Di Indonesia tangggal 1 mei yang diperingati sebagai hari buruh internasional ditetapkan sebagai hari libur nasional. Hari buruh di tahun-tahun sebelumnya selalu ramai diperingati oleh berbagai elemen masyarakat. Kaum buruh, pemuda, mahasiswa, bertumpah ruah di jalanan. Menyuarakan hak-hak buruh yang masih perlu untuk diperjuangkan.Â
Namun kali ini perayaan hari buruh sama sekali berbeda. Tidak ada aksi. Tidak ada reaksi. hanya sekedar ucapan seremonial dari lini masa yang bertebaran. Kondisi ini disebabkan wabah Covid-19 masih membumi di bumi manusia.Â
Menjadi hal yang menarik ketika menelisik hak-hak dan peran buruh sebagai salah satu faktor produksi yang tentunya memberi pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional di masa pandemi. Secara teoritik, sektor tenaga kerja memiliki hubungan timbal balik (simbiosis mutualisme) dengan pertumbuhan ekonomi. Hubungan yang saling mempengaruhi.Â
Pertumbuhan ekonomi akan mengakibatkan berkembangnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (baca: pekerja) dan begitupun sebaliknya, Sumber daya manusia yang produktif akan memberikan dampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi.
Pada kondisi pandemi pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kemerosotan. Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2020 turun menembus angka 2,1%. Setali tiga uang ekonom Indef Faisal Basri dalam katadata.co.id merilis data yang menunjukkan ekonomi Indonesia tahun ini diperkirakan hanya mampu tumbuh 0,5% bahkan berpotensi mengalami skenario terburuk yaitu negatif 2,5%. Situasi ini dapat diartikan akan memberi dampak yang paralel terhadap sektor tenaga kerja. Â Â
Dengan merujuk pada data Kementerian tenaga kerja per april 2020, selama masa pandemi pada sektor formal sudah 84.926 perusahaan yang tercatat telah mem-PHK pekerjanya. Dengan jumlah pekerja yang di PHK sebanyak 1.546.208 orang. Kemudian pada sektor informal tercatat 31.444 perusahaan yang sudah memberhentikan pekerjanya dengan jumlah pekerja yang di-PHK sebanyak 538.385 orang. Maka total keseluruhan disemua sektor terdapat 116.370 ribu perusahaan yang melakukan PHK dan 2.084.593 pekerja yang telah di PHK. Angka yang fantastis.
Dalam kondisi yang demikian pemerintah mesti memberi perhatian khusus terhadap sektor tenaga kerja dan kepada  pekerja yang terdampak pandemi. Pengawasan ketat menjadi prioritas utama dilakukan dalam melindungi dan menjaga hak buruh agar tidak terabaikan oleh perusahaan. Hal tersebut sejalan dengan amanah undang-undang ketenagakerjaan.
Secara yuridis sudah jelas aturan yang mengatur terkait pemenuhan hak bagi pekerja. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 156 ayat (1) mengatur tentang apa saja hak yang diperoleh pekerja ketika di PHK. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 secara eksplisit memuat aturan pengupahan pekerja yang di PHK.
Yang menjadi persoalan ketika banyak perusahaan yang mem-PHK karyawan dikarenakan kerugian akibat wabah Covid-19. Sehingga perusaahaan tidak mampu memenuhi hak pekerja secara keseluruhan. Dibenarkankah tindakan tersebut?
Menurut penulis tindakan pemotongan upah tidak sesuai dengan kaidah hukum dan berpotensi menimbulkan perselisihan hak. Namun disisi lain ketidak sanggupan perusahaan dikarenakan defisit keuangan dimasa pandemi patut dipertimbangkan. Dibutuhkan keterlibatan pemerintah untuk dialog bersama pekerja dan pengusaha untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Selain gelombang PHK, perlindungan pekerja dimasa pandemi ini juga memerlukan perhatian yang serius. Maka dibutuhkan komitmen semua pihak untuk menaati Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang perlindungan pekerja/buruh dan kelangsungan usaha dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid-19. ini penting di karenakan buruh masih menjalani rutinitas bekerja meski pandemi.