukan ritual aneh, Patuo," jawab Kajen. "Memang seperti itu seharusnya yang dilakukan oleh para pemelihara sapi."
"Apakah kamu menyembah sapi?" hardik Patuo. "Tidak, Patuo," jawab Kajen tandas. "Saya memeliharanya. Sapi itu bekerja untuk saya. Sapi tidak menyembah saya dan saya tidak menyembah sapi."
Karena jawaban Kajen jujur dan apa adanya, Patuo juga melihat tak ada yang menyimpang dari kehidupan Kajen, Patuo membolehkan Kajen meneruskan kebiasaannya memelihara sapi. Sejak itu, Kajen semakin semangat memelihara sapi. Ia mempekerjakan sapi itu untuk membajak sawah. Setahun sejak kedatangan sapi itu, para warga bukan hanya sudah terbiasa dengan sapi, namun kini mereka melihat adanya manfaat dari sapi tersebut.
Pertemuan ketiga membahas sapi diadakan lagi. Pertemuan itu memutuskan bahwa kampung terpencil itu perlu mendatangkan lebih banyak sapi. Konon katanya, sapi itu bisa diternakkan dan dikembangbiakkan. Sejak pertemuan yang mencerahkan itu, kampung terpencil Kajen telah berubah. Kini di kampung itu telah ada lima ekor sapi. Setiap tujuh kepala keluarga bertanggung jawab terhadap seekor sapi. Setiap kelompok menunjuk perwakilan, siapa di antara mereka yang diberi tugas untuk memelihara sapi, memberinya makan, dan jika perlu memandikannya di sungai.
Kini sapi bukan lagi hal baru yang dianggap aneh di kampung itu. Penduduk kampung tak lagi melihat sapi sebagai sesuatu yang memperbudak manusia, karena justru mereka memanfaatkanya untuk membajak sawah. Mereka memberinya makan bukan karena sapi itu minta diperlakukan demikian, melainkan agar mereka tetap bisa berharap sapi itu memiliki tenaga keesokan harinya untuk bekerja membantu manusia. Kini di kampung itu, para pemelihara sapi bukan lagi dianggap aneh, tak lagi dituduh diperbudak sapi, atau dituduh menyembah sapi. Di kampung itu, para pemelihara sapi disebut para penakluk sapi.
Diawali dengan pertemuan tak sengaja lima tahun lalu dengan seekor sapi yang hanyut, kini kampung Kajen telah mengenal bagaimana memanfaatkan tenaga seekor sapi untuk membantu kehidupan di kampung tersebut. Hari ini, lima tahun sejak hari itu, Kajen mengenang seluruh perjuangannya selama lima tahun terakhir dengan tersenyum simpul. Ia melenggang sambil menarik tali kekang sapinya.
***
Sore ini, Kajen telah usai membajak sawah dengan sapinya. Ia sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Ia membuka pintu kandang yang lima tahun lalu dibangunnya. Oleh Kajen, kandang sapi itu diberi nama Keris. Semua warga ikut-ikutan menamai kandang sapinya dengan sebutan Keris. Kajen memghalau masuk sang sapi ke dalam Keris. Di dalam Keris, Kajen melempar rumput kepadanya.
"Jin, ayo makan makananmu," kata Kajen kepada sang sapi. Kajen memanggil sapinya dengan julukan Jin. "Kusajikan ini untukmu, Jin... Makanlah, biar besok kamu kuat bekerja lagi."
Jin melenguh, "Mooooh..." Kajen tertawa mendengarnya. Sempat terlintas dalam benak Kajen, apakah mungkin sapi itu paham apa yang barusan dikatakannya? "Dasar sapi," ia terkekeh sendiri. "Mungkin sesekali aku perlu membersihkan kandangmu, Jin," kata Kajen sambil melihat sekeliling bagian dalam Keris yang mulai banyak sarang laba-laba. "Baiklah, nanti setiap tahun saya akan mencuci Keris." Setelah berkata itu, Kajen menutup pintu kandang, meninggalkan Jin sendirian, dan melangkah pulang.
Bandar Lampung, 31 Oktober 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H