Mendekonstruksi Narasi "Poros Kejahatan": Nuklir Korea Utara
Dalam pidato kenegaraannya pada tahun 2002, Presiden AS George W. Bush memperkenalkan istilah ‘Poros Kejahatan’, yang menyebut Korea Utara, Iran, dan Irak sebagai ancaman utama terhadap keamanan global. Bush menyatakan:
“Beberapa rezim sudah cukup tenang sejak 11 September. Tapi kita tahu sifat aslinya. Korea Utara adalah rezim yang mempersenjatai diri dengan rudal dan senjata pemusnah massal, sementara membuat warganya kelaparan…… Negara-negara seperti ini [Iran, Irak, dan Korea Utara], dan sekutu teroris mereka, merupakan poros kejahatan, yang mempersenjatai diri untuk mengancam perdamaian dunia. dunia. Dengan mencari senjata pemusnah massal, rezim-rezim ini menimbulkan bahaya yang besar dan semakin besar.”
(Bush 2002)
Narasi ini membentuk oposisi biner: baik vs. jahat, dengan Amerika Serikat sebagai penjunjung perdamaian, sementara negara-negara seperti Korea Utara sebagai pengancam stabilitas perdamaian dunia (Segell 2004; Kyle 2001; Hoyt 2000a; Hoyt 2000b; Bleiker 2003). Narasi ini menyederhanakan realitas geopolitik yang kompleks (Ryan 2002). Dengan mendekonstruksi ‘Poros Kejahatan’ menunjukan bahwa kebijakan nuklir Korea utara didorong oleh keinginan rezimnya untuk bertahan hidup di dunia yang memusuhi mereka (Panda 2020; Kim 2020; Howell, 2020).
Post-strukturalisme menekankan bahwa narasi politik, seperti ‘Poros Kejahatan’, tidak netral atau objektif, namun dipengaruhi dinamika kekuasaan. Teori dekonstruksi Jacques Derrida menunjukkan bagaimana narasi semacam itu menciptakan gambaran realitas yang stabil dengan mengandalkan oposisi biner yang mengutamakan satu pihak dan mensubordinasikan pihak lain (Devetak 2022). Narasi ‘Axis of Evil’ menggambarkan Amerika Serikat sebagai pembela perdamaian global, sementara negara-negara seperti Korea Utara digambarkan sebagai negara yang menentang norma-norma internasional (Hoyt 2000a; Segell 2004; Bleiker 2003). Narasi ini menjadi stabil dengan mengabaikan peran kebijakan dan kehadiran militer AS di kawasan semenanjung Korea yang memperburuk rasa tidak aman di Korea Utara (Howell 2020; Pradana 2023; Bleiker 2003).
Dalam narasi ini, ambisi nuklir Korea Utara digambarkan sebagai tidak rasional dan mengancam (Malici dan Walker 2014; Homolar 2011; Cho 2014). Diasumsikan dalam narasi ini bahwa Korea Utara mengembangkan senjata nuklir untuk tujuan agresif terhadap tetangganya (Hoyt 2000a; Bleiker 2003; O'Neil 2007). Stabilitas narasi ini diperkuat melalui pengulangan gagasan bahwa rezim seperti Korea Utara menimbulkan “bahaya yang besar dan semakin besar” terhadap perdamaian global (Bush 2002; Homoloar 2011). Kemudian Amerika Serikat digambarkan sebagai kekuatan penstabil yang harus melakukan intervensi untuk mencegah “negara-negara jahat” tersebut memperbanyak senjata pemusnah massal (Hoyt, 2000a; O'Reilly, 2007). Dengan menetapkan oposisi biner ini, narasinya tampak koheren dan stabil, dan membenarkan tindakan kebijakan luar negeri AS seperti sanksi, aliansi militer, dan bahkan potensi intervensi militer terhadap Korea Utara. (Kyle 2001; Smith 2021; Lankov 2021)
Dekonstruksi mengungkapkan bahwa oposisi biner narasi ‘Poros Kejahatan’ tidak sesederhana itu. Ambisi nuklir Korea Utara bukan hasil dari irasionalitas, namun berakar dalam konteks sejarah dan geopolitik (Cho 2014; Panda 2020), seperti rasa ketidakamanan hidup di wilayah yang terdapat dominasi AS (Anderson 2017; Jackson 2017). Sejak berakhirnya Perang Korea pada tahun 1953, Korea Utara telah menghadapi ancaman militer yang signifikan dari Korea Selatan, yang merupakan negara yang lebih kaya dan bersekutu dengan Amerika Serikat (Panda 2020). Selama Perang Dingin, Amerika Serikat menempatkan senjata nuklir di Korea Selatan, sehingga semakin meningkatkan rasa tidak aman Pyongyang (Jang 2016; Panda 2020). Para pemimpin Korea Utara, dimulai dengan Kim Il Sung, telah mengembangkan senjata nuklir sebagai cara untuk memastikan kelangsungan hidup rezim terhadap ancaman invasi atau perubahan rezim oleh AS dan sekutunya (Panda 2020; Howell 2020; Kim 2020).
Sebagaimana tertulis dalam Pasal 2 Undang-Undang Korea Utara tahun 2013 tentang Konsolidasi Posisi Negara Senjata Nuklir:
“Mereka [senjata nuklir] bertujuan untuk menghalangi dan menangkis agresi dan serangan musuh terhadap DPRK dan melakukan serangan balasan yang mematikan di benteng-benteng agresi sampai dunia melakukan denuklirisasi.”