Satu hal yang selalu mengemuka dalam setiap hajatan Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah) adalah isu kampanye terselubung. Pihak yang paling rentan tergoda melakukan kampanye terselubung adalah pasangan calon petahana (incumbent), baik untuk calon kepala daerah, wakil kepala daerah, ataupun keduanya.
Begitu pula dalam Pemilukada Jawa Barat. Isu kampanye terselubung telah menarik perhatian publik dan para pemerhati Pemilukada.
Dalam satu tahun terakhir menjelang Pemilukada, banyak kegiatan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, disinyalir sebagai kampanye terselubung. Beberapa contoh dapat dikemukakan. Pertama, iklan layanan masyarakat Dinas Pariwisata Jabar yang menampilkan Ahmad Heryawan dengan Sule. Kedua, Ahmad Heryawan tampil dalam acara Talk Show di salah satu TV swasta tentang potensi pariwisata Jawa Barat yang dipandu oleh Arzeti Bilbina.
Ketiga, pada 28 November 2012, Ahmad Heryawan membagi-bagikan uang kadeudeuh dan bonus rumah kepada para atlet berprestasi Jawa Barat pada PON XVIII Riau 2012, Perpanas XIV Riau 2012 dan ASEAN Para Games VI Solo 2011, di Aula Pudai Jabar, Jalan Diponegoro Bandung. Keempat, pada tanggal 26 Desember 2012, dalam acara Silaturrahmi Kuwu (Kepala Desa) se-Kabupaten Cirebon yang dihadiri 320 Kuwu, Ahmad Heryawan minta dukungan agar target 70 persen suara untk kemenangan dirinya dalam Pemilukada Jabar di kabupaten Cirebon tercapai.
Selain itu, dalam acara tersebut Ahmad Heryawan juga memaparkan akan memberikan bantuan gubernur untuk pembangunan infrastruktur sebesar Rp 100 juta tiap desa. Ahmad Heryawan menjanjikan akan merealisasikannya sebelum Pilgub di 5304 desa. Kelima, pada tanggal 29 Desember 2012, pada saat meresmikan Program Desa mandiri (PDM) di Lapangan Sepakbola SAS, Desa Tugu Utara, Cisarua, Bogor, Ahmad Heryawan membagi-bagikan kadeudeuh berupa uang Rp 100.000 untuk masing-masing penjaga stand. Itulah sejumlah kecil contoh kegiatan Ahmad Heryawan yang disinyalir bermuatan kampanye.
Contoh lainnya masih banyak lagi. Contoh yang dikemukakan sekedar menunjukkan bahwa calon petahana (incumbent), Ahmad Heryawan, itu diuntungkan karena posisi jabatannya. Sang calon petahana bisa banyak melakukan kegiatan bermuatan kampanye atas nama program pemerintah daerah. Panwas Pemilukada Jabar mengalami kesulitan untuk mendakwa sang calon Petahana melakukan kampanye terselubung atau kampanye di luar jadwal yang sudah ditentukan yaitu 7-20 Februari 2013.
Sementara untuk calon non petahana, Panwas dapat dengan mudah menuduhnya melakukan kampanye di luar jadwal, meski yang ditemukan hanya berupa media sosialisasi. Contoh kasus seperti yang dialami oleh Cagub Irianto MS. Syafiuddin alias Yance di Kota Cirebon. Hanya dengan temuan 1 keping VCD berisi lagu “Akang Yance” yang dinyanyikan oleh Agung Hercules dan Lagu “Kang Yance Bisa” yang didendangkan Hello Band, yang diperoleh dari tukang beca di kelurahan Pulosaren, Pekalipan, Kota Cirebon, Panwas Kota Cirebon langsung menuduhnya melakukan pelanggaran kampanye dan melaporkannya ke Panwas Jawa Barat.
Contoh kasus yang dialami Yance, mewakili Cagub non petahana lainnya, yang juga kerap dituduh melakukan pelanggaran kampanye. Padahal—misalnya—kegiatan yang dilakukan hanya sosialisasi figur dan program di kalangan terbatas. Berbeda dengan calon petahana (incumbent), seperti Ahmad Heryawan, yang kerap menggunakan media massa sebagai ruang publik untuk sosialisasi diri dan programnya.
Ironi Kampanye
Contoh kasus Cagub petahana, Ahmad Heryawan, dan Cagub Yance merupakan Ironi dari sebuah kampanye. Kampanye, pada hakekatnya, adalah sebuah cara untuk memenuhi dua kepentingan sekaligus. Pertama, kampanye memenuhi kepentingan dari pihak yang melakukannya agar dikenal figur dan rekam jejak (track record) nya, serta apa yang ingin diperbuatnya dalam kepemimpinannya kelak. Dengan demikian, pihak yang berkampanye berharap dipilih oleh pemilih sebagai dampak dari kampanyenya.
Kedua, kampanye memenuhi kepentingan pemilih agar mereka mendapatkan informasi, tawaran visi, misi, dan program dari para pihak yang berkampanye serta janji-janjinya, sehingga pemilih mendapatkan input (masukan) yang memadai untuk menjatuhkan pilihannya pada kontestan yang dianggap paling baik. Ibaratnya, pemilih tidak membeli kucing dalam karung. Namun, dengan alokasi waktu kampanye hanya dua minggu, maka pemenuhan dua kepentingan tersebut di atas tidak efektif.