Rokok saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan publik berbagai negara di seluruh dunia. Di dalam satu batang rokok, terkandung berbagai zat berbahaya yang dapat membawa berbagai penyakit kronis, seperti kanker dan penyakit jantung, yang tentunya memiliki dampak yang sangat besar tidak hanya bagi individu yang menggunakannya tetapi juga secara sosial.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa, di Indonesia sendiri, rokok juga merupakan salah satu penyebab berbagai penyakit kronis yang dialami oleh saudara-saudara sebangsa kita. Di Indonesia sendiri ada 112 juta jumlah perokok aktif, dan merupakan salah satu negara dengan jumlah perokok tertinggi di dunia (databoks.katadata.co.id, 05/06/2023).
Angka 112 juta sendiri tentu bukan angka yang kecil, dan sudah sebaiknya dapat kita tekan agar jumlah tersebut berkurang secara drastis. Karena banyaknya angka tersebut, tentunya biaya kesehatan yang disebabkan oleh rokok di Indonesia juga tidak kecil. Pada tahun 2019 lalu misalnya, diestimasi penyakit yang disebabkan oleh rokok telah menelan biaya hingga 16,3 triliun rupiah (kemkes.go.id, 29/4/2021).
Karena memiliki dampak yang sangat berbahaya, maka tidak mengherankan berbagai negara di dunia memberlakukan serangkaian kebijakan yang ditujukan untuk menanggulangi dampak tersebut. Kebijakan tersebut diberlakukan dalam berbagai bentuk, mulai dari mengenakan biaya cukai yang tinggi, mengatur peredaran dan penjulaan produk-produk hasil olahan temabaku, hingga pelarangan total seluruh kegiatan produksi dan konsumsi rokok.
Negara kita sendiri sudah memberlakukan berbagai kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi jumlah konsumen rokok. Beberapa diantaranya adalah kebijakan cukai produk hasil olahan tembakau yang semakin meningkat, dan juga aturan kewajiban bagi para produsen untuk menunjukkan bahaya rokok di depan setiap bungkus rokok yang dijual di berbagai tempat.
Adanya berbagai upaya tersebut sekilas memang terlihat berpotensi dapat menggurangi jumlah perokok. Diharapkan, jika harga rokok semakin mahal, dan edukasi publik melalui gambar yang menunjukkan bahaya rokok semakin gencar, maka insentif seseorang untuk menghisap produk hasil tembakau tersebut dapat semakin berkurang, dan akan dapat semakin menekan jumlah perokok di Indonesia.
Tetapi, pada kenyataannya, jumlah perokok di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011 misalnya, ada sekitar 60,3 juta perokok aktif di Indonesia. Tetapi, dalam jangka waktu 10 tahun, pada tahun 2021, jumlah perokok di Indonesia meningkat 8,8 juta orang menjadi 69,1 juta (kemkes.go.id, 3/6/2022).
Hal ini tentu bukan sesuatu yang mengherankan, mengingat bahwa rokok mengandung nikotin yang membuat para penggunanya mengalami kecanduan. Untuk mengatasi kecanduan tentu tidak bisa hanya melalui peningkatan harga dan juga sosialisasi bahaya dari produk tersebut.
Salah satu cara yang saat ini digunakan untuk menanggulangi dampak negatif dari rokok, seperti Inggris misalnya, adalah melalui produk-produk alternatif yang jauh lebih tidak berbahaya untuk menggantikan rokok. Diantaranya yang cukup sering dipakai adalah rokok elektrik, atau yang dikenal dengan nama vape.
Berdasarkan penelitian dari lembaga kesehatan Inggris misalnya, vape atau rokok elektrik merupakan produk yang 95% jauh lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar. Maka dari itu, National Health Service (NHS) Inggris misalnya, menyatakan bahwa vape merupakan alat yang bisa digunakan oleh para perokok untuk membantu mereka untuk berhenti merokok (nhs.uk, 10/10/2022).
Namun, penggunaan vape sebagai alat yang dapat digunakan untuk membantu perokok untuk berhenti merokok sendiri masih mengalami banyak tantangan di Indonesia. Hal ini disebabkan berbagai hal, mulai dari informasi yang kurang diketahui oleh masyarakat, maupun banyak masyarakat yang lebih terbiasa menggunakan rokok konvensional yang dibakar dibandingkan dengan rokok elektrik.
Untuk itu peran berbagai lapisan masyarakat untuk membantu mensukseskan upaya untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia adalah hal yang sangat penting, dan tidak hanya oleh lembaga pemerintah. Salah satunya adalah organisasi masyarakat yang memiliki jumlah anggota yang besar.
Organisasi masyarkaat, terlebih lagi yang sudah memiliki jutaan anggota, memiliki potensi yang sangat besar untuk mensukseskan upaya tersebut. Berita baiknya, sudah ada organisasi yang mendukung upaya tersebut, salah satunya adalah organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU).
NU sendiri merupakan organisasi massa Islam terbesar, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyampaikan misalnya, mendukung kebijakan yang berbasis ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan rokok (republika.co.id, 18/5/2023).
Lakpesdam PBNU sendiri juga menyampaikan bahwa, pengurangan resiko tembakau dengan memanfaatkan produk tembakau alternatif di Indonesia sangat penting untuk dimaksimalkan. Hal ini karena jumlah perokok di Indonesia sangat tinggi, dan dibutuhkan solusi untuk mengatasi hal tersebut (vapemagz.co.id, 6/11/2023).
Sebagai penutup, adanya dukungan untuk langkah harm reduction untuk mengurangi dampak negatif rokok, dan juga dukungan untuk melakukan riset dan penelitian, dari organisasi yang sangat besar seperti NU tentu merupakan sesuatu yang harus kita apresiasi. Dengan demikian, diharapkan upaya harm reduction di Indonesia dapat semakin sukses dan ke depan jumlah perokok di Indonesia dapat semakin berkurang.
Â
Referensi
https://p2ptm.kemkes.go.id/tag/optimalisasi-pajak-rokok-daerah-untuk-pelayanan-kesehatan
https://www.nhs.uk/live-well/quit-smoking/using-e-cigarettes-to-stop-smoking/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H