Mohon tunggu...
Hairatunnisa
Hairatunnisa Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

Penikmat literasi dan fiksi dan kini tertarik pada isu wilayah dan kebijakan publik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Telisik Nilai Intrinsik Keanekaragaman Hayati dalam Karya Rita Widagdo

10 Oktober 2021   17:52 Diperbarui: 12 Oktober 2021   19:06 1080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ragam karya Rita Widagdo dalam Pameran bertajuk 'Ekuilibrium' (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2021)

Sebagai insan biasa yang minim pengetahuan tentang seni, saya adalah seorang awam dalam menilai ihwal di dalam suatu karya seni. 

Sehingga ketika mengunjungi suatu museum ataupun pameran seni, seringkali saya sekadar memotret objek-objek yang menurut saya menarik untuk diunggah ke media sosial tanpa melakukan pemaknaan mendalam terhadap karya yang dipamerkan. 

Alhasil ketika adik saya yang kini menggeluti bidang seni (meskipun bukan seni murni) mengajak berkunjung ke Selasar Sunaryo Art Space untuk refreshing sebelum menyambut perkuliahan, saya pikir saya juga hanya akan sekadar melihat-lihat sembari menemani. 

Kebetulan saat itu sedang ada Pameran Karya dan Pikiran Rita Widagdo yang bertajuk Ekuilibrium. 

Karya-karya yang sebagian besar dipamerkan adalah berupa sculpture yang merupakan karya seni rupa yang membutuhkan ihwal pemahaman untuk memahami makna dibalik karya tersebut. 

Namun entah mengapa saat itu saya iseng bertanya kepada Mbak-Mbak yang sepertinya panitia pameran tersebut, “Mbak, karya-karya Bu Rita ini terbuat dari material apa?” Naluri keteknikan saya tiba-tiba muncul.

Ragam karya Rita Widagdo dalam Pameran bertajuk 'Ekuilibrium' (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2021)
Ragam karya Rita Widagdo dalam Pameran bertajuk 'Ekuilibrium' (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2021)

Mbak-mbak tersebut kemudian bersemangat menjelaskan, “karya-karya Bu Rita sebagian besar terbuat dari campuran logam, Mbak. Namun ada juga yang terbuat dari material lain seperti kayu dan juga resin.” Ketika memerhatikan dengan detail, saya dibuat takjub karena beliau dapat menghasilkan karya dengan bentuk dinamis, fleksibel, dan terlihat lentur bahkan dapat melengkung dari bahan-bahan solid! 

Padahal untuk bisa menghasilkan karya tersebut dibutuhkan pengetahuan terhadap karakteristik material yang digunakan, misalnya untuk logam perlu diketahui berapa titik didih dan titik bekunya sehingga dapat dibentuk sedemikian rupa, hingga kemudian saya berujar, “keren yah Mbak, karena dari bahan solid bisa dibentuk seperti ini.” 

Mbak tersebut kemudian melanjutkan, “Ibu Rita berasal dari Jerman sehingga saat tiba di Indonesia beliau sangat takjud melihat tumbuhan-tumbuhan di Indonesia yang beraneka ragam. Sehingga karya-karya beliau banyak terinspirasi dari bentuk-bentuk tumbuhan di Indonesia, Mbak.” 

Dalam suatu petikan wawancara, Ibu Rita juga pernah mengungkapkan, “I am mostly inspired by nature – plants, flowing water, and the like!” Kali ini saya kembali takjub karena justru sumber yang menjadi inspirasi beliau adalah objek-objek yang sangat dekat dengan kita. Siapa sangka tumbuhan yang biasa kita lihat sehari-hari menjadi sumber inspirasi karya seni yang bernilai tinggi. Bahkan karya-karya beliau juga dibuat menjadi monumen-monumen di berbagai daerah di Indonesia.

Monumen Karya Rita Widagdo (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2021)
Monumen Karya Rita Widagdo (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2021)

Keanekaragaman hayati serta keindahan alam yang dimiliki Indonesia memberikan inspirasi yang tidak bertepi. 

Oleh Sang Pencipta, Indonesia dianugerahi dengan iklim tropis yang menyebabkan sepanjang tahun wilayah Indonesia mendapat pancaran cahaya matahari yang cukup sehingga tumbuhan selalu hijau sepanjang tahun. 

Berbeda dengan negara subtropis tempat kelahiran Bu Rita Widagdo yang setiap musimnya mendapat pancaran matahari yang berbeda, di musim gugur dan musim salju tumbuhan akan kesulitan hidup dan kemudian menggugurkan daunnya. 

Di Indonesia terdapat hutan hujan tropis dimana berbagai habitus (bentuk) tumbuhan dapat ditemukan mulai dari bentuk herba, perdu, pohon, epifit, hingga liana yang menghiasi beragram strata mulai dari strata lantai hutan hingga strata kanopi. 

Selain itu berbagai tumbuhan berdaun lebar juga banyak ditemukan pada wilayah beriklim tropis. Hal ini sungguh berbeda dengan keadaan di negara subtropis dimana tidak banyak variasi habitus tumbuhan yang dapat ditemukan serta umumnya tumbuhan yang ada berupa herba atau pohon yang berdaun kecil.

