Mohon tunggu...
Haikal Kurniawan
Haikal Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kritik Pelanggan dan Kebebasan Berekspresi di Indonesia

31 Mei 2024   15:36 Diperbarui: 31 Mei 2024   16:03 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/grocery-shopping-supermarket-1232944/

"Pelanggan adalah raja" merupakan mungkin bisa dibilang merupakan salah satu motto bisnis yang paling tua di Indonesia. Para pemilik usaha tidak bisa dipungkiri sangat membutuhkan pelanggan yang membeli produk mereka untuk banyak hal, seperti membayar pekerja, membayar biaya operasional, dan juga melakukan investasi untuk mengembangkan bisnisnya. Di sisi lain, pada pelanggan juga bisa mendapatkan berbagai kebutuhan mereka yang tidak bisa mereka produksi sendiri. Dengan demikian, baik pelanggan dan penjual akan saling mendapat keuntungan dari kegiatan ekonomi yang mereka lakukan.

Harga memiliki peran yang penting untuk memberikan informasi pasar kepada para produsen dan juga pelaku usaha. Ketika barang atau produk tertentu memberikan profit yang tinggi kepada pelaku usaha atau produsen, di saat itu lah para pelaku usaha memiliki informasi mengenai cara untuk mengelola sumber daya dan modal yang mereka miliki di tempat yang tepat, yang bisa mendatangkan banyak pelanggan untuk mengembangkan usaha mereka.

Seorang pelanggan, karena ia menggunakan uang hasil kerja kerasnya untuk membeli suatu produk barang atau jasa, tentu juga memiliki hak untuk menyampaikan kritik atau protes apabila barang atau jasa yang ia terima tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh pelaku usaha Untuk itu, kebebasan berbicara adalah hal yang sangat penting dan esensial, yang mencakup juga hak konsumen untuk memberikan kritik dan juga membagikan pengalamannya kepada publik mengenai produk atau jasa yang ia beli.

Melalui kritik yang disampaikan dan diberikan oleh para pelanggan misalnya, hal ini bukan hanya dapat memberikan masukan kepada pelaku usaha. Hal ini juga sangat bermanfaat untuk memberikan informasi kepada para pelanggan lain agar mereka bisa mengeluarkan uangnya dengan tepat.

Di Indonesia sendiri dengan mudah kita bisa menemukan berbagai kritik dan protes yang disampaikan oleh para pelanggan, terutama di dunia maya. Di berbagai toko daring dan juga media sosial, kita bisa menemukan dengan mudah para pelanggan yang menyampaikan keluhan dan kritik terhadap suatu produk barang atau jasa yang dibelinya.

Namun, yang amat disayangkan, tidak jarang berbagai kritik dan keluhan tersebut justru disambut dengan ancaman pidana, atas dasar pencemaran nama baik. Umumnya, dasar hukum yang kerap dipakai oleh pemilik usaha yang merasa nama baiknya dicemarkan melalui kritik atau keluhan pelanggannya adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), terutama bila kritik dan keluhan tersebut disampaikan melalui dunia maya (hukumonline.com, 5/1/2024).

Undang-Undang ITE memang merupakan kerangka hukum yang dimaksudkan untuk menjaga publik dari hal-hal negatif dan juga berbagai tindak kejahatan yang ada di dunia maya. Sayangnya, karena ada berbagai pasal karet yang multiinterpretasi, maka tidak jarang Undang-Undang tersebut disalahgunakan untuk membungkam kritik dan keluhan, termasuk juga kritik yang disampaikan oleh para pelanggan mengenai produk yang mereka beli.

Beberapa kasus yang pernah terjadi, diantaranya yang muncul beberapa waktu lalu, yakni ketika ada seorang pengguna media sosial yang mengkritik sebuah perusahaan penyedia minuman teh di Indonesia. Pengguna media sosial tersebut memberi komentar melalui akunnya bahwa teh yang disajikan terlalu manis.

Namun, kritik tersebut justru disambut dengan somasi dari perusahaan minuman teh tersebut, dengan menjadikan Undang-Undang ITE sebagai dasar hukumnya. Ucapan kritik tersebut dianggap sebagai ujaran penghinaan yang berpotensi bisa diproses secara hukum dan dipidana (theconversation.com, 29/9/2022).

Kasus lain yang terjadi beberapa tahun lalu misalnya adalah kejadian yang menimpa salah satu penghuni apartemen di kawasan Jakarta. Penghuni apartemen tersebut menulis blog terkait dengan kritik dan juga keluahan yang ia alami mengenai apartemen yang ditinggalinya. Namun, yang ia justru harus berurusan dengan hukum, karena pihak apartemen yang dikritiknya melaporkan dirinya atas tuduhan pencemaran nama baik (cnnindonesia.com, 18/8/2020).

Adanya berbagai kasus ini tentu merupakan hal yang sangat memprihatinkan dan harus segera diatasi. Kalau kasus seperti ini kerap dibiarkan, bukan tidak mungkin para pelanggan tidak akan lagi berani untuk menyampaikan kritik, atau mungkin bahkan sekedar menceritakan pengalamannya, karena adanya ancaman sanksi hukum dengan tuduhan penghinaan dan pencemaran nama baik.

Sebagai penutup, undang-undang ITE merupakan salah satu produk hukum yang sangat penting untuk melindungi masyarakat dari berbagai praktik kejahatan di dunia maya, seperti penipuan, pencurian identitas, dan lain sebagainya. Tetapi sayangnya, adanya pasal karet yang tercantum dalam undang-undang tersebut justru digunakan oleh sebagian pihak.

Ada beberapa reformasi aturan yang bisa dilakukan terhadap undang-undang ITE. Diantaranya misalnya adalah mengganti hukum bagi pelanggar pencemaran nama baik dari hukum pidana ke hukum perdata, sehingga mereka tidak dimasukkan ke penjara. Selain itu, adanya pasal karet yang tidak jelas juga harus diperjelas, misalnya pencemaran nama baik (defamation) hanya bisa dikenakan kepada seseorang yang memang benar-benar terbukti telah menyebarkan berita palsu yang menyebabkan kerugian material secara nyata kepada produsen atau pelaku usaha tertentu.

Untuk itu, adanya reformasi dan perubahan undang-undang tersebut merupakan sesuatu yang penting, salah satunya untuk memastikan kebebasan berbicara dapat terjaga di Indonesia. Jangan sampai, undang-undang yang dimaksudkan untuk hal yang baik, yakni melindungi warga negara, justru menjadi kontraproduktif dan justru menjadi alat untuk membungkam masyarakat.

Referensi

https://www.hukumonline.com/berita/a/pasal-karet-dalam-uu-ite-terbaru-masih-mengancam-masyarakat-yang-kritis-lt6597e40be9b8c/

https://theconversation.com/kritik-berujung-somasi-mengingatkan-kembali-bahaya-pembungkaman-kebebasan-berpendapat-terhadap-konsumen-191412

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200813164546-20-535486/luluh-lantak-kritik-konsumen-dihajar-korporasi 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun