Bagi peneliti, ia harus berangkat ke luar negeri untuk mendapatkan data mushaf ini. Menyenagkan juga sih ke luar negeri, tapi itu tidak mudah. Tidak semuanya bisa. Kalaupun bisa tidak setiap saat. Intinya, lebih bangga mencari data di negeri sendiri bagaimana pun sulitnya, daripada di negeri orang. Apalagi data tentang negeri sendiri dan punya negeri sendiri.
Saya jadi ingat, kolega peneliti yang diharuskan membayar 0.5 ringgit untuk bisa memfoto mushaf Indonesia yang ada di sebuah lembaga di Brunei Darussalam. Kalau jumlahnya 600 halaman, maka dia harus membayar 300 ringgit. Setara tiga juta untuk satu mushaf. Berapa kalau sepuluh mushaf? Weleh weleh weleh.
Apa untung ruginya buat pembeli, buat umat Islam setempat? Buat siapa lagi ya?
Btw, waktu saya cerita ke kawan saya, dia nyletuk, "Kan enakan ke Malaysia Mas! Penerbangan lebih murah daripada ke Banyuwangi. Bisa traveling juga. Apalagi Quran-nya punya Habib, apa bisa sampean 'nembusi' habib?"
"Iya juga ya!" batinku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H