Mohon tunggu...
Hairatunnisa
Hairatunnisa Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

Penikmat literasi dan fiksi dan kini tertarik pada isu wilayah dan kebijakan publik

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Talent atau Host Live Streaming, Profesi Apakah Itu?

18 Januari 2022   18:34 Diperbarui: 28 Januari 2022   11:23 12947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu, sebuah flyer yang menarik mengenai informasi lowongan pekerjaan singgah pada beranda media sosial saya. 

Ternyata flyer tersebut berisi informasi lowongan pekerjaan sebagai talent/host live streaming. 

Disebutkan pula bahwa persyaratan yang dibutuhkan di antaranya kemampuan berkomunikasi dan menggunakan media sosial. 

Persyaratan lain-lain yang menjadi nilai tambah tentu saja berpenampilan menarik. Sedangkan untuk pendidikan minimal tidak disebutkan untuk melamar pekerjaan tersebut.

Tidak hanya beberapa hari yang lalu, flyer mengenai lowongan pekerjaan untuk posisi tersebut memang kerap beberapa kali singgah pada beranda media sosial saya. 

Sepertinya industri saat ini menyadari kebutuhan akan talent-talent yang piawai untuk memasarkan produk melalui streaming pada berbagai media sosial. 

Hal ini didukung pula oleh kemajuan dalam berbelanja secara online melalui media sosial dan e-commerce yang semakin masif dan inklusif. Selain itu hampir seluruh media sosial pun dilengkapi fitur untuk melakukan streaming atau siaran langsung.

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa ada jenis pekerjaan seperti ini. Bahkan pekerjaan semacam ini pun sudah ada istilahnya sendiri. 

Meski menyadari bahwa live streaming sudah menjadi sesuatu yang kian lumrah, akan tetapi ketika menyaksikannya secara langsung saya juga terkaget-kaget dibuatnya. 

Saya belum terbiasa menyaksikan seseorang berbicara sendiri secara semangat dan riang di depan handphone sembari menawarkan barang dagangannya. Karena pemandangan yang biasanya saya saksikan pada tempat-tempat perbelanjaan adalah penjual yang menjajakan dagangannya pada calon pembeli yang berseliweran di sekitar tokonya.

Tidak menyangka akan ada suatu hari saat saya berbelanja di toko yang menjual sprei dan alat-alat tidur, bukan malah saya yang ditawari barang-barang di toko tersebut. Justru seorang pegawai sedang melakukan streaming di salah satu sisi toko untuk menawarkan produk-produk toko tersebut pada pengguna media sosial. 

Begitu pula saat berbelanja ke salah satu pusat perbelanjaan, saya kemudian melihat seorang pegawai pada suatu booth sedang melakukan live streaming untuk menawarkan kerudung yang dijual pada booth tersebut. 

Sepertinya pengusaha saat ini telah menyadari pentingnya fitur live streaming untuk menjangkau audiens yang semakin luas secara cepat. Bukankah memang secara naluri pengusaha ingin meningkatkan skala pemasarannya? 

Alhasil, fitur ini juga mampu menangkap potensi calon pembeli bukan hanya yang datang langsung ke toko, namun juga yang melakukan pembelian secara online.

Seiring dengan berkembangnya kemajuan teknologi saat ini, maka akan turut mempengaruhi bagaimana cara-cara manusia berbudaya. Perkembangan era digital saat ini juga kemudian mendorong semakin terspesialisasinya berbagai pekerjaan yang tersedia. 

Jika dahulu pada era revolusi industri hanya terdapat pembagian kerja (division of labour) antara buruh dan pemilik modal. 

Maka, di era digital ini jenis-jenis pekerjaan pun semakin beragam dan tidak menutup kemungkinan akan terus bertambah mengikuti perkembangan zaman.

Begitu pula permasalahan yang muncul pada setiap zaman juga berubah. Pada era revolusi industri permasalahan yang timbul adalah ketimpangan kepemilikan modal antara buruh dan pemilik modal. Maka, dewasa ini salah satu permasalahan yang timbul adalah ketimpangan informasi/asymmetric information.

Siapa saja yang memiliki informasi/pengetahuan dan mampu memanfaatkan informasi tersebut dengan baik, maka merekalah yang dapat terus bertahan. Dan begitu sebaliknya. Informasi ini bisa dalam bentuk apa saja. 

Misalnya informasi yang diperoleh melalui pendidikan formal atau non formal, proses belajar secara otodidak, atau melalui channel/saluran. Informasi tersebut adalah potensi untuk memperoleh kesempatan yang lebih baik, salah satunya dalam pekerjaan.

Sudah sejak lama pula kota dikenal sebagai tempat aglomerasi dan pertukaran informasi serta kebudayaan. Alhasil, perkotaan pun semakin maju dalam berbagai lini dan menjadi magnet bagi berbagai pihak untuk melakukan urbanisasi. 

Sullivan di dalam buku teks mengenai Urban Economics juga menjelaskan bahwa adanya aglomerasi juga memungkinkan terjadinya fenomena knowledge spillovers. 

Artinya, ketika berbagai pihak dengan asal dan pengetahuan yang berbeda kemudian beraglomerasi di perkotaan, maka akan terjadi sharing informasi/pengetahuan di antara pihak-pihak tersebut. 

Kota layaknya sebagai suatu information pool. Sebagai contoh, suatu trend yang ada di perkotaan dengan cepat akan menyebar dan diikuti oleh daerah lain.

Kota pun menjadi simbol untuk kemajuan dan pusat-pusat peradaban, sehingga terkadang terdapat fenomena asymmetric information dan ketimpangan antara penduduk di perdesaan dan perkotaan. 

Penduduk di perkotaan dianggap memperoleh kesempatan yang lebih baik dibandingkan penduduk di perdesaan. 

Di perkotaan pun terdapat beragam pekerjaan dibanding perdesaan yang hanya lekat dengan pekerjaan di bidang pertanian. Sehingga ada anggapan bahwa penduduk desa akan terus terbelakang dibanding penduduk perkotaan.

Tapi jangan berpikir terlalu muluk dahulu. Salah satu musisi Korea bernama Giri Boy pernah menyampaikan, "We can not afford to be lazy in this today's generation." Dengan kemajuan teknologi saat ini, maka informasi/pengetahuan tersebut dapat diakses siapa saja. 

Perkembangan teknologi juga telah mengaburkan batas-batas wilayah administrasi dan juga wilayah geografi. Teknologi juga kemudian membelah dunia menjadi dunia yang kita tempati secara fisik serta dunia digital. 

Dalam dunia digital ini tidak ada batas wilayah perkotaan dan perdesaan. Tinggal diri sendiri yang harus memilih informasi apa yang dibutuhkan dan akan digunakan untuk apa. Selebihnya adalah terus berusaha. 

Banyak kok yang kemudian mendadak viral, masuk FYP tiktok, serta dapat rezeki runtuh NFT seperti Ghozali dengan foto selfie-nya karena kelihaian mereka melihat peluang dalam dunia digital. Bahkan, sekarang kemampuan berkomunikasi di media sosial sebagai host live streaming juga dihargai.

Hairatunnisa, pengguna dan pemerhati media sosial 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun