Aku diangkat menjadi PNS di sebuah SMP di luar kota yng mengharuskan aku harus pulang sepekan sekali, dan selama di tempat tugasku aku bertempat tinggal di lingkungan SMP, bersama dua teman lain dari dua kota yang berbeda dengan aku.
Di tempat tugas yang baru, aku kenal dengan Ade, seorang guru yang telah menjadi guru di SMP tersebut lima tahun sebelum kedatanganku. Kamipun akrab karena ternyata Ade berasal dari kota yang sama denganku meski hanya beda kecamatan, sehingga akupun akrab dengan Ade bahkan saking akrabnya aku diam-diam menyukai bu guru yang statusnya sudah janda tanpa anak tersebut.
Suatu ketika Ade memintaku untuk mencarikan jodoh dan Alhamdulillah akupun telah menjodohkan Ade dengan Yasin temanku guru saat mengajar di SMP Swasta di kotaku dulu.
Aku memasuki ruang tengah rumah Ade yang siang itu akan melangsungkan ijab Kabul untuk menandai kesenderiannya setelah delapan tahun menjanda sejak suaminya tergoda oleh muridnya dan khirnya menikahinya setelah bercerai dengan Ade.
Aku datang ke rumah Ade yang siang itu sudah siap untuk menjadi istri sahabatku sesama guru, yang statusnya duda karena ditinggal istrinya yang juga seorang guru PNS di salah satu SD Negeri di kota Gresik.
Perkenalan Ade dan Yasin juga karena aku pertemukan karena aku merasa bahwa keduanya cocok, sama-sama berstatus janda dan duda, dan sama-sama menjadi tenaga pendidik meskipun berbeda kota dalam mengajar.
“Ade apa pantas dengan Yasin, Mas?”, Tanya Ade pada suatu kesempatan. Kebetulan karena aku dan Ade sudah akrab, dan usiaku lebih tua tiga tahun, Ade memanggilkan Mas dalam keseharian, meskipun kalau di hadapan rekan guru dan siswa kami memanggil Bapak dan Ibu. Nama Ade sendiri juga panggilanku untuk Anggraini, teman guru di SMP yang sama denganku.
“Pasti pantas dan cocok, Yasin itu teman Mas, saat masih sama-sama sebagai guru honorer di sekolah swasta beberapa tahun lalu, sebelum Mas diangkat menjadi guru PNS di tempat ini”, jawabku meyakinkan Ade.
“Yasin itu pribadi yang religius, suami yang bertanggung jawab dan humoris”, tambahku untuk meyakinkan Ade yang gelisah dan takut akan kegagalan membina rumah tangga seperti dengan suami pertamanya.
Suasana di rumah Ade sudah meriah, tamu dari kedua keluarga sudah berdatangan, Pak Pengulu dari KUA Kecamatan juga sudah datang disertai Modin Kampung yang bertindak selaku pengantar, aku sendiri diminta Ade sebagai saksi pernikahan keduanya siang itu.
Pak Pengulu sudah menyiapkan segala prosesi akad nikah dan kedua mempelai sudah dihadirkan di depan Pak Pengulu untuk mengucapkan Ijab Kabul di hari yang sakral itu, aku dengan seksama mengikuti setiap tahapan akad nikah, sampai pada giliranku membubuhkan tanda tangan sebagai saksi pernikahan Ade dengan Yasin siang itu, saya lihat air mata Ade meleleh tanda bahagia seusai Pak Pengulu membacakan doa pernikahan sebagai akhir rangkaian acara ijab qobul siang itu.
Hatiku merasa senang dan bahagia siang itu karena telah mennjadi saksi pernikahan sahabat terbaiku Yasin dengan Ade, yang diam-diam aku anggap sebagai kekasihku meski belum pernah aku utarakan.
Saat pamit pulang akupun bepesan pada Ade, supaya menjadi istri yang solihah dan bahagia dengan suami barunya, meskipun hatiku hencur berkeping-keping menyaksikan peristiwa siang itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H