Mohon tunggu...
Hakim Maulani
Hakim Maulani Mohon Tunggu... wiraswasta -

Give a man a fish, you will feed him for a day. Give a man a gun, others will feed him for a lifetime.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kearifan Dagang: Memahami Pemilih yang Tidak Rasional

9 Oktober 2015   08:50 Diperbarui: 9 Oktober 2015   10:48 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - marketing (Shutterstock)

Saya seorang pedagang. Nasihat terbaik yang bisa saya berikan dalam berdagang adalah jangan ‘omong besar.’ Pedagang sukses yang bertahan sukses yang pernah saya temui mempunyai satu senjata rahasia yang sama, yaitu kejujuran. Seorang pedagang sukses pernah memberi nasihat bahwa berdagang harus sesuai fakta, terus-terang, kuat, dan tabah. Dagangan harus disampaikan apa adanya, apa yang pernah dan bisa dilakukan produknya. Hilangkan berandai-andai. Jangan mengklaim berlebihan, tetapi apa yang diklaim harus bisa dibuktikan tanpa keraguan sedikitpun. Tidak perlu mengatakan produk kita tak terkalahkan atau meyakininya berlebihan, cukup katakan bahwa produk kita yang terbaik atau tidak mengatakan apapun. Jangan membicarakan pedagang lain. Abaikan orang, tempat, atau barang lain kecuali yang berkaitan dengan dagangan kita.

Prinsip berdagang di atas sebenarnya berlaku juga untuk kita semua. Bisa juga menjadi pelajaran dalam berpolitik, terutama dalam berkampanye di masa pemilihan umum. Sebuah buku yang pernah menjadi Best Seller di Amerika di tahun 2008, judulnya: “Predictably Irrational: The Hidden Forces That Shape Our Decisions” yang ditulis oleh Dan Ariely mungkin bisa menjadi bahan renungan. Untuk diketahui, dalam pemasaran itu yang paling penting bukan apa yang kita sampaikan, tetapi apa yang didengar konsumen. Ada berbagai cara untuk menyampaikan hal yang sama. Misalnya, diskon 50%, hemat 50%, setengah harga, beli 1 gratis 1 adalah hal yang sama yang disampaikan dengan cara berbeda. Tetapi, bila anda bertanya ke seorang pedagang yang mana cara yang paling efektif dari yang di atas, maka kemungkinan besar jawabannya adalah ‘beli 1 gratis 1’ pilihannya. Mengapa demikian? Penulis Dan Ariely memberi jawaban dalam satu bagian di bukunya. Ia sebut bahwa kata kuncinya adalah ‘GRATIS’.

Sebagai ekonom yang mempelajari perilaku manusia, ia menunjukkan bahwa konsumen hilang akal sehatnya bila dihadapkan dengan kata “gratis.” Di dalam buku Predictably Irrational, Ariely mengemukakan bahwa gratis “adalah sesuatu yang menyulut emosi, sumber kegembiraan yang tidak rasional.” Untuk membuktikan klaimnya, ia mengutip percobaan dimana sekelompok konsumen pertama-tama diminta memilih antara 2 merk coklat yang harganya diturunkan secara drastis yaitu coklat Hersey’s Kiss dihargai 1 sen dan coklat Lindt Truffle dihargai 15 sen. Konsumen memilih Lindt Truffle dengan margin yang sangat besar karena harga 15 sen adalah sangat menarik untuk sebuah coklat mewah. Tetapi, ketika eksperimen dilakukan kembali dengan menurunkan 1 sen dari harga tiap-tiap produk, dimana Lindt Truffle harganya menjadi 14 sen dan Hersey’s Kiss menjadi gratis, jumlah konsumen yang memilih Hersey’s naik lebih dari dua kali lipat.

