Mohon tunggu...
Abdul Hair
Abdul Hair Mohon Tunggu... -

Norma, gadis rekaan, tokoh utama di blog saya. Dia adalah imaji dari potret kehidupan yang akan saya tulis di sini. Potret keseharian disekitar kita, yang terkadang lupa untuk "disejarahkan." Selamat datang di dunia Norma

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Generasi Patah Hati

4 November 2010   13:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:50 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Nada-nada yang minor

Lagu perselingkuhan

Atas nama pasar semuanya begitu klise

Elegi patah hati

Ode pengusir rindu

Atas nama pasar semuanya begitu banal

(Cinta Melulu - Efek Rumah Kaca)

Penggalan lirik lagu di atas bercerita tentang cinta. Tapi bukan cinta yang suka mengiba. Lagu tersebut adalah lagu yang berisi kritik terhadap industri musik pop Indonesia kontemporer. Lagu ini menjadi menarik karena Efek Rumah Kaca, band yang menyanyikan lagu ini, sendiri ber-genre pop. Sebuah hal yang tidak lazim ditemui di industri musik ada lagu yang berisi kritik terhadap “dunianya” sendiri. Melalui lagu Cinta Melulu, grup band Efek Rumah Kaca seolah ingin berteriak pada sesama musisi pop Indonesia, bahwa cukup sudah menciptakan lagu yang berlirik dangkal dan tidak kreatif.

Coba simak acara musik yang tayang di stasiun TV swasta, atau dengarkan pada frekuensi radio, semua lirik yang dinyanyikan nyaris seragam, tentang cinta. Dan diantara lagu cinta itu, ada sangat banyak yang mengangkat tema dikhianati cinta, ingin mati karena cinta, patah hati, dan segala hal yang menyakitkan tentang cinta.

Syahdan, apa sebenanrnya yang melatarbelakangi menjamurnya lagu-lagu bertemakan cinta itu? Pertanyaan ini tentu saja menghasilkan jawaban yang berbeda-beda jika diajukan pada orang yang berbeda pula. Namun secara garis besar, ada dua pendekatan untuk menjawabnya. Pertama, karena memang seniman musik punya kuasa untuk membentuk selera pasar. Dan yang kedua, karena pasar menghendaki lagu yang demikian, maka seniman musik mengikuti apa yang diinginkan pasar.

Sebagai sebuah industri, musik mengikuti perkembangan wacana kapitalisme mutakhir. Dalam teori majamen pemasaran modern, dijelaskan bahwa untuk membuat produk yang disukai, produsen harusnya mengikuti keinginan publik. Jika dihubungkan dengan industri musik, berarti lagu cinta dengan lirik dangkal nan tidak kreatif itu adalah keinginan publik pula.

Timbul kesan kalau orang indonesia yang mendengarkan musik pop adalah manusia-manusia yang cengeng, ingin bunuh diri karena cinta selalu kandas atau akibat diselingkuhi. Lirik-lirik yang dangkal mencerminkan bahwa intelektual orang-orang Indonesia juga dangkal. Band sebesar Sheila On 7 sampai “ditinggalkan” banyak penggemarnya karena lirik-lirik dalam lagu terbarunya dianggap terlalu berat oleh pendengar, tidak sama seperti lagu-lagu diawal kemunculan mereka.

Lantas, dari preferensi musik ini, dapatkah kita katakan bahwa ciri masyarakat Indonesia itu adalah masyarakat yang suka menangis, ingin bunuh diri karena cinta, dan berintelektual rendah? Untuk menganalisi permasalahan ini, akan digunakan sedikit teori tentang identitas.

Identitas bukanlah sifat distingtif, atau bahkan kumpulan sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang. Identitas adalah konstruksi diskursif yang berubah-ubah maknanya menurut ruang, waktu, dan pemakaian. Identitas itu luas, tidak sempit. Identitas tidak hanya berkisar pada persoalan nama, jenis kelamin, usia, agama, ataupun suku, tetapi identifikasi kelas, gender, orientasi seksual, pandangan politik, dan masih banyak lagi. Identitas pun tidak hanya disematkan pada individu, melainkan juga pada ruang lingkup yang lebih luas seperti negara. Ini disebut identitas nasional. Identitas nasional adalah bentuk identifikasi imajinatif terhadap simbol dan diskursus negara-bangsa. Jadi bukan hanya sekedar informasi politis melainkan sistem representasi kultural di mana identitas nasional terus-menerus direproduksi sebagai tindakan diskursif.

