Indonesia sebagai negara hukum tentu akan mendahulukan hukum sebagai jalur penyelesaian masalah. Hukum sendiri memiliki sifat memaksa bagi semua rakyat yang ada dibawah naungan negera tersebut. Hal tersebut berlaku untuk semua prodak hukum yang ada di Indonesia.Â
Termasuk ketika pejabat tinggi mengatakan suatu hal kebijakan namun tidak dijadikan sebuah hukum maka hal tersebut tidaklah berarti. Dan bahkan jikalau seorang pejabat tinggi melanggar hukum dapat juga diproses hukum.
"Demokrasi harus berdasarkan kedaulatan hukum dan persamaan setiap warga negara tanpa membeda bedakan"
KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) mantan presiden ke-4 RI
Migrasi aktifitas masyarakat kedunia digital merupakan fenomena yang terjadi akibat dari Revolusi Industri 4.0 (RI 4.0) sejak awal kemunculan nya. Meskipun lonjakan migrasi tersebut baru terlihat sejak wabah covid 19.
Equality before the law (EBL) berarti kedudukan setiap orang adalah sama di hadapan hukum. EBL ini merupakan salah satu asas dasar hukum sebagaimana yang tercantum di pasal 27 ayat 1 Undang undang dasar (UUD) 1945. Oleh karena itu yurisprudensi yang dikeluarkan oleh pengadilan dibuat harus dengan seadil adilnya.Â
Jikalau tidak puas dari hasil pengadilan negeri masih dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi dari pengadilan negeri awal. Dan dapat diteruskan lagi untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung melalui pengadilan tinggi sebelumnya jika masih kurang puas akan yurisprudensi yang diterima.
Beberapa waktu terakhir masyarakat dituntut untuk belajar lebih dalam terkait penggunaan teknologi yang semakin canggih. RI 4.0 yang berlangsung sejak tahun 2000-2005 memberikan akses kemudahan informasi dan transaksi Elektronik di seluruh dunia.Â
Dan pada 2008 Indonesia meresponnya dengan kebijakan UU no 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Atau yang biasa dikenal dengan UU ITE, menurut Hikam Halwanullah SH UU ITE ini pada awalnya difokuskan untuk mengatur masalah transaksi bisnis Elektronik.Â
Namun dalam perkembangannya pada tahun 2014 mulai banyak permasalahan muncul karena UU ITE tersebut banyak yang menjerat masalah diluar persoalan bisnis.
Seiring berjalannya waktu penetrasi interenet di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut survei yang dilakukan oleh assosiasi penyelenggara jasa internet Indonesia (APJII) pada tahun 2014 penetrasi pengguna internet sebesar 88 juta jiwa dari 252 juta jiwa penduduk.Â
Hingga hari ini tercatat 196 juta jiwa dari 266 juta jiwa penduduk Indonesia atau sekitar 73% masyarakat Indonesia telah menggunakan internet.Â
Dan Microsoft mengumumkan tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020, termasuk negara Indonesia. Dalam laporan terbaru Digital Civility Index (DCI) itu, mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya. Netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara, alias paling tidak sopan di wilayah tersebut.
Beberapa kasus yang cukup viral karena UU ITE di antaranya ialah, kasus Prita Mulyasari, Pasien Rumah Sakit di Tangerang, dari tahun 2008 hingga 2012. Lalu ada juga kasus Ariel, Artis pada 2010, Muhammad Arsyad, Aktivis dari  Makassar pada 2013-2014,  kasus Anindya Joediono, Mahasiswa di Surabaya pada 2018, lalu kasus yang dialami Baiq Nuril Makmun, Guru, Mataram, 2018.Â
Dari kasus yang ada beberapa aktifis juga menyuarakan akan sifat pasal tersebut yang terlalu multitafsir dan dapat menimbulkan amiguitas dalam penegakan hukum. Pasal tersebut juga akhirnya juga dapat istilah pasal karet terutama di pasal 27 ayat 3.Â
Yang berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".
Menurut pemaparan dari menko polhukam Prof. Mahfud MD yang akan terjerat karena pasal tersebut ada 3 unsur, pertama pembicara, kedua perekam dan ketiga ialah penyebar.Â
Ketiganya dapat terkena sanksi yang tercantum pada Pasal 36 UU ITE "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain".Â
Dan dipertegas hukumannya pada Pasal 51 ayat (2) UU ITE "Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)".
Dalam pandangan Hikam Halwanullah SH permasalahan UU ITE yang mengerikan ini ada pada permasalahan susahnya mengindikasikan antara kritik dan perusakan nama baik.Â
Karena kita tidak bisa menilai unsur actus reus (esensi kejahatan dalam perbuatan) apalagi mans res (sikap batin pelaku). Oleh karena itu ada sisi dimana UU ini cenderung digunakan sebagai alat politik. Dimana semua hanya bergantung pada alat bukti, saksi dan argumentasi yang berperkara untuk memberatkan yurisprudensi dari pengadilan.
Baik pidana maupun perdata setiap orang dapat dipermasalahkan menggunakan UU ITE ketika apa yang kita sampaikan menyinggung seseorang baik secara pribadi maupun jabatan tertentu.Â
Dalam sebuah kisah ada cerita seorang sahabat yang diminta untuk menyembelih domba dan mengambil 2 bagian yang paling baik. Dan diminta lagi dengan menyembelih domba lagi namun kali ini untuk bagian yang paling buruk.Â
Di kedua kesempatan tersebut dia mengeluarkan 2 bagian yang sama yaitu hati dan lidah. Ustad Zamzam Mahdani menyampaikan bahwa apa yang keluar dari lisan kita, kita perbuat, bahkan kita pikirkan itu adalah buah dari input kita.
Orang yang berkelas tidak soal jabatan dia saja namun juga baik tindakan, perkataan dan perbuatannya baik. Sebuah pesan dari UU ITE adalah bijak dan santun lah dalam bermedia untuk meningkatkan kelas masyarakat.Â
Silahkan berpendapat seluas luasnya asalkan santun dalam menyampaikan, bukan semaunya sendiri seperti dunia ada ditelpak kaki hanya 1 orang pribadi.
Analogi snap "bodoh" Misalnya yang kita buat sepulang diskusi panjang atau setelah bersinggungan dengan orang. Namun ada peserta majelis yang tau dan tersinggung, lantas siapa yang salah?. Silahkan direnungoan guna menuju masyarakat yang lebih berkelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H