Mohon tunggu...
Haidir Aly
Haidir Aly Mohon Tunggu... Lainnya - Newbie Tulis Menulis

Pop-culture enthusiast yang sangat terobsesi punya potongan rambut milik Thomas Shelby.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Keterkenalan dan Legendary Status di Era Konektivitas

4 Juli 2020   09:58 Diperbarui: 4 Juli 2020   10:44 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi ceritanya, beberapa waktu lalu saya sempat melamar pekerjaan sebagai Penyiar di salah satu stasiun radio lokal di kota saya berkuliah. Singkat cerita, saya berhasil masuk seleksi ke 5 besar dan lolos ke tahap interview. Saat interview, saya "dites" buat menebak beberapa lagu yang diputar sama interviewer. Mungkin ada sekitar 10 lagu yang diputar, dan dari 10 lagu itu, mungkin saya cuma bisa menebak dua lagu saja, itu pun saya harus mikir berat buat mengingat atau sekedar nebak judul lagu itu. 

Alhasil dalam proses interview sepanjang itu, saya cuma senyum-senyum meringis sambil bilang, "Nggak tahu, Mas" dan berdalih kalau referensi musik saya memang minim. Entah kenapa saya juga bingung kenapa saya bisa lolos dari tahap interview ke tahap training, walaupun kesempatan itu juga nggak saya ambil. Kenapa nggak saya ambil kesempatan kerjanya? Itu cerita lain hari, tapi, kali ini saya pengin cerita soal hal yang lain.

Dari pengalaman dites tebak lagu dalam interview itu, saya jadi sadar bahwa era digital, sosial media, dan konektivitas yang semakin besar telah mengubah perspektif saya soal keterkenalan. Menurut saya, keterkenalan adalah suatu hal yang relatif dan bias di era konektivitas seperti sekarang. Saya mungkin tahu band Neck Deep dan menganggap mereka adalah band terkenal, tapi belum tentu anda, atau teman saya juga tahu.

Saya tahu Atta Halilintar dan menganggapnya terkenal, tapi apakah generasi orang tua saya tahu dan nganggep Atta Halilintar juga terkenal? Jawabannya ya enggak, atau paling tidak, belum tentu. Karena referensi mereka cuma sebesar "kolam", kecil dan terbatas. Sedangkan di era sekarang, referensi yang tadinya hanya sebesar kolam itu, sekarang jadi kayak "lautan" yang gede banget dan nggak tahu ujungnya dimana, dan kita bebas mau explore atau "berenang" ke arah mana.

Dulu sebelum internet segede sekarang, orang-orang bisa setuju kalau The Beatles, Queen, dan Nirvana itu adalah legenda, karena medianya masih sentris, orang-orang cuma dikasih satu pilihan tontonan dan musik yang itu-itu aja, ya jelas aja mereka akan dianggap legenda. Referensi dan definisi legenda sebelum ada internet itu seragam, karena media yang disediakan cuma satu dan nggak ada pilihan alternatif lain. Cuma satu yang orang tonton, cuma satu yang orang dengerin, dan cuma satu yang orang ikutin. Tapi kalau sekarang, alternatif medianya udah makin banyak, pilihannya makin beragam, persebarannya makin sporadik, dan niche-nya makin jelas. Akibatnya, kita bisa nonton apapun yang kita mau tonton, dan kita bisa terpatri sama apapun pilihan yang kita konsumsi. Dampaknya, fanatisme terhadap idola sekarang jadi makin berlebihan.

Internet dan Pengaruhnya terhadap Legendary Status

Apakah internet dan era konektivitas membuat level legendary status mengalami pergeseran makna dan bahkan udah nggak bisa dicapai di era sekarang? Sedangkan tantangannya, kalau ada seseorang mengklaim bahwa dirinya legenda, maka setidaknya harus ada "verifikasi" atau persetujuan dari semua orang yang menganggap dia adalah legenda, tapi pertanyaannya, bagaimana dia bisa mendapatkan persetujuan dari semua orang, sedangkan internet membuat referensi seseorang menjadi mikro? 

Dengan era sekarang, kita setuju seseorang terkenal, bahkan dianggap legenda itu dengan parameter dan indikator seperti apa? Pacar saya ngefans banget sama selebgram Tasya Farasya dan nganggep kalo Mbak Tasya ini adalah orang terkenal. Tapi, saya? Saya baru tahu kalau Mbak Tasya itu beauty influencer setelah pacar saya ngotot jelasin panjang lebar . Anak-anak seusia SD-SMP mungkin menganggap Atta Halilintar itu seorang legenda, karena memang niche dan pasar spesifik audiens Atta ada disitu. Tapi kan saya nggak sepakat sama mereka.

Dulu saya pernah ngefans berat sama Avenged Sevenfold dan menganggap bahwa mereka adalah legenda, dan itu zaman dimana internet belum segede sekarang, referensi dan selera musik saya cuma terbatas sama Avenged Sevenfold. Tapi makin kesini, dengan internet yang makin mudah aksesnya dan persebarannya makin sporadik, saya jadi sadar kalau saya punya pilihan alternatif lain selain Avenged Sevenfold, pelan-pelan saya udah nggak dengerin Avenged Sevenfold lagi dan udah nggak nganggep mereka legenda. Saya nggak tahu kalau hal itu adalah salah satu kedewasaan dalam berselera musik atau bukan, mungkin cuma sayanya aja yang bosenan, tapi poin saya adalah, internet telah mengubah perspektif orang tentang bagaimana melihat keterkenalan dan status legenda.

Saya nganggep Pandji Pragiwaksono adalah legenda, legenda di bidang Stand Up Comedy di Indonesia, beliau adalah komika level atas dan termasuk salah satu yang pertama kali memperkenalkan genre Stand Up yang tergolong baru dalam berkomedi di Indonesia dan udah beberapa kali menjalankan tur keliling dunia.

Makin kesini, Stand Up Comedy di Indonesia makin gede komunitasnya, makin banyak pelakunya, jadi komika-komika level bawah itu susah banget buat dapet kesempatan menyandang status legenda, atau bahkan cuma status terkenal. Karena udah makin banyak pelakunya, persebarannya udah acak, dan yang bisa dilakukan adalah bikin "kolam" mereka sendiri dengan penggemar-penggemar mereka yang mikro dan spesifik. Sekarang, semua orang bisa menjadi terkenal dan dianggap legenda dengan cara mereka sendiri dan dengan "kolam" mereka sendiri. Mereka adalah "a big fish in a small pond". Mereka bikin kolam di tengah-tengah lautan yang sangat luas (gimana ceritanya?).

Menurut anabel (analisa gembel) saya, mungkin seseorang dengan susah payahnya masih bisa mencapai legendary status di era sekarang hanya dengan tiga sebab; karena dia yang pertama mulai, karena dia udah lama menguasai bidang itu, yang terakhir karena cuma dia pelakunya di bidang itu. Mungkin, nih, ya, mungkin. 

Soal referensi dan selera musik saya, sebenarnya saya nggak punya preferensi khusus dan nggak terbatas genre, tahun rilis, siapa musisinya, dan lain-lain. Selama sebuah lagu itu menurut saya ear-catchy dan langsung nempel di otak saya, ya saya dengerin. Kalau anda lihat playlist Spotify saya, mungkin anda bakal heran. Di sisi lain saya dengerin Dream Theater, Bullet for My Valentine, dan Chelsea Grin. Tapi di sisi lain juga ada Blackpink, Taylor Swift, dan SNSD. Iya, memang serandom itu.

Artikel ini pernah terbit di Medium dan mahasiswabanget.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun