saling toleransi dalam Bingkai Bhineka Tunggal Ika, penghormatan seperti jaminan yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 34 : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk Agama dan Kepercayaan masing-masing”. Agama dan Kepercayaan adalah dua hal berbeda menjadi satu kesatuan utuh dalam falsafah persatuan bangsa, bahkan pengikut Kejawen dan sunda wiwitan yang sejak dahulu kala adapun tidak menuntut ajaran mereka dijadikan Agama Nasional, bukan karena eksistensi dan kiprah dalam persebaran terhambat dalam suatu wilayah. Jaminan Negara ini menjadi pemersatu dalam naungan Pancasila yang tidak pernah berbenturan dengan Nilai Akhlakul Karimah seorang mukmin dalam Islam,
Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin, Nilai “Bagiku Agamaku, Bagimu Agamamu” yang ada didalam kandungan ayat Alquran telah tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab dan Persatuan Indonesia”. Manusia yang memiliki Adab adalah manusia yang masih mempercayai atau masih memiliki kepercayaan terhadap sang pencipta meskipun dengan beragam cara.
Patut diberikan Apresiasi tentang apa yang telah dituangkan dalam catatan perjalanan seorang Nurcholis Madjid [Cak Nur] dalam Nilai Dasar Perjuangan yang membahas Pengertian-pengertian Dasar tentang kemanusiaan, mengenai Manusia dan Nilai-Nilai Kemanusiaan, bahwa sesuatu yang membuat manusia yang menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, malainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusu dimiliki manusia saja yakni Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung pada kebenaran [Hanief].
Jika merujuk kepada “Semua Manusia Nilainya sama dihadapan ALLAH.SWT, yang membedakan adalah Keimanan dan Ketakwaannya”, sesungguhnya kategori orang yang Beriman dan Bertakwa sudah terang dijelaskan dalam Alquran, yang sangat jelas sudah ada ketentuan dan kepastian mengenai kategori berIman dan bertakwa sebagai Faktor Pembeda, yang sudah jelas dinyatakan oleh ALLAH SWT dalam Kitab-NYA.
Sehingga setiap perlakuan dan perbuatan selama manusia itu hidup hingga setelah mereka wafat penilaian hakiki untuk mengadili manusia sudah menjadi Urusan ALLAH SWT,
Dalam Ajaran Islam ketika seorang manusia meninggal dunia maka putuslah semua amal dan perbuatan kecuali 3 perkara [hal], yakni : Amal & Sedekah, Doa anak yang sholeh, ilmu yang bermanfaat, sehingga kebijakan penentu masuknya seorang manusia kedalam surga atau kedalam neraka bukanlah menjadi urusan manusia yang masih hidup ataupun yang sudah wafat.
Jika menjadikan Perbedaan adalah sesuatu yang laknat, maka bercerminlah pada wajah sendiri yang memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya, perbedaan itu pun termasuk terlaknat, semisal individu A yang hanya merasa memiliki wajah yang menyatakan tidak laknat, disisi lain individu B yang memiliki pandangan sama bahwa individu A terlaknat karena wajahnya berbeda dengannya, begitu seterusnya dengan setiap individu lainnya, maka peperangan akibat ketersinggungan sosial bisa semakin menjadi, padahal semua individu hanya sebatas perasaannya saja bahwa ia memiliki wajah yang ada padanya kini adalah miliknya, karena dengan menyadari manusia adalah mahluk yang diciptakan bukan sang pencipta, makadari itu manusia tiada berkehendak untuk mengadakan dan meniadakan wajahnya sendiri yang direquest sebelum dilahirkan kemuka bumi, terlebih mengkafirkan sesame manusia.
Ketertarikan manusia terhadap cara memandang bagian-bagian alam semesta dan lingkungan sekitar kehidupan manusia, untuk senantiasa menjaga dan terjaga bersama sebagai suatu karunia yang luar biasa dan patut disadari. Semisal tidak saling mengklaim bahwa Awan, Matahari, dan Bulan yang ada saat ini adalah milik segelintir kelompok orang beragama saja atau satu bangsa atau satu Negara semata, Sehingga yang lain tidak boleh ikut serta melihat dan menikmatinya, karena merasa memiliki perangkat alam semesta secara pribadi.
Di dunia ini dibalik tragedi pasti ada kausal [sebab-akibat] yang tidak seutuhnya seluruh umat manusia dapat memahaminya, sehingga hanya kemampuan nalar yang terbatas hanya mampu mengimani, mengimani pun terkadang sulit untuk dipertegas dalam kisaran jumlah dan hitungan tentang seberapa besar kadar atau parameter tertinggi orang yang telah atau sudah menyatakan dan dinyatakan beriman kepada sang Pencipta, sehingga seorang manusia dianggap layak untuk mengkafirkan sesama manusia dan terlebih menyakiti saudara semanusia.
Meng-indonesiakan Islam dan beradaptasi terhadap ruang dan waktu adalah cara terbaik sebagai ucap syukur atas nikmat ALLAH SWT yang berlimpah dalam kebersamaan dan kedamaian di Negeri ini, kelak bernilai untuk kita nikmati bersama anak cucu nanti, Amin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H