Mohon tunggu...
hakam bali
hakam bali Mohon Tunggu... jurnalis -

kambali zutas lahir di nganjuk, jawa timur kini tinggal di denpasar, bali. kesibukan sehari-hari selain jurnalis, juga menulis cerpen dan puisi. berkecimpung di organisasi profesi sebagai anggota bidang etika dan profesionalisme aji kota denpasar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kabar Sang Anak

3 Desember 2015   23:19 Diperbarui: 3 Desember 2015   23:19 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Ha ha ha.”

Dagelan apalagi yang kau suguhkan kepadaku. Aku sudah hapal betul bagaimana kau bercerita. Apalagi membujukku dengan bahan apapun. Terutama kau dongengkan tentang keberhasilan si Nyo.

“Kau itu tahu apa? Aku itu yang tahu dari dia di perut ibunya. Lalu jabang bayi sampai sekarang ini. Kau kira aku ini mabuk beneran?”

Perbincangan dua teman dan tetangga antara aku dengan Jono di gubuk di pinggir kota. Siang itu. Suasana mendung terus menutup awan-awan putih. Suasana gelap semakin merapat.

“Bener Di, anakmu sekarang sudah jadi orang pengede.  Kemarin saja ia bersama pak menteri.”

Jono mencoba menyakinkanku. Asap rokok mengepul. Kami berhenti sejenak sembari menikmati tuak di botol kemasan minuman air mineral itu.

“Sudahlah. Kau ini jangan membujukku agar aku berhenti minum. Toh kita sama-sama menikmati. Apalagi batang tak bermerek ini.”

“Sudah-sudah. Bicara yang lain saja. Aku sudah bosan. Aku sudah muak mendengar cerita usang itu.”

Ya sudah kalau kamu tetap tidak percaya. Kau ini bapak tapi tak pernah tahu anak. Di mana di sekarang pun kau tak tahu.”

Jono lagi-lagi mulai mengusik pikiranku. Ia kembali mencampuri urusanku. Seperti hari-hari sebelumnya. Kalau sudah begini aku biasanya membanting satu gelas kaca. Atau kalau tidak mengusir Jono.

Tanpa berpikir panjang aku berdiri dan hendak mengambil piring di dapur. Tak begitu jelas arah jalan itu. Aku terhuyung. Kulangkahkan kaki ini melanjutkan perjalanan. Setengah mata terpejam menahan pening kepala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun