Mohon tunggu...
Hairin Nisa
Hairin Nisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Salam kenal.. saya Hairin Nisa seorang mahasiswa psikologi, saya punya hobi memasak dan selalu ingin mencoba hal baru contihnya dengan menulis sebuah artikel yang relevan dengan kehidupan sehari-hari .

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Psikologi Forensik Lewat Kode Etik Psikologi Pasal 56

5 Januari 2024   21:37 Diperbarui: 5 Januari 2024   21:41 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata psikologi sudah tidak asing lagi didengar bukan? Tidak hanya generasi muda, tetapi menjadi hal yang umum diketahui masyarakat. Namun, sering kali hal yang berhubungan dengan psikologi dianggap bukan topik yang umum untuk dibahas di khalayak ramai. Banyak generasi orang tua yang masih "takut" berhubungan dengan psikologi. Lalu apa itu psikologi forensik sebenarnya?

Forensik sendiri mungkin identik dengan kasus kriminal, kecelakaan, ataupun pidana. Forensik berfokus kepada pemeriksaan jenazah di mana sebagai salah satu bentuk penegakan hukum dengan mendiagnosis dan menyelidiki sampel bukti berdasarkan morfologi organnya. Dalam cabang ilmu forensik menjadi dua jenis yang umum, yaitu psikologi forensik dan forensik klinis.

Dalam mengenal lebih lanjut mengenai psikologi forensik, secara umum psikologi forensik merupakan cabang dari psikologi yang mempelajari dan mengintervensi proses peradilan guna menyediakan data dan pengetahuan yang membantu penyelesaian suatu kasus. Seorang psikolog forensik berperan dalam mengumpulkan, mempelajari, dan menafsirkan dengan benar berbagai data psikologis yang dapat memberikan elemen penting di pengadilan. Mereka bekerja sama dengan pencara, ahli, jaksa, dan hakim dalam ruang lingkup kerjanya serta menawarkan dan memberikan kesaksian juga data pengetahuan agar kasus tertentu dapat diklarifikasi bagaimana secara psikologis dari beberapa pihak atau semua pihak yang terlibat.

Tentunya, selain lulusan psikologi perlu juga memiliki pengetahuan dan perangkat yudisial, prosedural, dan pidana sehingga benar-benar dapat memahami peradilan secara akurat dan menerapkan teknik psikologis di bidang ini. Karena itu dibentuklah kode etik psikologi khusus psikologi forensik yaitu pada pasal 56 Kode Etik Psikologi yang mencakup hal-hal sebagai berikut:

  • Psikologi forensik adalah bidang psikologi yang berkaitan dan/atau diaplikasikan dalam bidang hukum, khususnya peradilan pidana.
  •  Ilmuwan psikologi forensik melakukan kajian/ penelitian yang terkait dengan aspek-aspek psikologis manusia dalam proses hukum, khususnya peradilan pidana. Psikolog forensik adalah psikolog yang tugasnya memberikan bantuan profesional psikologi berkaitan dengan permasalahan hukum, khususnya peradilan pidana.
  • Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang menjalankan tugas psikologi forensik wajib memiliki kompetensi sesuai dengan tanggung jawab yang dijalaninya, memahami hukum di Indonesia dan implikasinya terhadap peran tanggung jawab, wewenang dan hak mereka. 
  • Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari adanya kemungkinan konflik antara kebutuhan untuk menyampaikan informasi dan pendapat, dengan keharusan mengikuti hukum yang ditetapkan sesuai sistem hukum yang berlaku. Psikolog dan/atau ilmuwan Psikologi berusaha menyelesaikan konflik ini dengan menunjukkan komitmen terhadap kode etik dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi konflik ini dalam cara-cara yang dapat diterima.

Contoh kasus:

Dari detikjateng, kejadian mutilasi yang dilakukan pada korban inisial A di Pakem, Sleman. Pada kasus ini terjadi di sebuah wisma di daerah tersebut, mayat korban ditemukan oleh penjaga wisma yang langsung melapor ke polisi. Di mana kondisi korban ditemukan di kamar mandi penginapan dengan 62 bagian tubuh yang dimutilasi.

Analisis:

Menanggapi kasus mutilasi tersebut salah satu pakar psikolog forensik dari UGM, Prof. Koentjoro menjelaskan bahwa ada unsur 'belajar' dalam kejadian tersebut. Para pelaku kejahatan masyarakat belajar dari banyak kasus sebelumnya bahwa jika sengaja atau tidak sengaja melakukan kejahatan hingga korban meninggal, maka sisanya harus dimutilasi.

Kenapa mutilasi menjadi hal yang dilakukan oleh para pelaku? Itu kembali kepada dua hal yaitu di antara mencoba menghilangkan jejak ataupun hanya kesadisan pelaku. Sering kali pelaku yang melakukan pembunuhan melakukan mutilasi sebagai bentuk untuk menghilangkan bukti cara atau proses si pelaku membunuh korban, dalam kasus lain menghilangkan jejak dengan membuang anggota tubuh korban ke sungai atau tempat-tempat lain yang tersembunyi.

Membedakan kedua hal tersebut bisa dilihat dari tempat kejadian yang berlaku, apakah pelaku melakukan mutilasi setelah korban terbunuh atau dalam proses penyiksaan semasa hidup? Darah yang berceceran di TKP membuktikan bahwa itu bentuk kesadisan pelaku, karena umumnya jantung masih memompa darah hingga kulit yang dimutilasi mengeluarkan darah yang masih mengalir ke mana-mana.

Dalam kasus ini Prof. Koentjoro menyimpulkan bahwa korban terbunuh lalu dimutilasi dari keadaannya. Penyebab pelaku melakukan mutilasi juga bisa jadi karena faktor akselasi kemarahan yang tidak terkontrol. (Sumber: Suarajogja.id)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun