Mohon tunggu...
Hajar Saja
Hajar Saja Mohon Tunggu... -

hidup itu sederhana; ambil keputusan, lakukan dan jangan menyesalinya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ranjau itu Bernama Televisi

26 Mei 2011   15:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:10 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_112320" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber gambar: politikana.com"][/caption] Anakku yang SD jingkrak-jingkrak ketika aku pulang membawa kardus TV. Ketika kardus dibuka dan ia melihat isinya, bukan main girangnya. Sampai melompat-lompat ia. Aku teringat pada masa kecil, ketika bapak membawakanku buku cerita Nabi-nabi. Tapi anakku tak senang oleh buku, melainkan oleh TV. Yang SMP langsung meraih remot dan buku petunjuknya yang berbahasa Inggris. Dibaca bolak-balik, sepertinya tak sabar untuk segera menyalakan benda kotak yang telah lama ia idamkan itu. Ibunya, senyum- senyum penuh kemenangan. Mungkin ia sudah berhayal untuk bisa menonton sinetron hingga tandas. Mengikuti setiap episodenya yang hingga ribuan. Ikut berderai-derai air mata menangisi tokoh pujaannya atau mengumpat-ngumpat tokoh licik yang kekejiannya tak masuk akal. Rasa penatku jadi hilang melihat kegembiraan mereka. Sebenarnya aku ingin beristirahat sebentar. Minum kopi dan beberapa hisapan rokok. Tapi aku jadi terbawa  dengan kegembiraan mereka. Segera kuambil gergaji dan parang. Dengan peluh yang masih membasuh di sekujur tubuh, aku segera beranjak menuju kebon. Aku harus memotong bambu untuk tiang antena. Orang miskin seperti kami memang bisa sebegitu gembira karena hal kecil. ****** Malam, sehabis sholat maghrib, mereka sudah berkumpul di ruang tengah untuk menonton TV. Istriku buru-buru melepas mukenanya begitu selesai sholat. Rupanya ia tidak membaca wirid atau membaca Waqi’ah seperti biasanya. Mungkin karena keinginannya untuk bisa membeli TV sudah tercapai, ia berhenti berdo’a. Seperti kebiasaannya, ia akan rajin berdo’a jika menginginkan sesuatu, dan segera berhenti berdo’a ketika keinginan itu tercapai. Kurang ajar sekali, Tuhan dianggapnya sebagai tambal butuh saja. Anakku yang SD malah sejak sore merengek-rengek untuk diizinkan tidak pergi mengaji. Entahlah, beberapa stasiun televisi memang suka menayangkan film kartun sejak sore hingga usai sholat maghrib. Apa mereka sengaja, agar anak-anak di kampung tidak pergi mengaji?. Untuk sementara kubiarkan anakku menikmati kegembiraanya. Selama ini ia tak pernah bisa bebas menikmati film kesukaannya, karena selalu berebut remot dengan Andi, sepupunya. Apalagi, zaman sekarang sudah tidak musim orang tua mengekang anak.Tidak seperti zaman ketika aku masih kecil, dimana orang tua boleh menghajar anaknya karena tak mau ke sekolah atau mengaji. Sekarang pemerintah bahkan menjamin perlindungan hak mereka. Jadi meski bagaimana pun nakalnya seorang anak, orang tua tak boleh menghukumnya. Kata Pak Firman, guru SD tetangga kami, tidak baik mendidik anak dengan menggunakan kekerasan. Sebab kenakalan anak-anak adalah juga kecerdasan dalam bentuk lain. Katanya juga, sebaiknya orang tua tidak terlalu mengekang anak. Sebab anak yang tumbuh dengan serba diawasi bisa mengalami gangguan mental. Kepribadiannya akan lambat berkembang karena mereka selalu berpikir sesuai arahan orang tuanya.   Tapi apa benar?. Toh, orang zaman dulu yang biasa dididik dengan menggunakan sedikit kekerasan, ternyata tidak terjadi apa –apa dengan mereka. Malah moral mereka lebih baik ketimbang anak zaman sekarang yang dididik dengan gaya baru itu. Yang aku tahu, anak zaman sekarang malah lebih berani kepada orang tuanya karena terlalu diberi kebebasan. Sebenarnya aku kurang setuju dengan pendapat Pak Firman itu. Ketika pengeras suara di musholla mengalunkan adzan Isya’, mereka, istri dan kedua anakku tidak beranjak dari depan TV. Aku terpaksa sholat Isya’ sendirian. Ini terjadi untuk yang pertama kalinya. Sebelumnya, sebelum membeli televisi, kami biasa sholat berjamaah di rumah. Dan sehabis sholat, rumah akan ramai oleh bacaan Al Qur’an atau gaduh kedua anakku yang membaca buku pelajarannya dengan suara agak lantang. Ketika aku turun dari tempat sholat, mereka belum juga beranjak dari depan TV. Bahkan semakin khusyu’ memelototi layar kaca. Sinetron memang sudah mulai ditayangkan di beberapa stasiun televisi. Aku jadi risau karena istriku masih melongo di sana, lupa membikinkanku kopi. Aku tak habis pikir, kenapa ia bisa begitu suka dengan lakon-lakon tersebut. Bahkan sampai terbawa perasaanya. Berkali-kali ia mengumpat , mencaci tokoh jahat dengan umpatan yang tak pernah kudengar dari mulutnya, di depan kedua anaknya. Ketika ada adegan mengharukan, istriku tak segan berkaca-kaca. Ia akan terdiam, duduk di pojok sambil menghayati kesedihan tokoh dalam sinetron tersebut. Ah, apa pula ini?. Jangan-jangan anaknya yang SD jadi heran dengan kekonyolan itu. Kalau anakku yang SMP lain lagi. Sambil menonton sinetron, kulihat jakunnya naik-turun ketika di layar kaca ditayangkan adegan muda-mudi bermesraan. Kau kan tahu, para pembuat sinetron itu juga menampilkan seluruh pengalaman tokohnya dengan lengkap?.Termasuk perselingkuhan, skandal seks serta segenap kekurangajaran lainnya. Lakon-lakon tersebut memang mereka angkat dari cerita nyata masayarakat kota besar. Sudah bisa kau duga bukan , bagaimana perilaku mereka?. Dan, ah, aku tak habis pikir, kenapa semua tukang sinetron selalu membuat lakon yang sama sekali tak mendidik?. Tidak seperti film-film luar negeri yang pasti disertai dengan nasehat untuk para penontonnya. Meski itu hanya film kartun. Apa tidak bisa mereka membuat sinetron bagus?. Ruang tengah masih ramai oleh suara orang bertengkar ketika aku pergi ke dapur.Aku ingin minum kopi. Kunyalakan kompor sambil menyimak pertengkaran tak ada habis-habisnya dalam lakon sinetron tersebut. Aku  heran, kenapa sinetron, film serta sebagian besar acara di televisi tak pernah menyajikan hal yang mendidik. Kalau bukan lakon tentang kebejatan moral ya acara hura-hura. Kalau bukan hura-hura ya tebar fitnah, acara-acara konyol dan tidak lucu, tidak ketemu manfaat atau bahkan tidak ketemu ujung-pangkalnya. Ada banyak acara pemilihan tokoh idola yang cara menentukan pemenangnya bukan berdasarkan kepintaran, jasa, atau keluhuran budinya. Ada acara amat tak manusiawi karena menampilkan orang-orang yang rela membuka aibnya kepada semua orang. Ada acara wawancara dengan tokoh-tokoh tak terpuji dan sama sekali tidak bisa ditiru atau diambil hikmah dari kisah hidupnya. Ada acara yang