Menurut Ariely, daya pikat untuk mendapatkan sesuatu yang gratis mem-bypass rasionalitas masyarakat dan mengakibatkan mereka untuk memilih produk yang lebih buruk hanya karena produk itu gratis. Tidak rasional atau bukan, tentunya istilah “gratis” mempunyai pengaruh besar dalam kalkulasi mental masyarakat. Bila klaim Ariely ini benar bahwa masyarakat menggandrungi apa saja yang “gratis”, maka kita mempunyai masalah dengan pemilihan umum yang kita lakukan. Bagaimana mungkin kita sebagai konsumen diberi kepercayaan untuk memilih politisi yang memberi kita pengobatan gratis, uang saku gratis, pendidikan gratis, sepeda mini gratis, buku-buku gratis, janji-janji gratis, sampai-sampai uang gratis? Berhadapan dengan politisi yang cerdas dan layak yang menjanjikan layanan pemerintah yang kita semua harus melakukan pengorbanan, dengan politisi yang berbohong yang menjanjikan pemerintahan yang serba gratis, maka percobaan Ariely menunjukkan bahwa konsumen akan secara tidak rasional memilih politisi yang kedua. Konsumsi politik yang tidak rasional ini meruntuhkan alasan untuk berharap banyak terhadap pemerintah yang dipilih secara demokratis karena tidak menghasilkan cita-cita bahwa hanya yang cerdas dan terbaik yang akan memimpin kita.

Ia juga memberi penekanan pada konsep herding atau penggembalaan, bahwa manusia melekatkan nilai pada sesuatu mengikuti orang-orang lain melekatkan nilai pada sesuatu itu. Ariely memberi contoh pada sebuah antrian di suatu retoran. Saat kita melihat antrian lima orang di luar suatu restoran maka timbul pikiran di benak kita bahwa, “wah .. ada lima orang yang ingin masuk ke dalam, ini pasti restoran hebat!” Lalu kita ikut mengantri. Orang berikutnya melihat bahwa ada enam orang yang mengantri untuk masuk ke restoran tersebut dan akan berpikiran sama dengan pikiran kita sebelumnya. Paling tidak ada dua orang yang antri tetapi tidak tahu tentang rasa makanan di dalam, enak atau tidak. Konsumen berbaris bukan karena mereka mempunyai pengetahuan tentang produk itu, tetapi karena produk itu populer.

Bila konsep ini benar, maka ini menyiratkan bahwa pemilih dalam pemilu memberikan pilihannya kepada seorang kandidat bukan berdasarkan siapa yang terbaik melainkan berdasarkan siapa yang terpopuler. Masyarakat memberikan suaranya kepada Jokowi karena teman mereka melakukannya, dan teman mereka mungkin memilih Jokowi karena faktor herding juga. Menurut ilmu perilaku ekonomi maka bisa diyakini bahwa ada sebagian besar masyarakat yang memilih Jokowi, atau calon-calon lain di setiap pemilu, tanpa alasan yang tepat .

Negara yang berfungsi baik mengandalkan para pemilih yang rasional dan cerdas untuk memilih pemimpinnya. Kita mengandalkan proses pemilihan umum untuk menghasilkan yang terbaik dan cemerlang yang akan memenangkan kepercayaan pemilih untuk memegang amanah jabatan. Dari situ, yang terbaik dan cemerlang dapat secara bijak mengelola negara dan kehidupan warganya. Tetapi, bila konsumen menjadi tidak rasional seperti yang disampaikan Ariely, maka mereka akan memilih politisi yang tidak mewakili mereka dengan baik dan konsisten.

Dalam berbagai pertemuan-pertemuan, kita menyaksikan politisi kita membagi-bagikan berbagai hadiah-hadiah gratis, bahkan dalam pemilu menjanjikan berbagai ke-gratis-an yang akan dilakukannya, tidak lupa melakukan klaim-klaim yang berlebihan. Bila penelitian Ariely benar, maka kita mengalami pemerintahan yang lahir dari sistem politik yang tidak rasional. Sistem politik yang tidak melahirkan pemimpin yang paling baik dan tercerdas, tetapi hanya politikus yang terbaik daya tariknya terhadap pemilih yang tidak rasional. Tentu saja hal ini perlu dibuktikan oleh politisi yang terkait, moga-moga aja hasil kerjanya ngga jelek-jelek amat …

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun