Mohon tunggu...
Haikal Kurniawan
Haikal Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kewajiban Jaminan Sertifikasi Halal dan Regulasi yang Terlalu Ketat

10 Desember 2024   16:45 Diperbarui: 10 Desember 2024   16:45 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/supermarket-stalls-coolers-market-949913/

Wacana mengenai kewajiban sertifikasi halal saat ini merupakan salah satu isu yang menjadi perbincangan di Indonesia. Sebelumnya, ketentuan terkait dengan label halal bagi para pelaku usaha, atau pun importir barang dari luar negeri, masih bersifat opsional.

Dengan kata lain, bila ada pelaku usaha yang menjual produk konsumen tanpa menyertakan label halal, maka tidak apa-apa. Namun, tentunya pasar yang dapat dijangkau oleh para pelaku usaha tersebut menjadi lebih terbatas. Hal ini dikarenakan tidak sedikit konsumen Muslim di Indonesia yang menjadikan label halal sebagai kriteria utama untuk mengonsumsi produk tertentu.

Tetapi terjadi perubahan aturan beberapa waktu lalu. Pada tahun 2017 misalnya, Kementerian Agama Republik Indonesia mendirikan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (The Halal Product Assurance Organizing Body / BPJPH) yang memiliki tugas dan wewenang untuk memastikan peredaran produk konsumen halal yang ada di Indonesia.

BPJPH sendiri menjalankan tugasnya sesuai dengan amant dari UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Berdasarkan aturan yang berlaku, kewajiban sertifikasi halal untuk produk-produk konsumen di Indonesia berlaku terhitung mulai dari tanggal 18 Oktober 2024 (bpjph.halal.go.id, 18/10/2024),

Terkait dengan produk-produk konsumen di Indonesia yang dikenakan kewajiban sertifikasi label halal, berdasarkan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, terdapat tiga kategori. Pertama dan yang paling umum adalah produk-produk makanan dan minuman. Kedua adalah bahan baku & tambagan pangan. Sementara itu, yang ketifa adalah produk hasil penyembelihan dan juga jasa penyembelihan hewan ternak di Indonesia (bpjph.halal.go.id, 18/10/2024).

Bagi pelaku usaha mikro dan menengah di Indonesia sendiri, bagi yang belum mengurus sertifikasi maka diberikan batas waktu keringanan selama 2 tahun ke depan, hingga tanggal 17 Oktober 2026. Bagi pelaku usaha yang belum melakukan hal tersebut maka akan diberikan sanksi administrasi berupa surat peringatan, hingga penarikan produk dari pasar.

Sementara itu, bukan berarti lantas seluruh produk-produk yang tidak halal tidak bisa dijual dan dikonsumsi di Indonesia. BPJPH sendiri menyatakan bahwa produk-produk non-halal, seperti produk olahan babi misalnya, tetap bisa diimpor dan juga diperjualbelikan di Indonesia, dan mendapat pengecualian. Akan tetapi produk-produk tersebut harus diberikan keterangan tidak halal (bpjph.halal.go.id, 31/10/2024).

Tidak bisa dipungkiri bahwa, penggunaan produk konsumen yang halal tentunya merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari keseharian umat Muslim di seluruh dunia, termasuk juga umat Muslim di Indonesia. Namun, langkah yang diambil untuk mewajibkan sertifikasi produk halal bukan sesuatu yang tepat.

Setiap pelaku usaha tentu memiliki strategi bisnis dan usahanya masing-masing untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya. Kebijakan untuk mewajibkan sertifikasi halal tersebut tentunya merupakan langkah yang membebankan para pelaku usaha untuk mengeluarkan biaya dan waktu tambahan agar produk-produk mereka bisa dijual bebas dan diakses oleh para konsumen.

Bila menurut pelaku usaha label halal di produk mereka merupakan sesuatu yang penting, agar produk yang dijual bisa menjangkau banyak konsumen, maka tanpa harus diwajibkan pun pasti hal ini akan dilakukan. Karena bila tidak, maka mereka yang akan mendapatkan risikonya dengan hanya bisa menjual produk yang mereka buat secara terbatas.

Dan hal ini juga berlaku pada sisi konsumen. Konsumen Indonesia dalam hal ini memiliki kebebasan untuk memilih apakah mereka bersedia menggunakan uangnya untuk membeli produk yang berlabel halal atau tidak. Tidak ada yang memaksa mereka, dan oleh karena itu masuknya peran pemerintah dengan dalih untuk "melindungi konsumen" khususnya yang beragama Muslim merupakan hal yang tidak perlu.

Hal ini bisa kita lihat dari beberapa kasus yang terjadi belum lama ini. Beberapa waktu lalu misalnya, sempat menjadi topik pembicaraan di media sosial mengenai salah satu restoran Jepang terkenal di Indonesia yang ternyata belum memiliki label halal, dan hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian pihak (liputan6.com, 4/1/2022).

Adanya kasus tersebut tentunya merupakan salah satu contoh bagaimana konsumen memiliki peran besar untuk menentukan preferensinya masing-masing, sesuai dengan keinginan, kebutuhan, dan juga nilai-nilai yang mereka miliki. Bila pelaku usaha ingin mengembangkan pasar dengan menjangkau konsumen tersebut, maka tanpa peraturan dari pemerintah pun mereka akan memiliki insentif besar untuk mendaftarkan produk mereka untuk mendapatkan label halal dari lembaga yang terpercaya.

Sebagai penutup, label halal tidak bisa dipungkiri merupakan salah satu faktor penting bagi banyak konsumen Muslim di Indonesia ketika mereka memutuskan untuk membeli produk tertentu, khususnya produk makanan dan minuman. Karena itu, bagi banyak pelaku usaha di Indonesia, mendapatkan sertifikasi halal merupakan hal yang penting agar bisa mengembangkan usahanya.

Tetapi, bukan berarti lantas masuknya pemerintah untuk mewajibkan hal tersebut adalah sesuatu yang tepat. Biarkan setiap pelaku usaha dan juga konsumen untuk memiliki kebebasan dalam menentukan strategi bisnis dan juga uang yang mereka miliki untuk membeli dan menggunakan produk tertentu.

Referensi

https://bpjph.halal.go.id/detail/masa-penahapan-usai-kewajiban-sertifikasi-halal-berlaku-mulai-18-oktober-2024

https://bpjph.halal.go.id/detail/kepala-bpjph-kembali-tegaskan-produk-non-halal-dikecualikan-dari-wajib-sertifikasi-halal

https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4849326/restoran-hanamasa-jadi-perdebatan-dan-dipertanyakan-warganet-soal-sertifikat-halal-mui-beri-jawaban

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun