Mohon tunggu...
Hairil Suriname
Hairil Suriname Mohon Tunggu... Lainnya - Institut Tinta Manuru

Bukan Penulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dampak Medsos dan Empati Generasi yang Telah Mati (Seri II)

15 April 2021   11:06 Diperbarui: 15 April 2021   11:15 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: klikmania.net

Jika empati punya peran penting dalam hubungan antara sesama manusia maka rasa sosial merupakan kunci keutamaan untuk kehidupan dalam suatu lingkungan

Di tahun 2021, memasuki awal baru, babak baru yang menggiring mansuia pada masifnya perkembangan tekhnologi. Berbagai cara dan upaya merupakan ivoasi terbaru bagaimana menyulap sebuah pekerjaan yang dilakukan manusia akan dilakukan sepenuhnya oleh tekhnologi, begitulah isyarat zaman membawa kita jauh lebih dalam di perkembangan IT. Baca Artikel Sebelumnya disini : Seri I

Kekenyangan informasi bohong, tidak kebal terhadap informasi hoax, larut dalam banyak masalah demi masalah penggunaan internet dan sebagainya sudah menjadi makanan sehari-hari generasi baru. Yang membedakan adalah perkara menyaring dan menyimak informasi, generasi 80an paling peka terhadap informasi. Disinilah perlu kembali melakukan revolusi mental, revolusi morall untuk mendidik kembali etika generasi baru agar mereka tidak dangkal dalam merespon banyak hal dengan skip-skip saja.

Sampai dititik ini, generasi perlu baru interfensi sepenuhnya dalam mendidik baik itu negera, sosial kemasyarakatan, atau sekolah dan orang tua. Tujuan mendidik agar dapat menghadapi trend tantangan yang datang kemudian hari setelah dunia ini semakin naik level kecanggihan teknolginya.

Bagi saya, orang tua zaman sekarang merupakan generasi antara X dan generasi Y dengan pemahaman internetnya masih sangat jauh dari generasi sekarang alias anak-anak mereka. Sebagian dari generasi Z mungkin juga sudah menjadi orang tua, sebab indonesia terakhir ini nikah usia muda sangat tinggi aangkanya. Pemahaman internet bukan ukuran untuk mendidik anak-anak atau generasi, juga bukan berarti menyerah dalam mendidik, sebab frame didikan ada banyak modelnya tergantung bagaimana kita mau dan mampu melakukannya untuk generasi kita dalam mengambil sebuah keputusan dan bertanggungjawab atas hal itu.

Mengapa dikatakan generasi baru telah mati empati nya?

Pembaca dan mungkin banyak orang tua Zaman rekarang dari (generasi sisa Generasi X, generasi Y dan sebagian dari generasi Z)  memberikan banyak waktu bagi generasi atau anak-anaknya. Berbagai aktivitas game dan online generasi baru merupakan kendala utama mengapa empati generasi baru jadi mati. Sebab mereka tidak peka lagi dengan lingkungan sekitar atau orang disekeliling mereka.

Dilansir Psychology Today, dalam sebuah artikel beritagar.id - empati ialah pengalaman memahami pikiran, perasaan, dan kondisi orang lain dari sudut pandang mereka, bukan dari pikiran Anda sendiri

Hal ini lebih ke psikologi, terutama motivasi diri kita. Zaman sekarang orang kehilangan motivasi diri untuk membantu antar sesama, peduli antar sema. Artinya, empati tidak lagi dijadikan sebagai motivasi diri untuk peduli hal sosial disekitar.

Game dan internetan seharian didalam rumah adalah aktivitas rutin generasi sekarang, jika mereka keluar rumah pun masih melakukan hal yang sama, game di beberapa tempat mengurangi komunikasi mereka dengan orang sekitar. Dilakukan dari masa masih anak-anak hingga memasuki usia sekolah dan bahkan sampai dibangku kuliah.

Kegiatan dan aktivitas yang sama, berputar hanya pada kegiatan itu-itu saja.dan pada akhirnya, mereka hanya asyik dengan yang mereka lakukan tanpa mau tahu apa yang ada disekeliling mereka.

Mengutip Hurlock (1999: 118) dalam artikel yang mengungkapkan bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain. Sedangkan Goleman (1997:102), mempertegas bahwa Faktor baik psikologis maupun sosiologis yang mempengaruhi proses empati menurut.

Senada dengan Harlock dan Goleman, Baron dan Byrne (2005: 111) dalm artikel Chandra Tri Saputra menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain

Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa rasa empatai akan mempengaruhi sisi psikologi dan sosiologi dalam kontek generasi baru. Hal empati, merupakan perkara yang krusial di negeri ini dan sudah banyak yang membicarakan itu dalam berbagai kursus, diskusi-diskusi, ceramah dll dll. 

Kesimpulannya adalah internet memiliki dampak yang postif dan negatif secara masif menjadi perhatian kita semua. Efek paling berat selain empati generasi telah menjadi mati, ada pembunuhan terjadi karena kenal dengan menggunakan media internet, ada juga kekerasan dan bullying dll menjadikan negara atau lembaga atau individu terkait kehilangan kontrolnya.

Kehilangan rasa empati generasi baru tidak dapat dikembalikan dengan cara apapun selain mendidik dengan merubah pola pikir mereka tanpa mengabaikan hubungan mereka dengan dunia internet. Hal ini sangat berisiko tentunya. Misalkan, para orang tua ingin mendidik anak-anak mereka dengan bebaskan mereka berinternet, atau main gedget seharian setelah belajar dll. Hal ini sepertinya tidak juga efekti melahirkan kembali empati mereka.

Kita tahu sendiri dampak internet ini seperti apa, kontrol kita sejauh mana jika anak-anak atau generasi baru menggunakan gedget sendiri. Kita sudah jelas tidak akan tahu apa lagi sebagao orang tua zaman milenial yang akses internet masih begitu lamban di bandingkan dengan emreka generasi baru. Banyak hal yang tidak kita ketahui, banyak hal yang mereka sembunyikan dari kita.

Apakah kita dapat mengontrol mereka menggunakan internet?

Hilangnya empati pada seseorang terutama genrasi baru, anak-anak merupakan tanggungjawab pendidiknya, terutama orang tua sebagai guru dirumah selain guru mereka secara formal di lembaga pendidikan mereka. Mengutip artikel merdeka.com - sebuah penelitian dari Vanderbilt, seperti dilansir dari Medical Xpress. Kathryn L. Humphreys menemukan bahwa ketika anak-anak tidak menerima respons empati dari pengasuh, mereka cenderung menunjukkan perasaan negataf secara beragam, termasuk meningkatnya respons psikologis pada stres, meningkatnya risiko masalah psikis terutama depresi, serta menurunnya empati pada orang lain

Pada artikel  suara.com - mengemukakan bahwa ada Studi terbaru menunjukkan rasa empati dalam diri seseorang semakin langka. Sebanyak 65 persen orang bersikap tidak peduli alias kehilangan empati. Dan Menurut sebuah studi baru dari Pennsylvania State University, bagi kebanyakan orang, menghabiskan waktu untuk berempati hanya menguras energi mental mereka.

Dari beberapa simpulan penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa ada sebagian orang merasa membuang waktu dan tenaga kalau berempati terhadap orang lain. Ketakutannya hal inilah yang terjadi pada generasi kita sekarang, semangat untuk membantu sudah tidak ada lagi dalam hati mereka. Banyak problem yang mengantar mereka ke ranah pergaulan yang negatif dari sisi penggunaan media sosial.

Kita lihat generasi sekarang rutin komunikasinya dengan menggunakan whatsaap, instagram dll. Beberapa aplikasi ini ternyata terakhir ini menjadi media komunikasi yang salah di gunakan dalam hal negatif. Video-video porno bisa di akses dengan wa melaui grup whatsaap, time line instagram menampilkan keterbukaan dada perempuan yang montok, binal dan nakal. Disini konteksnya adalah didikan moral yang mana yang kita maksud untuk menguatkan empati sedangkan media bermain mereka adalah suguhan tubuh seksi, genit dan lainnya yang sudah keluar dari kaidah dan etika belajar.

Kalau berharap kontrol medsos mainan mereka setiap hari saja, saya rasa bukanlah hal yang cukup untuk mengembalikan empati mereka. Artinya di media sosial seperti facebook dan instagram sudah disalahgunakan beberapa orang yang dengan sengaja menggiring anak-anak atau generasi baru untuk ikut ke dalam alih-alih syarat untuk menjadi yang terkenal. Dampaknya yah, karekater generasi yang terbentuk dengan apa yang mereka konsumsi setiap hari, ketelanjangan bagian tubuh dan bicara-bicara kotor pada sebuah komunikasi menentukan masa depan generasi baru nantinya memiliki rasa empati atau tidak, itu poinnya.

Menurut hemat saya, karakter positif dalam diri selain simpati adalah empati, sebagai langkah komunikasi sosial masyarakat yang satu dengan lainnya. Bagaimana seseorang bisa berbicara, berhubungan dengan orang lainnya dengan baik sedangkan dalam diri mereka tidak ada rasa empati sama sekali.

Saya, mulai dari aktivitas menulis membuat saya semakin masif lagi melakukan komunikasi dengan orang-orang. Sekedar menanyakan hal yang mereka tahu, kehidupan, pendapat, pendangan, masalah publik dan lainnya. Hal ini membuat saya semakin tahu bahwa dunia sekarang membutuhkan orang dengan empati yang tinggi, dan saya jarang menemukan hal itu di kehidupan nyata sekarang ini.

Saya tidak mengatakan bahwa kita harus empati sebab kebutuhan orang lain jauh lebih penting dari kebutuhan kita atau yang kita mau. Tidak, saya tidak ingin mengerdilkan pikiran saya hanya karena selah mendefenisikan sebuah ancaman untuk diri saya sendiri. Empati itu merupakan karakter yang haru tertanam semenjak kita lahir, secara naluriahnya begitu, diasah jika beranjak tumbuh menjadi anak-anak, remaja lalu dewasa. Bukankah empati adalah kebutuhan diri, kebutuhan manusia yang memiliki akal? Bagian ini bisa dijawab sendiri.

Melihat orang yang tidak pernah peduli dengan keadaan orang lain di saat sekarang ini bukan lagi hal baru, berbagi dengan orang lain menjadi ajang pamer kemampuan, ada orang-orang tidak bisa tahan emosi di jalanan, memaki orang lain, mencela dll dll masih kita temukan di sekita kita. Dan mungkin itu hal biasa, bagi saya adalah penyakit ketidak pedualian kita sudah akut.

Di banyak tempat, saya masih menemukan juga orang-orang sering marah-marah, bicaranya tidak sopan kepada orang tua, tuturnya sangat keras, membentak, paksa berpendapat meskipun itu salah dan banyak lagi masalah ini merupakan efek dari diterpanya perkembangan teknologi dan kurangnya didikan karakter bagi generasi baru. Kekerasan fisik dimana-mana, membuktikan bahwa kebaikan di lingkungan ini bukan lagi sebuah keharusan.

Dari semua perkara yang saya sebutkan terakhir ini, merupakan dampak parah dari kesalahan didikan generasi, pembiaran terhadap kesalahn metode belajar, pembiaran tumbuh dewasa dilingkungan yang salah yang kesemauannya berdampat pada matinya empati generasi baru. Itulah mengapa kita harus memiliki sikap empati terhadap orang lain dalam kehidupan sehari-hari. 

Seiring berjalannya waktu, rasa empati akan ada dan seseorang bisa merasakan manfaatnya terutama dalam kehidupan sosial. Percaya atau tidak, dikehidupan kita, akan ada masanya seseorang menolong orang lain, itu hal pasti.

Terimakasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun