Tenaga kerja ini jelasnya memiliki perbedaan alias tidak sama secara klasifikasinya. Di ukur dari klasifikasi, tenaga kerja akan dibedakan dari yang berkualitas dan tidak berkualitas sebagai klasifikasi. Letak problem utama dalam dunia ketenagakerjaan.Â
Dari klasifikasi inilah, perbedaan antara class dalam dunia kerja berdasarkan jenis dan permasalahan akan terlihat sangat mencolok dan tidak dapat dihindari. (baca tulisan sebelumnya di sini: Menilik Lajunya Pengangguran Indonesia dari Klasifikasi Kemampuan dan Kualitas Tenaga Kerja (Part I))
Terdapat 29,12 juta orang (14,28 persen) penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19, terdiri dari pengangguran karena Covid-19 (2,56 juta orang), Bukan Angkatan Kerja (BAK) karena Covid-19 (0,76 juta orang), sementara tidak bekerja karena Covid-19 (1,77 juta orang), dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena Covid-19 (24,03 juta orang). (baca: bps.go.id)
Secara umum, banyak orang menilai masalah ketenagakerjaan indonesia hanya terfocus pada Kualitas Tenaga Kerja. Ukurannya adalah Infrastruktur dan pengajar yang baik adalah kunci memajukan Pendidikan sebagai Lembaga formal mengolah sumber daya manusia yang mumpuni untuk disiapkan sebagai tenaga unggul untuk berkompetisi di dunia kerja. Padahal pegangguran bisa terjadi akibat jumlah angkatan kerja yang produktif tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang disediakan
Prinsip dasarnya adalah pendidikan/pelatihan yang baik akan menghasilkan tenaga kerja yang baik. Apakah Indonesia bisa dikatakan demikian? Menurut hemat penulis, ini adalah masalah utama di dunia kerja Indonesia.Â
Indonesia belum memiliki itu semua, oleh sebab itu masih banyak terdapat tenaga kerja di Indonesia yang belum mampu menciptakan hasil produksi yang baik dikarenakan mengabaikan fasilitas formalnya. Pendidkan tidak merata bukan hanya secara geografis, melainkan secara SDM pun di pertanyakan karena system standar upah baik negara/daerah yang mempengaruhi itu semua, belum lagi system Pendidikan Indonesia saat ini.
Masalah kedua menurut hemat penulis adalah Jumlah Angkatan Kerja yang tidak sebanding dengan Kesempatan Kerja. Msaalah kedua ini kerumitan yang belum di pecahkan, bertepatan dengan pendemi. Semua Lembaga Pendidikan tinggi berlomba menciptakan sarja muda yang handal dan Tangguh. Produksi SDM berkualitas berjalan sangat masif. Lulusan terbaik diberikan jempol, dan usia kuliahnya lama menjadi kambing hitam.
Padahal prinsipnya sama, Indonesia dalam dua tahun ini menelurkan gelar sarja yang luar biasa banyak, padahal daerah atau Lembaga terkait terutama Lembaga Pendidikan dan negeri sendiri lebih tau bahwa negeri ini sedang mengalami krisis mental, psikologo ekonomi dibentur sangat keras dengan pendemi corona.Â
Perusahan-perusahan swasta ataupun milik negara bahkan berencana mengurangi bahkan sampai pada pemberlakuan PHK masal dll. Bursa kerja memberikan kode, job fair kerap diadakan di mana-mana dengan psikologi perusahan yang takut akan kebangkrutan karena harga matrial, uapah dan sebagainya.
Alasan menerima tenaga kerja di musim pendemi ini tidak sebanding dengan konsep yang di targetkan, untuk menarik para pencari lapangan pekerjaan dengan secepatnya memproduksi sarja dan lulusan terbaik, padahal negara sudah menutup pintu kesempatan itu. Banyak perusahaan sudah tutup, PHK di mana-mana, harga sembako melonjak, pendemi meremas dengan kencang leher kaum miskin dll dll yang kita temukan di Indonesia.
Kita lihat data, jumlah angkatan kerja pada Agustus 2020 sebanyak 138,22 juta orang, naik 2,36 juta orang dibanding Agustus 2019. Sejalan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) juga naik sebesar 0,24 persen poin. Tapi apakah lapangan kerja juga seimbang dengan Angkatan kerja yang meningkat dari tahun ke tahun?