Kemarin, Timor Leste sukses memaksa Australia menandatangani batas baru laut kedua negara. Perjanjian baru ini menandai akhir penjajahan Australia di wilayah laut Timor Leste akibat ketidakberdayaan Timor Leste pada negosiasi awal pasca Timor-Timur lepas dari Indonesia pada tahun 1999. Saya menyebut penjajahan karena negosiasi tahun 2002 lalu diwarnai oleh kecurangan Australia atas Timor Leste. Ketidakpuasan Timor Leste  berawal dari kecurigaan bahwa Australia memata-matai perwakilan Timor Leste dengan cara memasang alat perekam/penyadap pada ruangan/gedung tempat lokasi negosiasi berlangsung. Penggunaan teknologi canggih oleh Australia sukses membuat Timor Leste bertekuk lutut pada dikte Australia. Perilaku curang Australia ini pernah menimpah SBY pada tahun 2013 bahkan sudah dilakukan sejak tahun 2007 yang membuat hubungan kedua negara sempat mencapai titik nadir.
Hasil negosiasi Australia dan Timor Leste pada waktu itu adalah kedua negara mencapai kesepakatan pembagian hasil pengolahan minyak di area yang namanya Joint Petroleum Development Area (JPDA) yang memberi porsi 90% kepada Timor Leste, dan hasi dari area Sunrise dibagi rata, masing-masing 50%. Tetapi negosiasi batas permanen kedua negara ditunda hingga 40 tahun mendatang. Tetapi kemudian pemerintah Timor Leste menyadari bahwa pembagian ini sesungguhnya tidak adil karena area eskploitasi minyak ini masuk wilayah Timor Leste kalau batas laut dibuat atas median line principle. Sehingga kata Tom Allard di Sydney Morning Herald "If the boundary was drawn midway between East Timor and Australia — as is standard under international law — most of the oil and gas reserves would lie within Timor's territory". Dan, Timor Leste menghendaki pengelolaan lanjutan minyak dan gas dilakukan di Timor Leste, bukan di Darwin. Xanana menunduh Australia berkolusi dengan perusahaan minyak dan gas dalam hal yang terakhir ini. Pengelolaan lanjutan minyak dan gas  di Darwin telah member manfaat sekitar $25 miliar dalam bentuk lapangan kerja dan pajak. Ini dampak yang sangat besar seandainya saja pengelolaan lanjutan minyak dan gas di lakukan di Timor Leste.
Kesuksesan Timor Leste melakukan renegosiasi ini memberi peluang bagus buat Indonesia untuk menegosiasi ulang batas laut kita dengan Australia. "Jika Australia siap menegosiasikan ulang perbatasan dengan Timor Leste, mengapa Australia tidak bisa menegosiasikan ulang juga perbatasan dengan Indonesia yang telah diselesaikan dahulu," kata Profesor Rothwell dari Universitas Nasional Australia. Bukan sekedar ikut-ikutan, tetapi karena penjajahan serupa yang dilakukan oleh Australia atas Timor Leste itu sesungguhnya terjadi dan masih berlangsung di Indonesia.  Negosiasi batas laut Australia dan Indonesia yang disepakati pada awal 1971, ketika sebagian besar batas laut Australia masih didasarkan pada landas kontinen, yang jauh melampaui batas rata-rata dan sangat dekat dengan garis pantai pulau-pulau Indonesia. Akibatnya, hampir 85 persen wilayah Laut Timor dikuasai sepenuhnya oleh Australia. Sehingga pada tahun 1977 - lima tahun setelah perjanjian disepakati - Menlu Indonesia Mochtar Kusamaatmadja saat itu mengklaim bahwa Australia telah "merugikan Indonesia" atas perundingan perbatasan.
Salah satu hasil negosiasi Indonesia-Australia tahun 1974 yang merugikan nelayan kita adalah soal akses perikanan dan kekayaan laut di perairan sekitar Pulau Pasir atau Amore reefdi selatan Pulau Rote yang berbentuk kotak yang dikenal dengan nama MOU Box 1974. Secara turun-temurun, nelayan Indonesia sudah mengambil hasil laut di lokasi sejak sekitar abad 17, sebelum orang putih, khususnya Kapten Cook, tiba di Benua Australia. Karena aktifitas perikanan ini, Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia pernah membuat regulasi pengumpulan teripang dan biota laut lainnya di Pulau Pasir yang terletak di selatan Pulau Timor dan Rote. Hal ini sangat mungkin karena letak Pulau Pasir yang sangat dekat: sekitar 120 KM dari Pulau Rote, 840 KM dari Darwin, Australia Utara, dan 610 KM dari Broome, Australia Barat. Orang Rote mengklaim kepemilikan Pulau Pasir karena "Fakta hukum justru menunjukkan bahwa pulau yang kaya mineral yang terletak di selatan Pulau Rote, itu sesungguhnya adalah milik nelayan tradisional Indonesia," kata ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) yang juga pemerhati Laut Timor Ferdi Tanoni. Sehingga, tiga tahun lalu, YPTB pernah membuat petisi berjudul "Australia not legally entittled over ashmore reef (Gugusan Pulau Pasir)".
Hasil negosiasi tahun 1974 itu tetap mengijinkan nelayan Indonesia untuk melaut disana tetapi hanya boleh menggunakan perahu tradisional; yaitu perahu yang terbuat dari kayu dan di gerakan dengan layar/angin (wooden win-powered boats). Pemerintah Australia tidak mengijinkan nelayan yang memakai perahu modern memasuki MOU Box 1974. Akibatnya banyak perahu nelayan yang ditahan/dibakar dan bahkan nelayan kita di penjara karena mereka memakai perahu bermesin. Kita harus tunduk pada hukum asing yang diterapkan di kebun kita yang sudah kita garap selama berabad-abad.
Saya sendiri menjumpai dan mengetahui dari keluarga nelayan kita di Pulau Rote, khususnya di Papela ternyata puluhan nelayan yang nekad memakai perahu kayu/layar itu hilang terbawa arus laut. Hingga saat ini tidak ada berita tentang keberadaan mereka. Jaman sudah berganti tetapi Australia tetap menghendaki kita hidup dalam keterbatasan. Kita hanya bisa melaut kalau kita tetap tradisional. Padahal tradisional atau modern itu hanyalah soal waktu. HP modern 15 tahun lalu menjadi primitif saat ini karena tidak bisa mengakses wifi, misalnya. Ini namanya penjajahan budaya: Australia boleh modern tetapi kita dipaksa tetap primitif. Kebijakan pemerintah Australia ini dianggap tidak adil oleh banyak peneliti Australia sendiri. Jill Elliot, seorang peneliti yang tinggal di Australia barat mengatakan: "Australian policies towards Indonesian fishermen are authoritarian and rely totally on deterrent measures. They are reminiscent of a colonial past. They are costly but ineffective, and have a serious impact on the lives of the fishermen and their families".
Inilah saatnya kita akhiri penjajahan Australia. "Karena Indonesia belum meratifikasi [kesepakatan di Laut Timor], hal itu membuat Indonesia bisa meminta Australia dan mengatakan ingin meninjau kembali aspek-aspek tertentu dari perjanjian tersebut. Terutama mengingat pengaturan batas maritim yang Australia lakukan sekarang dengan Timor Leste," kata Profesor Rothwell. Kalau Timor Leste yang berbagi pulau yang sama dengan Timor Barat bisa melakukan renegosiasi atas dasar median line principle, maka tidak ada alasan untuk tidak mengakhiri praktek penjajahan ini.Â
Hal penting lainnya adalah bahwa kesepakatan baru Australia dan Timor Leste dengan menerapkan median line principle akan mempengaruhi batas laut Indonesia. Kalau Timor Leste ingin memperoleh lebih banyak bagi hasil dari area Sunrise yang terletak di sebelah barat JPDA, maka batas timur JPDA harus ditarik ke timur untuk mencakup Sunrise. Tetapi karena batas timur JPDA dan Sunrise itu adalah titik tengah Timor Leste dan Indonesia maka perubahan batas ikut mempengaruhi wilayah Indonesia. Dengan median line principle, maka sekitar 80% kekayaan Sunrise akan jatuh ke wilayah Indonesia karena Sunrise lebih dekat ke Indonesia dari pada ke Timor Leste. Kandungan Sunrise akan  gas sekitar 5,1 triliun kaki kubik dan 226 juta barel kondensat setara dengan$40 billion and $100 billion. Kekayaan ini  harusnya kita yang nikmati tetapi bisa jadi hanya akan dinikmati Timor Leste pasca renegosiasi ini kalau kita diam. Lihat perbedaan kedua peta di atas: peta pertama versi Frank Brennan sedangkan peta kedua versi La'o Hamutuk Timor Leste. Berdasarkan peta yang dikeluarkan oleh para pakar di UNSW, bisa jadi wilayah Indonesia (lihat tanda ? di peta kedua)  ikut tercaplok oleh Timor Leste demi menguasai lebih banyak wilayah Sunrise. Peta resmi pasca renegosiasi belum dikeluarkan oleh kedua pihak.
Motivasi Indonesia dari dulu bukan soal minyak/gas. Dulu Indonesia harus berkorban demi membendung pengaruh Komunis di Timor-Timur pasca keluarnya Postugis dari Timor-Timur karena dorongan Australia dan Amerika Serikat. "Kissenger memberikan green light untuk operasi penerjunan pasukan ke Dili karena ketakutan pada berkembangnya komunis. Itu briefing yang kami terima," ujar Luhut Binsar Pandjaitan. Justru Australia yang berkepentingan dengan kekayaan Laut Timor.  Kim McGrath, mantan penasehat pemerintah Timor Leste, mengatakan "Australia’s decision to negotiate with Indonesia ahead of Portugal, leaving the Timor Gap between Australia and Portuguese Timor, coupled with the expectation Indonesia would close the gap with a straight line (unlike Portugal), gave Australia a multibillion-dollar interest in an Indonesian takeover of Portuguese Timor". Kedua negara (Indonesia & Australia) sepakat membagi dua hasil eksplorasi minyak di JPDA, tetapi nilai minyak di JPDA hanya 20%, lalu sisa 80% di area Sunrise dinikmati sendiri oleh Australia. Tetapi kemudian Indonesia dikritisi karena dianggap menjajah Timor-Timur. Australia ikut mendorong kemerdekaan Timor-Timur tetapi kemudian Australia memperdaya Timor Leste demi dollar di Laut Timor. Terlihat jelas kalau motivasi Australia mendorong kemerdekaan Timor-Timur adalah minyak.Â
Kembali ke renegosiasi, karena kita (Indonesia dan Timor Leste) berbagi pulau yang sama, Pulau Timor, sehingga harusnya hukum laut yang berlaku antara Australia dan Timor Leste, median line principle, juga bisa diberlakukan di sepanjang batas laut Australia dan Indonesia. Jika renegosiasi itu adalah bukti pengakuan pendudukan ilegal Australia, maka apa yang masih sedang terjadi di Laut Timor Indonesia saat ini adalah juga penjajahan. Kemarin Australia secara resmi mengangkat kaki dari Laut Timor di Timor Leste, tetapi hingga kini Australia masih menduduki Laut Timor di Indonesia. Â Bahkan hasil negosiasi bisa menyebabkan wilayah Indonesia ikut tercaplok ke Timor Leste. Ini bukti penjajahan Australia atas Indonesia yang dilakukan lewat hukum kolonial di Laut Timor. Â
Tambahan: Bahan presentasi Kementerian Luar Negeri  Batas Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H