Sudah menjadi rahasia umum bahwa, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah perokok aktif terbanyak di dunia. Berdasarkan data dari Global Adult Tobacco Survey, pada tahun 2021 lalu misalnya, jumlah perokok dewasa di negara kita berjumlah sekitar 69,1 juta jiwa (sehatnegeriku.kemkes.go.id).
Angka ini tentu bukan jumlah yang sangat kecil. Jumlah perokok aktif yang besar di sebuah negara tentunya juga akan membawa berbagai masalah kesehatan publik yang besar seperti biaya kesehatan publik yang berpotensi besar akan membengkak yang disebabkan oleh berbagai penyakit kronis akibat konsumsi rokok.
Selain itu, yang mendapatkan penyakit kronis dari rokok tentunya juga bukan hanya mereka yang menjadi perokok aktif. Orang-orang yang tinggal dan berada di sekitar para perokok juga berpotensi dapat mengalami berbagai penyakit yang disebabkan oleh asap rokok yang mereka hisap, baik itu keluarga hingga masyarakat umum.
Untuk itu, jumlah tingginya populasi perokok di Indonesia bukan masalah yang kecil, dan harus dapat segera diselesaikan. Bila hal ini tidak diselesaikan, maka tentunya kesehatan publik masyarakat Indonesia bisa semakin terancam, dan juga akan semakin meningkatkan biaya kesehatan publik.
Harus diakui bahwa, permasalahan kesehatan yang disebabkan karena rokok tentu bukan hanya dialami oleh Indonesia saja, tetapi juga berbagai negara lain di seluruh dunia. Oleh karena itu, berbagai negara telah melakukan banyak upaya yang ditujukan untuk menanggulangi permasalahan tersebut, mulai dari peraturan yang membatasi peredaran produk-produk rokok secara ketat, hingga peraturan yang melarang total berbagai kegiatan produksi dan konsumsi rokok.
Indonesia sendiri sudah memiliki berbagai aturan yang ditujukan untuk mengurangi insentif seseorang untuk merokok, salah satunya adalah kebijakan cukai. Selain itu, beberapa tahun lalu misalnya, pemerintah Indonesia menerapkan aturan yang mewajibkan para produsen rokok untuk mencantumkan gambar yang menunjukkan dampak berbahaya dari konsumsi rokok terhadap kesehatan (antaranews.com, 20/6/2014).
Sehubungan dengan aturan tersebut, beberapa tahun lalu, Indonesia juga mengeluarkan regulasi untuk mengatur peredaran rokok di dalam negeri, salah satunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 tahun 2012. Aturan tersebut mmeberikan serangkaian regulasi mengenai penjualan produk-produk rokok, seperti larangan menjual rokok melalui vending machine, serta kewajiban mencantumkan bahaya rokok dan juga pembatasan hanya boleh menjual maksimum 20 batang rokok per bungkus.
Adanya aturan tersebut tentu bisa dipahami mengingat tingginya jumlah perokok yang ada di Indonesia. Bila jumlah perokok ini semakin meningkat, maka tentunya hal tersebut akan semakin membahayakan kesehatan publik dan akan semakin membengkakkan biaya layanan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah.
Terkait dengan peraturan tersebut, beberapa waktu lalu, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk merevisi PP tentang regulasi produk tembakau tersebut. Beberapa revisi dari aturan tersebut diantaranya adalah mengenai pelarangan iklan, promosi, memperbesar gambar peringatan dalam bungkus rokok, dan juga pelarangan bagi para penjual untuk menjual rokok secara batangan (cnnindonesia.com, 27/01/2023).
Tetapi, tidak hanya itu. Adanya revisi tersebut juga berpotensi akan menyamaratakan regulasi yang dikenakan kepada rokok konvensional yang dibakar, dengan rokok elektrik. Sebelumnya, vape, yang masuk dalam golongan produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) tidak termasuk dalam PP tersebut (ekonomi.bisnis.com, 28/7/2022).
Hal ini tentu merupakan perkembangan yang mengkhawatirkan. Bila vape atau rokok elektrik diregulasi dengan metode dan cara yang sama dengan rokok konvensional yang dibakar, maka tidak mustahil hal ini akan semakin mempersulit konsumen dalam mendapatkan produk vape. Dengan demikian, para perokok akan semakin sulit mendapatkan produk nikotin alternatif yang dapat membantu mereka mengurangi hingga menghentikan kebiasaan merokoknya.
Tidak hanya itu, wacana mengenai pelarangan vape di Indonesia juga merupakan hal yang semapt disampaikan oleh berbagai pihak di pemerintahan. Beberapa waktu lalu misalnya, Wakil Presiden Maaruf Amin mengatakan bahwa, bila vape atau rokok elektrik terbukti berbahaya, maka pasti akan dilarang oleh pemerintah (cnnindonesia.com, 27/01/2023).
Padahal, laporan yang dikeluarkan oleh lembaga kesehatan dari berbagai negara menunjukkan bahwa, vape atau rokok elektrik merupakan produk yang jauh lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar. Pada tahun 2015 lalu misalnya, lembaga kesehatan publik asal Inggris, Public Health England (PHE), mengeluarkan laporan bahwa vape atau rokok elektrik merupakan produk yang 95% jauh lebih tidak berbahaya bila dibandingkan dengan rokok konvensional yang dibakar (theguardian.com, 28/12/2018).
Tidak hanya itu, vape atau rokok elektrik juga terbukti merupakan produk yang dapat membantu para perokok untuk menghentikan kebiasaan merokoknya yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Vape atau rokok elektrik misalnya, merupakan produk yang dua kali lipat lebih efektif untuk membantu perokok untuk berhenti merokok dibandingkan dengan produk nikotin alternatif lainnya, seperti permen karet nikotin (nhs.uk, 2022),
Oleh karena itu, sangat penting bagi para pembuat kebijakan untuk juga melibatkan para konsumen dalam formulasi kebijakan tekait regulasi produk-produk tembakau, seperti vape dan rokok elektrik. Hal ini dikarenakan para konsumen itu lah yang akan paling merasakan dampak dari regulasi tersebut. Jangan sampai, kebijakan yang didasari pada niat baik, yakni untuk menanggulangi dampak negatif dari konsumsi rokok, menjadi sesuatu yang kontra produktif dan membawa dampak yang negatif terhadap kesehatan publik.
Referensi
https://www.antaranews.com/video/12974/kewajiban-pencantuman-gambar-bahaya-rokok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H