Saat pertama kali aku bertemu dengan Haryono, sudah lebih dari 15 tahun yang lalu. Tahun 2000. Waktu itu aku baru masuk kuliah, di kota Semarang. Perawakannya kurus, rambut gondrong memerah karena keseringan terpapar matahari, berkulit legam dengan wajah tirus seperti mumi. Aku berandai-andai, jika saja ada anak kecil melihatnya, anak itu mungkin akan menangis ketakutan mencari ibunya.
Saat itu di pelataran kampus, di bawah pohon besar yang rindang aku duduk ngobrol dengannya. Aku tersenyum, malu-malu khas anak dari desa yang mencari teman. Aku tanya satu dua pertanyaan basa basi. Dulu sekolah dimana? Asal dari kota mana? Aku deg-degan. Aku membayangkan dia tidak akan suka dengan pertanyaanku, lalu menghajarku membabi-buta. Aku pernah baca berita di koran, salah satu cara agar mahasiswa baru tidak di bully oleh senior, adalah dengan menunjukkan bahwa dia memiliki kekuatan. Nah, kekuatan itu diumbar dengan cara mengkasari mahasiswa baru lainnya yang lebih lemah. Mahasiswa baru lemah itu cocok sekali dengan kualifikasiku. Aku tak berdaya. Aku membayangkan kepalan tangannya yang legam akan mendarat telak di wajah tak berdayaku. Membuat wajahku yang sudah tak karuan ini, menjadi lebih tak karuan seperti dadar kerak telor.
Tapi Aku keliru. Dari kalimat pembukanya, Aku tahu bahwa dia tidak semenyeramkan penampilannya.
“Namaku Haryono”ia tersenyum. Manis seperti kacang ijo campur syrop. Lalu kami ngobrol. Mulanya biasanya, lalu akrab seolah-olah sudah lama saling mengenal.
Dia rupanya orangnya asyik. Suka bercanda. Suka tertawa. Meskipun dengan orang yang baru pertama kali ia kenal. Malahan, saking suka tertawanya, dia bisa tertawa , bahkan dari hal yang sepele. Bahkan dari hal garing sekalipun.
“kamu dari jepara ya?”tanyanya.
“iya”
“katanya, di jepara itu semua orangnya nyari duit dengan cara jadi tukang ukir ya?”
“iya, usaha mebel."
“jangan-jangan semua orang disana pada punya ukiran semua di badannya?”
“maksudnya?”
“panu”dia lalu tertawa.“kan bentuknya kayak ukir-ukiran tuh, hhahahaha”ia tertawa semakin keras. Tubuh kerempengnya bergetar seperti HP Nokia 3310 dapat sms.
“Nggk kok”tapi aku tidak tersinggung.
“jangan-jangan”tawanya hilang berganti mata sipit penuh selidik.
“kenapa?”aku penasaran
“kamu juga punya ukir panu ya ditubuhmu?”dia tertawa lagi. Makin keras. Pecah. Badannya sampai terkekeh dan makin bergetar, kali ini seperti Nokia 3310 jatuh dari rak buku perpus. Aku hanya bisa ikut tertawa. Perawakannya menyeramkan, tapi dari perkenalan itu, aku tahu, kami akan menjadi sahabat yang baik di tahun-tahun mendatang.
**
Kemarin pagi, Minggu 1 maret 2015, aku mendapat telpon dari temanku Edy. Katanya Haryono meninggal.
Deg. Jantungku serasa mau copot. Haryono yang anaknya masih kecil? Haryono yang baru 2 tahun yang lalu menikah? Haryono yang sahabat kita waktu kuliah itu? Tanyaku nerocos, memastikan apakah benar Haryono sahabat kami itu yang tiada.
“Iya, Haryono kawan kita”kata Edy lirih di ujung telpon. Dia sering bercanda. Tapi aku tahu, kali itu dia tidak sedang melakukannya.
Aku tutup telpon tapi seakan tak percaya. Aku menolak fakta. Tapi setelah membuka facebook, melihat semua notifikasi di wall Haryono, dan melihat semua temannya mengucap belasungkawa, aku tak bisa lagi berandai-andai. Haryono sudah meninggal.
Aku bangun, tapi hanya duduk di tepi ranjang. Bibir bawahku bergetar, tanganku menggaruk rambut yang tidak gatal. Aku bertanya kepada Tuhan kenapa hal ini bisa terjadi? Dia orang baik. Kenapa tidak mengambil orang lain saja yang lebih jahat. Koruptor masih banyak. Begal ada dimana-mana.
Mataku liar bergerak tak tentu arah. Ke arah lantai, ke arah langit-langit, ke arah jendela. Tapi pikiranku, mengingat wajah sahabat di masa kuliahku. Lama-lama, pipiku basah. Biasanya, habis bangun tidur, badanku segar dan bersemangat. Hari itu, aku lesu.
Biasanya, tak lebih dari 5 menit setelah bangun tidur, aku beranjak keluar kamar. Mandi atau melakukan hal lain. Hari itu, sudah lebih dari 30 menit, aku duduk di tepi ranjang. 30 menit sudah berdiam diri. 30 menit sudah bertanya-tanya, lalu bagaimana dengan istrinya, bagaimana dengan anak kecilnya.
**
Haryono kecelakaan. Pas pulang kerja, berhenti di lampu merah, jam setengah 8 malam, truk dengan rem blong menyeruduk kendaraanya. Di depannya ada truk yang berhenti. Dia tergencet diantara dua truk itu. Tak ada jawaban selain bahwa sahabat baikku itu sedang apes. Aku tak tahu detail kejadiannya, hanya membacanya di harian solo pos edisi Jumat, 27 februari lalu dari search di Google.
**
Lama aku tak menelpon Budi. Dia adik Haryono. Dia dulu juga kuliah di Semarang. Keadaan mengharuskan aku menelpon dia. Aku sampaikan belasungkawa. Aku memperhatikan, ada dua keadaan ketika kawan lama bertemu atau bertukar kabar. Kalau tidak pas momen bahagia, yaitu pas nikahan, pas lebaran, pas kelahiran atau juga pas saat sedih. Nah, kali itu, aku menelpon adik sahabatku itu jelas tidak dalam keadaan bahagia.
**
Hari semakin siang, semakin cerah tapi tidak di dalam hatiku. Aku masih saja memikirkan kejadian di malam naas itu. Maut tidak ada yang tahu kapan datangnya. Ia hinggap, dan terbang lagi dengan nyawa orang yang diincarnya. Andaikan saja waktu itu rem truk tidak blong, andai saja waktu itu Haryono tidak berhenti di belakang truk, andaikan saja waktu itu lampu menyala hijau dan bukannya merah sehingga Haryono tidak berhenti, andaikan saja dan andaikan saja yang lain hilir mudik seperti keramaian orang di terminal dalam kepalaku.
**
Ini hari senin. Awal muawal Aku beraktivitas. Balik ke jaman kuliah dulu, ini hari dimana semua kebosanan mengjangkiti. Tugas yang harus dilaporkan, kuliah yang seringnya membosankan, sampai ketemu gebetan yang setiap kali berpapasan selalu mencuekin. Tak ada yang membuat semangat. Hanya ada beberapa hal saja dalam pikiranku yang membuat aku gembira. Salah satunya bertemu kawan-kawan. Mengetahui akan bertemu sahabat seperti Haryono, hatiku jadi terhibur. Hari tidak akan membosankan sepertinya. Aku akan tertawa, mungkin hanya tersenyum saja bahkan saat dimarahi dosen, atau hatiku tidak akan luka-luka banget meski melihat gebetan jalan dengan orang lain. Aku tahu ada kawan yang akan selalu datang menghibur. Mengingat waktu di jaman dulu selalu membahagiakan. Tapi menyadari bahwa keadaan sudah tidak seperti dulu lagi. Di saat lebaran nanti aku tidak akan bertemu dengan seorang kawan baik, Disitu kadang saya merasa sedih.
“jangan-jangan”tawanya hilang berganti mata sipit penuh selidik.
“kenapa?”aku penasaran
“kamu juga punya ukir panu ya ditubuhmu?”dia tertawa lagi. Keras. Pecah. Badannya sampai terkekeh dan makin bergetar, kali ini seperti nokia jatuh dari rak buku perpus. Aku hanya bisa ikut tertawa. Perawakannya menyeramkan, tapi dari perkenalan itu, aku tahu, kami akan menjadi sahabat yang baik di tahun-tahun mendatang.
Dari dunia, untuk kawanku yang berbahagia di akhirat.
Haryono Budiwan
18 Desember 1980 – 27 Februari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H