seakan-akan begitu agamis, namun isinya sangat melecehkan agama. Ada acara berisi penggiringan para penonton pada kemusyrikan, klenik dan acara tak masuk akal lain. Memang ada beberapa stasiun televisi bagus, tapi sayangnya mereka juga masih mau mengadu domba orang. Masih berpihak kepada orang-orang tak layak dibela. Dan lagi, stasiun-stasiun seperti itu selain jumlahnya sangat sedikit, juga tidak disukai oleh banyak orang. Air yang kujerang sudah mendidih. Kucari toples tempat gula, tidak ada. Kucari toples tempat kopi, kosong. Aku memang tak biasa membikin kopi sendiri, tapi istriku tak bisa diganggu. Ia sedang asyik menonton sinetron reliji. Sinetron paling kubenci. Aku geram dengan sinetron yang sebenarnya bertujuan untuk menghancurkan agama tersebut. Mereka memang pandai menipu penonton dengan cara sangat tak mencurigakan. Mereka membuat sinetron agamis dengan memplesetkan isinya dari ajaran sebenarnya. Misalnya, mereka membikin lakon tentang keajaiban do’a, tentang siksa, tentang karma. Ah, aku yakin akan banyak orang salah tafsir. Jika mereka membuat lakon tentang keajaiban do’a, aku khawatir orang akan menganggap bahwa kita bisa merubah keadaan hanya dengan berdo’a. Mereka juga membuat lakon tentang karma, adzab dan siksa. Kau tahu, apa yang akan terjadi jika orang meyakini bahwa Tuhan begitu keji?. Dan kata temanku, sebenarnya yang membuat lakon-lakon seperti itu bukanlah orang dari golongan kita. Melainkan mereka yang ingin menghancurkan keyakinan kita. Dan itu merupakan program besar mereka. Terencana, tertata rapi serta ada yang membiayai. ***** Aku kaget ketika tahu anakku yang SMP menyemir rambutnya. Tapi aku tak bisa berbuat apa –apa karena teringat pesan Pak Firman kala itu. Aku tak boleh memarahinya, karena ia bisa tertekan. Aku dan istriku hanya diam meski dada kami sangat ngilu. “ Sekarang bagaimana, Pak?” kata istriku, sambil memperhatikan anaknya itu. “ Ya bagaimana lagi, sudah terlanjur” “Tidak bisa begitu, Pak. Sampeyan harus menasehatinya” “Percuma aku menasehatinya kalau otaknya sudah tercuci” “Apa maksud sampeyan, otaknya tercuci, apa itu?” “ Sebelum kita membeli televisi, semuanya baik-baik saja, bukan?. Dan sekarang kau lihat ulah kedua anak kita, juga ulahmu”. Istriku terdiam, kuharap ia sadar dengan apa yang telah terjadi. “Jadi…?” “Ya. Dan sekarang kita takkan bisa berbuat apa-apa”. “Tapi, Pak?” “Mana mungkin nasehat kita akan ia dengar, sementara TV selalu mencuci otaknya” “Lantas bagaimana” “Aku juga tidak tahu”. Istriku mengelus dadanya. Mungkin karena kami hanya diam dengan ulahnya tersebut, beberapa minggu kemudian Susi, anakku yang SMP, merengek untuk diizinkan memakai kaos ketat. Kaos yang membuat segenap lekuk tubuhnya terlihat jelas. Seperti yang sering kulihat di televisi, sungguh aku benci melihat dadanya yang mulai membusung ia pamerkan kepada siapa saja. Dan sekali lagi, aku hanya bisa uringan-uringan sendiri. Semoga saja kelak ia tidak hamil di luar nikah, seperti lakon-lakon dalam sinetron itu. Belum selesai ngilu di dadaku karena hal itu, anakku yang SD juga membikin ulah. Kalau selama ini ia tak pernah membangkang, entah sejak kapan ia mulai berani menjawab, menyangkal atau sekedar acuh-tak acuh ketika kami nasehatinya. Ketika kusuruh belajar ia membantah. Katanya tak perlu belajar kalau besoknya tidak ada ulangan di sekolah. Jika tiba waktunya pergi ke masjid untuk mengaji, selalu ada saja alasan yang ia kemukakan agar boleh tidak mengaji. Ia memang suka sekali menonton sinetron anak-anak. Dan aku tahu, dalam lakon-lakon sinetron tersebut anak nakal selalu menang. ******* Malas aku berada di rumah. Selain kedua anakku semakin sulit  diatur, istriku juga tiba-tiba jadi aneh. Tak ada lagi sayur lodeh, Tongkol pelas atau sayur asem. Setiap hari, kalau tidak telur ceplok ya mi instant. Kopi di meja juga sering kosong. Dari siang hingga malam, istriku cuma tiduran di ruang tengah, menonton sinetron atau gosip artis. Tidak pernah lagi ikut majlisan. Bahkan rupanya ia sudah beberapa kali tidak pergi ke pengajian. Apa-apaan?. Kerudungnya dilepas, bicaranya lebih banyak dan menyakitkan hati. Apa ia telah meniru semua yang ia lihat di TV?. Kalau yang setua dia saja masih bisa terpengaruh oleh tontonan, bagaimana dengan kedua anaknya. Apa tidak lebih parah?. Selain menjadi malas dan banyak omong, istriku juga suka uring-uringan sekarang. Kalau keinginannya tidak kuturuti, bisa seharian ia mendiamkanku. Tahu, apa yang ia minta sekarang?. Sepeda motor!. ******* Malam sudah larut, tapi aku tak bisa memejamkan mata sama sekali. Dadaku ngilu. Kedua anakku benar-benar membuat dadaku ngilu. Susi pulang sekolah agak terlambat siang tadi. Meski ia bilang ada jam tambahan, bercak-bercak merah di sekujur lehernya tak bisa membohongiku. Adiknya juga telah membuat dadaku ngilu. Kau pasti  tahu, bagaimana terlukanya jika anakmu yang masih SD berani membentak dan berteriak padamu. Memang telah terjadi banyak kejanggalan di rumah ini. Semuanya berubah menjadi menyakitkan. Kebiasaan-kebiasaan baik terusir dari sini. Shalat tertunda, anak-anak dan istriku berubah perangai, dan yang lebih menyakitkan, rumah ini menjadi seperti sebuah rumah di kota besar. Dulu, tak pernah ada kata-kata kasar terdengar di sini. Tidak ada sholat yang tertunda. Tidak ada aurat terbuka. Tidak ada suami terabai dan ayah tersakiti. Sekarang semuanya terjadi. Etah bagaimana, semuanya bisa berubah dengan begitu cepat. Bertahun-tahun aku membiasakan segenap kebiasaan baik dalam keluarga ini, tetapi dalam beberapa waktu saja, sejak kami membeli televisi itu, semuanya berubah menjadi buruk. Aku tak paham bagaimana bisa tontonan-tontonan tersebut bisa merubah semuanya. Begitu cepat dan begitu nyata keburukan-keburukan yang mereka ajarkan mempengaruhi anak-anak dan istriku. Mereka bisa menjadi kasar, tak berahlak, suka berhayal, suka belanja, tak mau kerja keras dan entah apa lagi. Aku tak habis pikir, kenapa mereka, pemilik stasiun-stasiun televisi itu tak lagi memiliki hati nurani. Demi keuntungan mereka rela merusak akhlak jutaan orang di negeri ini?. Mereka tak peduli jika apa yang mereka tayangkan akan merusak mental penonton. Yang penting adalah uang dan uang semata. Hingga pengeras suara masjid-masjid mengumandangkan tarhim, aku belum juga bisa tidur. Pikiranku sangat sedih. Dan aku menyesal karena telah membelikan mereka televisi. Mungkin, lebih baik aku jual saja benda itu. Memang sudah terlambat, tapi hanya itu yang bisa kulakukan sekarang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun