Slogan baru Jokowi, “Revolusi Mental” menjadi berita nasional minggu lalu. Kalau saja saya masih anak muda mungkin saya akan terpukau dengannya. Dulu, sewaktu kuliah memang kadang saya suka membaca buku-buku sosialis. Sosialisme ini tidak saja menerangkan teori-teori ekonomi tetapi berlagak juga menerangkan jagad alam, kehidupan dan masyarakat. Jargon-jargonnya memikat anak-anak muda dan orang-orang miskin.
Saat itu, di dunia ini ada sebuah laboratorium percobaan teori-teori sosialis yang dikenal dengan USSR, Union Soviet Socialist Republics. Segala teori-teori sosialis dicoba diterapkan di sana, kebanyakan darinya tidak saja mengalami kegagalan , tetapi juga membawa malapetaka bagi umat manusia. Puluhan juta manusia terbunuh. Bukan itu saja, terapan teorinya juga membawa bencana, sebut saja jaminan kesehatan untuk rakyat Uni-Soviet yang memakan korban jutaan orang. Iuran yang rendah yang tidak sebanding dengan biaya pasien yang besar membuat rumah-rumah sakit kreatif menciptakan efisiensi. Obat-obatan yang dipakai bukan untuk peruntukannya, jarum suntik yang digunakan berulangkali adalah sebagian contoh saja. Akibatnya, banyak pasien yang imun terhadap pengobatan, bahkan 70% penderita AIDS di Uni-Soviet saat itu terjangkit virus tersebut saat perawatan di Rumah Sakit.
Saya singkat saja ceritanya. Birokrasi, tidak ada pilihan, tidak ada kepastian urusan ekonomi, tidak ada harga-harga pasar yang mengkoordinasi kegiatan ekonomi, tidak ada hak milik sebagai dasar perhitungan usaha membuat gagalnya ekonomi Uni-Soviet. Korupsi, kejahatan dan pasar gelap terjadi di mana-mana. Meminjam kata-kata Paul Craig Roberts, ekonom dan kolumnis Wallstreet Journal, “Kita seharusnya berterima kasih kepada Soviet karena mereka telah membuktikan dengan meyakinkan bahwa sosialisme tidak bisa berjalan…” Beberapa saya kutip dari tulisan-tulisannya.
Waktu itu tahun 1990 ketika Mikhail Gorbachev mengambil tampuk kepemimpinan menjadi Presiden ke-7 Uni-Soviet. Mandeknya ekonomi membawa konsekuensi rusaknya moral dan etika kerja, Uni-Soviet terancam menjadi negara gagal. Untuk menyelamatkan Komunisme Soviet, Gorbachev menjanjikan reformasi. Latar belakang pendidikannya adalah Sarjana S-2 Hukum dan Sarjana S-2 Pertanian. Gorbachev tidak pernah belajar Ekonomi.
Gorbachev berteori bahwa sistem sosialis bekerja dengan baik saat itu, tidak ada distorsi-distorsi ekonomi. Permasalahan terletak pada masyarakat, sebagai roda-gigi mesin komunis, telah menjadi pemalas, pemabuk, dan memperoleh “penghasilan tidak jujur” yang melanggar etika kaum sosialis. Reformasi pertama yang ia gulirkan adalah “Revolusi Mental” yaitu dengan “merestruktur cara masyarakat berpikir.”
Kampanye anti-alkohol dimulai segera. Para pemimpin partai mengumumkan dengan tegas bahwa mereka tidak mau melihat ada “pemabuk” lagi di wilayahnya. Usaha pemantauan dilakukan secara seksama untuk mencari para pelanggar dengan mencium bau alkohol di napasnya dan segera menggiringnya ke kantor polisi. Ketika kantor polisi menjadi penuh sesak, menjadi kebiasaan rutin untuk memuat ribuan orang ke dalam truk-truk polisi dan membawanya ke luar kota sejauh 40km, lalu menurunkan mereka di tengah malam yang gelap dan dingin. Hampir setiap malam dapat disaksikan “pasukan pemabuk” pulang berkilo-kilo meter berjalan kaki menuju kota di tengah dinginnya musim salju.
Lebih dari 90 persen toko-toko minuman keras tutup. Para pemimpin partai tidak mengantisipasi apa yang terjadi berikutnya. Gula, tepung, sabun dan cairan pembersih kaca hilang dari rak-rak toko. Menggunakan produk-produk ini, minuman keras oplosan meningkat 300 persen dalam satu tahun. Hasilnya bisa diprediksi, sekitar 25,000 orang mati gara-gara menenggak minuman alkohol produksi rumahan. Sementara itu, Gorbachev dan para pemimpin partainya, yang menikmati minuman keras impor dari Barat, menyatakan bahwa mereka yang mati sudah selayaknya mati. Banyak keluarga yang menghabiskan 75% dari pendapatan resminya untuk minuman keras. Namun, berkat kampanye alkoholnya Gorbachev, hampir setiap rumah menjadi pengoplos minuman keras.
Pendapatan dari pajak penjualan alkohol (pajaknya hingga 6,000 persen) adalah sumber utama pembiayaan pemerintah pusat, cukup untuk pendanaan keseluruhan anggaran kesehatan. Kampanye ini berakhir ketika pemerintah menyadari menanggung ongkos yang terlalu besar. Anggaran pemerintah mulai kehilangan hingga 30 milyar rubel per tahun. Bukan itu saja, pengalaman ini memberi pelajaran kepada Gorbachev bahwa lebih mudah mengatur orang-orang yang mabuk karena mereka lebih bisa menerima penghinaan dan perlakuan kasar. Sedangkan, masyarakat yang tidak mabuk mereka peduli dengan politik dan tidak terlalu pasif. Jadi, Gorbachev mencoba menyelamatkan muka dengan memerintahkan peningkatan produksi minuman beralkohol besar-besaran. Dan, ia meminta pemerintah mengadakan penjualannya di mana-mana, termasuk di toko-toko mainan dan toko-toko roti.
Kerugian ekonomi akibat kampanye anti-alkohol ini tidak dapat diperbaiki. Bagian besar pendapatan pemerintah yang terpotong habis menyebabkan efek berantai yang berimbas pada semua sektor ekonomi. Bank Sentral mulai mencetak uang hingga lebih banyak uang mengejar lebih dikit barang, atau inflasi tinggi sekali. Konsumen yang biasanya kebutuhannya tercukupi dari toko-toko pemerintah, sekarang tabungannya pun terpaksa dipakai untuk membeli barang-barang kebutuhannya. Hasilnya adalah kelangkaan barang. Untuk mengoreksi defisit, program-program pemerintah dipotong secara drastis, walau alternatif pilihannya tinggal sedikit.
Kemudian, Gorbachev melakukan “Revolusi Mental” yang kedua yaitu kampanye melawan “pendapatan tidak jujur.” Sebelumnya, hal ini pernah juga dideklarasikan oleh Stalin dan Khrushchev bahwa pendapatan selain gaji resmi adalah kejahatan yang harus dienyahkan. Misalnya, seseorang menyewakan kamar dalam rumahnya, dia telah menerima “pendapatan tidak jujur” dan semua pihak yang terlibat mendapat hukuman yang berat. Masalahnya, hampir tidak ada orang yang tidak melakukan kegiatan ekonomi tidak resmi.
Birokrat Partai membuldoser halaman-halaman rumah petani karena menanam sayur dan buah-buahan di situ. Pasar-pasar gelap para petani ditutup. Para birokrat ini menggerebek kegiatan penukaran valuta asing dan transportasi tidak resmi. Kekacauan terjadi di pasar rumah karena denda untuk menyewakan kamar adalah penyitaan seluruh rumah.
Untuk meyakinkan bahwa seluruh barang diproduksi secara resmi dibuat sistem peraturan dimana setiap barang harus mempunyai sertifikat melalui birokrasi. Untuk mendapatkannya, seseorang harus membuktikan apa saja yang akan ia jual di pasar sebelum waktunya. Tetapi seperti biasanya, sistem ini mempunyai jalan pintas, sertifikat-sertifikat ini dijual oleh birokrat rendahan untuk sogokan yang besar.
Pengendalian harga di pasar-pasar koperasi diatur dengan tegas sehingga semua harga di seluruh toko-toko pemerintah harus sama. Daging sapi ditetapkan harganya 4 rubel per kilo saat itu. Yang terjadi adalah para pedagang menjual potongan daging kecil beserta tulang yang besar sehingga dapat memenuhi aturan 4 rubel per kilo. Lain halnya dengan pasar daging kelinci yang ditetapkan harganya 3 rubel per kilo. Adalah tidak mungkin mencari tulang besar di kelinci untuk disertakan dengan dagingnya agar mencapai harga resmi. Akibatnya daging kelinci hilang dari pasaran. Kampanye melawan pendapatan tidak jujur membuat kegiatan ekonomi tidak resmi semakin tidak resmi. Untuk konsumen artinya harga-harga yang melambung tinggi karena penjual yang menjual di pasar gelap menambah faktor resiko di harga produknya.
Gang-gang mafia bermunculan untuk menjaga “keamanan”. Hukum tentang pendapatan tidak jujur berakibat juga terhadap lingkungan akademis. Banyak profesor yang menerima sogokan untuk nilai baik. Dalam satu tahun saja 150,000 orangmasuk penjara akibat melakukan kegiatan pendapatan tidak jujur, diantaranya terdapat 24,000 birokrat eselon atas yang kebanyakan masuk lebih akibat balas dendam pribadi atau dihancurkan oleh persaingan permintaan sogokan di pasar gelap.
Kampanye yang dimulai tahun 1986 hanya dapat bertahan satu tahun. Sebagian besar pasar dihancurkan oleh peraturan ini. Setelah mendatangkan bencana ekonomi akibat dua kampanye yang ia jalankan, Gorbachev kembali memprakarsai “Revolusi Mental”-nya yang ketiga yaitu kampanye menegakkan “disiplin pekerja” dengan memaksa masyarakat untuk datang tepat waktu dan bekerja lebih keras. Gorbachev memprakarsai hukuman berat bagi orang-orang “malas”, yang membuat lebih gampang lagi menghukum orang-orang yang tidak disukai pemerintah. Jika dalam tiga jam seorang pekerja tidak kelihatan bekerja, dia akan langsung kehilangan pekerjaannya. Karyawan harus memberitahu 2 bulan di muka dari sebelumnya 2 minggu untuk pindah kerja. Pejabat-pejabat perusahaan rapat tiga jam penuh pada jam kerja hanya untuk mencela seseorang yang terlambat sepuluh menit dan menuduhkan semua permasalahan perusahaan pada dirinya. Orang-orang yang berada di tempat-tempat umum diganggu dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai kegiatannya.
Kampanye ini seketika harus dihentikan karena membuat marah terlalu banyak orang dan tampaknya tidak terlalu meningkatkan ekonomi. Faktanya, permasalahan bukan terletak pada disiplin pekerja, tetapi pada sistem ekonomi yang tidak berjalan. Ketika, Gorbachev mulai berbicara mengenai pasar keadaan sudah terlanjur parah, pemerintah terlanjur bangkrut. Kita tahu akhirnya, Gorbachev di-kudeta oleh Yeltsin dibantu militer. Dan, Union Soviet Socialist Republics pecah menjadi beberapa republik merdeka. Negara sosialis yang lebih dikenal dengan sebutan Uni-Soviet telah menjadi sejarah. Kini, kita menunggu “Revolusi Mental” apa yang akan dideklarasikan Jokowi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H