Dari karya-karya Bu Rita Widagdo yang umumnya memiliki bentuk bidang yang lebar serta terlihat meliuk dan melengkung tersebut, saya dapat melihat bahwa tumbuhan-tumbuhan tropis dengan ciri berdaun lebar serta memiliki habitus liana sepertinya adalah objek yang sedang beliau gambarkan melalui karya seninya. 

Tumbuhan liana adalah tanaman berkayu yang memiliki akar di tanah serta hidup merambat yang dapat ditemukan di hutan hujan tropis seperti di Indonesia atau di hutan hujan tropis lainnya dimana cahaya matahari selalu ada sepanjang tahun. 

Tidak hanya Bu Rita Widagdo yang dibuat takjub, kenyataan bahwa tumbuhan ini berkayu dan dapat merambat membuat decak kagum dan pertanyaan diantara para ilmuwan di Barat. Kayu diketahui sebagai material yang stiff dan rigid, sehingga bagaimana bisa ada tumbuhan berkayu yang merambat, bahkan ke atas? 

Di dalam suatu tajuk di The New York Times berjudul “How Woody Vines Do The Twists?”, beberapa ilmuwan berusaha mencari tahu jawaban atas pertanyaan tersebut dengan meneliti struktur kayu tumbuhan liana. Liana adalah tumbuhan penting yang membedakan struktur hutan hujan tropis di negara beriklim tropis dan hutan temperata di negara subtropis. 

Persaingan yang tinggi di hutan hujan tropis terhadap cahaya matahari terutama di lantai hutan, menyebabkan tumbuhan liana memiliki struktur unik agar dapat terus merambat ke atas untuk mendapatkan cahaya. 

Sehingga, tentu saja banyak orang yang kemudian penasaran dan takjub ketika pertama kali melihatnya! Tak terkecuali Ibu Rita Widagdo yang baru menjumpai tumbuhan ‘aneh’ tersebut di Indonesia!

Sumber: https://www.britannica.com/plant/liana
Sumber: https://www.britannica.com/plant/liana

Sumber: orangutanprotection.com
Sumber: orangutanprotection.com

Fakta bahwa keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia memberikan sumber inspirasi tidak terbatas bagi lahirnya karya seni seperti karya Rita Widagdo menyadarkan saya bahwa keanekaragaman hayati memiliki nilai intrinsik yang tidak dapat terukur (intangible) dengan nilai uang. 

Saya kembali teringat bagaimana dahulu dosen saya menjelaskan bahwa dalam menilai manfaat total sumber daya alam, terdapat komponen manfaat nilai penggunaan dan juga nilai intrinsik. Nilai penggunaan tersebut meliputi nilai penggunaan langsung, nilai penggunaan tidak langsung, dan nilai pilihan. Sementara nilai intrinsik tersebut tidak langsung dapat terlihat atau dirasakan, yang meliputi nilai keberadaan dan nilai warisan/kebanggaan. 

Akan tetapi seringkali kita menilai sumber daya alam hanya dari nilai gunanya yang dapat diukur secara ekonomi, sementara nilai intrinsik tersebut seringkali terlupa. 

Barangkali juga dikarenakan nilai intrinsik tersebut masih sulit untuk diukur karena metode pengukurannya yang masih terbatas. Selain itu juga, bukankah secara naluri seringkali kita hanya menilai sesuatu secara lahiriah? Sementara itu melakukan penilaian terhadap nilai-nilai intrinsik yang dapat diketahui secara bathiniah memang lebih sulit dilakukan.

Alhasil keberadaan kawasan hutan yang merupakan rumah berbagai tumbuhan dan satwa umumnya hanya dinilai dari nilai gunanya sebagai penghasil kayu sehingga menyebabkannya ‘undervalued’ dan terjadilah deforestasi dan degradasi kawasan hutan dimana-mana secara masif. 

Padahal dalam petak kawasan hutan tersebut terdapat beragam manfaat selain kayu, seperti penghasil oksigen, pengatur iklim, penyerap karbon, serta juga tersimpan kekayaan keanekaragaman hayati yang menjadi inspirasi yang tidak ternilai harganya secara materi.

Fenomena semakin menurunnya keanekaragaman hayati di Indonesia akan menjadi kerugian besar bagi kita karena selain hal tersebut menyebabkan kita tidak lagi dapat merasakan nilai gunanya, kita juga akan kehilangan nilai intrinsik atas keberadaannya serta nilai warisan bagi generasi mendatang dan nilai kebanggaan atas anugrah tersebut. 

Bahkan bisa jadi kita juga tidak dapat menikmati kembali hasil perkawinan antara kekayaan keanekaragaman hayati dan juga karya seni seperti pada karya Rita Widagdo.

Alangkah beruntungnya kita bahwa Rita Widagdo mentransformasi ide serta inspirasinya tersebut ke dalam bentuk karya seni sehingga kita bisa dapat lebih menghargai keanekaragaman hayati yang kita miliki. 

Sebagaimana petikan dari ucapan Maisie Junardy, “introducing and maintaining the culture is important, so that human can recognize themselves and can be more appreciating.

---

Hairatunnisa, alumni rekayasa kehutanan yang sedang menuntut ilmu perencanaan dan juga menyenangi topik humaniora

***

Sumber:

123

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun