Mohon tunggu...
Hairatunnisa
Hairatunnisa Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

Penikmat literasi dan fiksi dan kini tertarik pada isu wilayah dan kebijakan publik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita Tidak Memulai dari Garis yang Sama

16 Oktober 2021   20:35 Diperbarui: 16 Oktober 2021   20:45 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karya Chris Lane berjudul "The UN-Level Playing Field" (Sumber: www.slanecartoon.com)

Ibarat sedang berlari untuk mencapai tujuan yang sama, namun setiap orang memiliki rute yang berbeda-beda. Ada yang mampu mencapai garis finish secara cepat dan lancar ibarat berada di jalan tol. Ada pula yang justru harus melalui jalan berbatu kerikil, bahkan harus melawati hutan dan menyusuri sungai terlebih dahulu.

Kenapa saya membahas hal ini? Karena ada masanya saya merasa tertinggal jauh dari peer-group saya. Rasa-rasanya harusnya saya tiba di garis akhir pada waktu yang hampir sama dengan mereka. Tetapi kini saya menarik napas, menerima. Membandingkan diri dengan sesama peer-group tidak ada habisnya, karena kita mengira berada pada garis start yang sama sehingga dapat mencapai goal secara bersamaan. 

Padahal setiap orang memiliki proses yang berbeda hingga akhirnya sampai ke tujuannya. Saya sendiri sepertinya cukup kesulitan dikarenakan memulai jalan ini dengan memilih jurusan yang relatif berbeda dibanding jurusan sebelumnya. Alhasil, terdapat konsep-konsep yang baru saya ketahui disini. 

Artinya, saya harus belajar lebih keras dibanding teman-teman sejawat yang memiliki latar pendidikan yang relatif sama agar memperoleh pencapaian/outcome yang telah ditetapkan tersebut.

Adik saya yang saat ini sedang kesusahan mengikuti perkuliahannya pun mengeluhkan hal yang sama. "Aku kesulitan mengikuti kuliah ini, tapi teman-temanku yang lain kayaknya enggak. Soalnya mereka kebanyakan berasal dari sekolah kejuruan, jadi terbiasa menggunakan software desain grafis. Kalau aku kan dari sekolah umum."

Saya dan adik saya saja sudah sebegini susahnya dalam menuntut ilmu, lalu bagaimana dengan siswa-siswa seperti ilustrasi di atas tadi yang mungkin harus melalui jalan yang lebih sulit dengan menempuh perjalanan berbatu serta melewati hutan dan menyusuri sungai untuk menuntut ilmu. Sementara itu, mereka pun dituntut untuk mendapatkan outcome yang sama dengan siswa di perkotaan yang memperoleh akses pendidikan lebih baik, fasilitas lebih lengkap, dan juga tenaga pendidik dengan kompetensi lebih tinggi yang jaman sekarang beken dengan istilah 'privilege'.

Merefleksikan hal tersebut secara lebih luas pada dimensi pendidikan saat ini, hal ini dapat dianggap sebagai suatu fenomena kegagalan pasar (market failure) dikarenakan mekanisme pasar menyebabkan terjadinya informasi yang asimetri (asymmetric information) yang kemudian menghasilkan kompetisi yang tidak adil (unfair competition). 

Asymmetric information tersebut merupakan suatu keadaan dimana satu pihak lebih tahu dari pihak lainnya. Sehingga ketika berkompetisi, pihak yang sebelumnya memiliki akses informasi/kesempatan yang lebih sedikit cenderung akan kalah saat berkompetisi.

Karya Chris Lane berjudul
Karya Chris Lane berjudul "The UN-Level Playing Field" (Sumber: www.slanecartoon.com)

Saya kira ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan peristiwa tersebut dapat dilihat melalui karya buatan kartunis yang bernama Chris Slane yang berjudul "The UN-Level Playing Field." Karya-karyanya seringkali berupa potret fenomena sosial yang digambarkan ke dalam kartun untuk menyampaikan kritik dengan cara yang jenaka. 

Melalui kartunnya tersebut, dapat dilihat bahwa ketiga sekolah menetapkan suatu standar yang sama untuk dicapai ketiga peserta dalam suatu perlombaan memanjat. Peserta B tampaknya dapat menyelesaikan perlombaan itu lebih cepat dibanding kedua peserta lainnya sehingga penonton beranggapan bahwa sekolah B merupakan sekolah terbaik. 

Padahal dapat dilihat bahwa peserta B memulai dari titik awal yang lebih tinggi sehingga tidak memerlukan usaha keras untuk mencapai titik akhir. Sebaliknya, meskipun peserta A memiliki usaha yang jauh lebih keras namun ia memulai dari titik yang paling rendah diantara peserta lainnya sehingga sepertinya ia yang akan paling akhir menyelesaikan perlombaan tersebut.

Lalu, harus bagaimana?

Know your position or your starting point. Dengan mengetahui titik awal dan posisi saat ini, kita dapat menyusun strategi untuk mengambil langkah. 

Apakah memilih untuk terus berjalan dengan pace yang sama atau kemudian memilih untuk berlari. Kemudian dengan mengetahui bahwa kita berada pada titik awal yang berbeda dengan orang lain, maka tidak perlu menyikapi perbedaan tersebut dengan membandingkan diri secara destruktif. 

Theodore Roosevelt menyebutkan bahwa, "comparison is the thief of joy." Justru dengan menyadari bahkan kita berada di posisi bawah, maka berarti kita memang harus lebih bekerja lebih keras dibanding orang lain. Tidak hanya dalam menuntut ilmu, namun hal tersebut bisa terjadi pada situasi apapun.

Kemudian pada tataran yang lebih luas, pada ranah kebijakan publik misalnya, diperlukan intervensi pemerintah untuk menghindari timbulnya kompetisi yang tidak adil tersebut bagi kelompok minor yang diakibatkan oleh kegagalan pasar. 

Menyadari bahwa setiap pihak berada pada posisi berbeda, maka perlu adanya perlakuan berbeda,  terutama bagi kelompok minor. Seperti merangkul mereka untuk mengakses pekerjaan dan pendidikan yang layak. 

Dalam CPNS tahun 2021 ini misalnya terdapat beragam formasi yang disediakan, misalnya untuk umum, cumlaude, serta formasi yang dikhususkan untuk kaum disabilitas serta masyarakat Papua. Selain itu sistem penerimaan mahasiswa pada perguruan tinggi negeri juga memiliki beberapa jalur seleksi. 

Misalnya untuk siswa berprestasi, siswa bidik misi, serta siswa yang berasal dari daerah 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal). Hal ini agar semua pihak dapat merasakan keadilan dan tidak tersisih saat berkompetisi. Sayangnya semua lagi-lagi tergantung pilihan pemerintah untuk memihak kepada kaum yang mana. 

Memihak masyarakat minor dengan mengorbankan biaya/usaha lebih besar atau masyarakat mayoritas dengan biaya/usaha cenderung sedikit. Ah, tetapi jika pemerintah sudah menilai perkara untung dan rugi, lalu apa bedanya pengelolaan suatu negara dengan perusahaan?

Hairatunnisa, mahasiswa yang sedang menuntut ilmu perencanaan wilayah dan perkotaan dengan peminatan tata kelola perkotaan setelah hijrah dari ilmu rekayasa kehutanan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun