Maka, kita mengenal berbagai program untuk ini sepeti bantuan langsung tunai (BLT), bantuan beras miskin (RASKIN), kartu indonesia sehat (KIS), kartu indonesia pintar (KIP), program keluarga harapan (PKH), bantuan rehabilitasi rumah, pemberian makanan tambahan bagi anak sekolah, dll.
Anggaran semua program ini dari APBN/D dan adalah amanat undang-undang. Program-program ini tidak diberikan sesuai dengan selera pribadi pejabat tertentu. Artinya, dasar pemberian, penerima manfaat dan konsekuensinya itu sangat jelas, bukan asal bagi-bagi di jalanan.
Namun pandangan saya mengenai bagi-bagi ini sedikit gugur manakala bagi-bagi uang itu punya peruntukan yang jelas dan terutama dalam rangka mendidik. Saya pernah membaca kisah seorang hakim yang dengan berat hati menghukum denda seorang nenek yang melakukan kesalahan. Si nenek ini sangat tidak mampu untuk membayar denda.
Namun demi keadilan maka hukum harus ditegakan. Tetapi kisah ini berubah menjadi haru saat si hakim yang mengambilalih beban si nenek. Dengan memakai uang pribadi, si hakim membayar denda yang ia sendiri kenakan pada si nenek. Bagi-bagi uang pribadi disini adalah untuk menegakan hukum. Kembali lagi, bahwa semuanya harus punya dasar legal.
Inilah edukasi dan contoh yang seharusnya diikuti oleh para politisi kita. bahwa kalau tidak kerja, maka tidak makan. bahwa kalau salah, maka hukuman adalah tuaiannya dan kalau benar, maka upah menanti. Bahwa hidup ini punya sisi rewards, juga sisi punishment. Demikian juga kepemimpinan itu punya sisi rewards dan sisi punishment.
Mereka yang salah itu dihukum dan mereka yang benar itu diberi rewards. Seperti hakim di atas, pemimpin bisa saja bagi-bagi, asalkan itu amanat publik dan harus siap kerja keras. Bagi-bagi cukup menjadi perangsang untuk kerja-keras, bukan strategi utama survival. Seorang pemimpim tidak takut dibenci dan tidak taku tidak dipilih saat pilkada karena tidak bagi-bagi. Jika tidak kegagalan itu sdh pasti.
Ada yg mengatakan bahwa pejabat yang gagal adalah yang mencoba menyenangkan semua orang. Pejabat ini tidak punya arah, ia terombang-ambing bagaikan sebongkah kayu kering di tengah lautan. Tidak jelas target/sasaran yang hendak ia capai.Demikian juga dengan kekuasaan, mereka yang sudah gagal adalah yang mencoba meraih kekuasaan dengan membanjiri pemilih dengan bagi-bagi.
Faktanya, saat kampanye, banyak politisi yang suka pura-pura. Pura-pura membenarkan kesalahan masyarakat demi pesta suara saat pilkada namun kemudian dengan tega menistai janji sendiri. Yang lebih jahat lagi adalah pejabat yang memberi janji surga tanpa memahami kemampuan dia (baca: APBN/D dan regulasi) untuk memenuhi janjinya.
Mereka ini bukan pemimpin, entalah apa nama yang tepat untuk mereka. Mungkin bisa disapa pemimpi, kalau sapaan pemimpin penyogok terlalu kasar. Mereka inilah politisi yang bisanya bagi-bagi; bagi-bagi jabatan, bagi-bagi proyek dan bagi-bagi fasilitas publik lainnya. Mereka bukan pemimpin yang percaya bahwa diujung rotan ada emas'.
Pejabat bagi-bagi itu tipe politisi instant yang 'tidak mau sakit terlebihi dulu agar bisa senang kemudian'. Silakan ditelurusi, bisa jadi mereka ini kaya karena mewarisi harta orangtua yang berlimpah tanpa kerja keras atau kaya karena bisnis yang tidak jelas ujung-pangkalnya. Maka wajar kalau kerja keras bukan nilai mereka.
Fokus sekarang adalah menciptakan imgae baik demi jabatan. Sehingga mereka akan fight by hook or crook alias menghalalkan segala cara. Jabatan melahirkan pejabat machiavellians: pejabat yang kelihatan baik tapi sebetulnya tidak. Karena yang mereka bagi-bagi saat berkuasa itu adalah sumber daya publik, bukan milik pribadi. Itu adalah uang (baca pajak) rakyat yang dibagi-bagi seakan-akan itu pemberiannya.