Wacana mengenai kewajiban sertifikasi halal saat ini merupakan salah satu isu yang menjadi perbincangan di Indonesia. Sebelumnya, ketentuan terkait dengan label halal bagi para pelaku usaha, atau pun importir barang dari luar negeri, masih bersifat opsional.
Dengan kata lain, bila ada pelaku usaha yang menjual produk konsumen tanpa menyertakan label halal, maka tidak apa-apa. Namun, tentunya pasar yang dapat dijangkau oleh para pelaku usaha tersebut menjadi lebih terbatas. Hal ini dikarenakan tidak sedikit konsumen Muslim di Indonesia yang menjadikan label halal sebagai kriteria utama untuk mengonsumsi produk tertentu.
Tetapi terjadi perubahan aturan beberapa waktu lalu. Pada tahun 2017 misalnya, Kementerian Agama Republik Indonesia mendirikan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (The Halal Product Assurance Organizing Body / BPJPH) yang memiliki tugas dan wewenang untuk memastikan peredaran produk konsumen halal yang ada di Indonesia.
BPJPH sendiri menjalankan tugasnya sesuai dengan amant dari UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Berdasarkan aturan yang berlaku, kewajiban sertifikasi halal untuk produk-produk konsumen di Indonesia berlaku terhitung mulai dari tanggal 18 Oktober 2024 (bpjph.halal.go.id, 18/10/2024),
Terkait dengan produk-produk konsumen di Indonesia yang dikenakan kewajiban sertifikasi label halal, berdasarkan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, terdapat tiga kategori. Pertama dan yang paling umum adalah produk-produk makanan dan minuman. Kedua adalah bahan baku & tambagan pangan. Sementara itu, yang ketifa adalah produk hasil penyembelihan dan juga jasa penyembelihan hewan ternak di Indonesia (bpjph.halal.go.id, 18/10/2024).
Bagi pelaku usaha mikro dan menengah di Indonesia sendiri, bagi yang belum mengurus sertifikasi maka diberikan batas waktu keringanan selama 2 tahun ke depan, hingga tanggal 17 Oktober 2026. Bagi pelaku usaha yang belum melakukan hal tersebut maka akan diberikan sanksi administrasi berupa surat peringatan, hingga penarikan produk dari pasar.
Sementara itu, bukan berarti lantas seluruh produk-produk yang tidak halal tidak bisa dijual dan dikonsumsi di Indonesia. BPJPH sendiri menyatakan bahwa produk-produk non-halal, seperti produk olahan babi misalnya, tetap bisa diimpor dan juga diperjualbelikan di Indonesia, dan mendapat pengecualian. Akan tetapi produk-produk tersebut harus diberikan keterangan tidak halal (bpjph.halal.go.id, 31/10/2024).
Tidak bisa dipungkiri bahwa, penggunaan produk konsumen yang halal tentunya merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari keseharian umat Muslim di seluruh dunia, termasuk juga umat Muslim di Indonesia. Namun, langkah yang diambil untuk mewajibkan sertifikasi produk halal bukan sesuatu yang tepat.
Setiap pelaku usaha tentu memiliki strategi bisnis dan usahanya masing-masing untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya. Kebijakan untuk mewajibkan sertifikasi halal tersebut tentunya merupakan langkah yang membebankan para pelaku usaha untuk mengeluarkan biaya dan waktu tambahan agar produk-produk mereka bisa dijual bebas dan diakses oleh para konsumen.
Bila menurut pelaku usaha label halal di produk mereka merupakan sesuatu yang penting, agar produk yang dijual bisa menjangkau banyak konsumen, maka tanpa harus diwajibkan pun pasti hal ini akan dilakukan. Karena bila tidak, maka mereka yang akan mendapatkan risikonya dengan hanya bisa menjual produk yang mereka buat secara terbatas.