Maka menganalisis identitas nasional masyarakat Indonesia hanya berdasarkan preferensi musik tidak secara tepat mengambarkan kenyataan yang ada. Kenyataan di masyarakat jauh lebih kompleks. Tapi tak ada salahnya untuk mencari keterkaitan antara preferensi musik dengan identitas nasional masyarakat di Indonesia. Siapa tahu kedepannya bisa menginisiasi orang lain untuk melakukan penelitian terhadap hal ini agar ditemukan hasil yang lebih empiris.

Musik adalah komunikasi antara komunikator (seniman musik) dengan komunikan (pendengar musik). Komunikasi pada prinsipnya akan semakin efektif jika komunikator dan komunikan terdapat banyak kesamaan, mulai dari kesamaan latar belakang, pengalaman, bahasa, topik pembicaraan, ataupun tingkat intelektual. Ketika ada seniman musik yang membawakan lagu tentang kritik sosial, ada banyak masyarakat yang tidak menyukainya, karena memang isu yang tertuang dalam lirik lagu tersebut tidak dekat dengan masyarakat Indonesia. Artinya, komunikasi tidak berjalan efektif, karena kesamaan antara seniman musik dan pendengar sangat minim. Tetapi manakala seniman musik membangikan “pengalamannya” pada sebuah lagu yang bercerita tentang cinta yang kandas di jalan, atau sakit hati karena cinta, banyak masyarakat yang mengapresiasinya, karena isu tentang cinta adalah hal yang dekat dengan masyarakat. Meledaknya lagu tentang cinta mengindikasikan bahwa komunikasi yang dijalin oleh seniman musik dengan penggemarnya melalui lirik lagu berlangsung efektif.

Lirik-lirik yang dangkal dalam musik Indonesia kontemporer juga tidak bisa dilepaskan dari tingkat intelektual masyarakat kita. Padi dan Sheila On 7, dua band besar Indonesia, pernah dikritik penggemarnya karena menampilkan lirik yang berat. Bukan rahasia lagi bahwa minat membaca buku masyarakat Indonesia masih sangat minim. Padahal banyaknya buku yang dibaca bisa dijadikan sebuah tolak ukur tingkat intelektualitas seseorang. Masyarakat lebih memilih lirik-lirik yang dangkal ketimbang lirik yang berbobot dikarenakan intelektualitas masyarakat kita belum mampu untuk mencerna lirik-lirik yang berisi. Ketidakmampuan mencerna makna dari lirik inilah yang menyebabkan lagu-lagu dengan tema kritik sosial tidak mendapatkan apresiasi dari masyarakat luas.

Ada anekdot yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia menyukai lagu dengan tema-tema cinta karena pada dasarnya orang Indonesia lebih bertindak berdasarkan hati daripada nalar. Ini dibuktikan dengan banyaknya kosa kata bahasa Indonesia yang memakai terminologi “hati.” Careful diartikan sebagai hati-hati, offense diartikan sebagai sakit hati, conscience diartikan sebagai kata hati. Dan tidak satu pun dari kosa kata bahasa inggris tersebut yang menggunakan kata heart.

Identitas nasional masyarakat Indonesia pada dasarnya terbentuk dari kultur yang berkembang di masyarakat. Musik sebagai kultur yang terus menerus berkembang mengakibatkan identitas masyarakat Indonesia juga ikut berkembang, dalam artian tidak stabil. Jika sekarang musik yang berkembang adalah musik dengan tema cinta yang cengeng, maka bisa dikatakan seperti itulah identitas masyarakat Indonesia sekarang, masyarakat yang dihuni oleh “generasi patah hati” dengan tingkat intelektualitas yang rendah. Tapi manakala kedepannya musik Indonesia didominasi lagu-lagu kreatif dengan lirik-lirik cerdas, maka begitu pula identitas masyarakat Indonesia yang terbentuk, yaitu masyarakat dengan tingkat intelektualitas tinggi. Mungkinkah? Kita lihat saja nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun