Lebih dari itu, ibadah haji–kecuali barangkali bagi orang-orang yang sejak sebelum berhaji telah mencapai suatu tataran (maqam) spiritual yang tinggi–bukanlah puncak perjuangan keberagaan seseorang. Ia “hanyalah” awal, suatu titik balik bagi perjalanan spiritual lebih lanjut. Ia adalah suatu modal tambahan yang amat berarti setelah sebelumnya seseorang mengalami tekor atau kebangkrutan dalam “perdagangannya dengan Allah”.
Dengan modal ibadah haji yang mabrur diharapkan terbentang jalan yang lebih rata bagi peraihan kesuksesan-kesuksesan dalam upaya transformasi spiritual dan akhlak tersebut. Alhasil, bagi suatu haji mabrur ada pendahuluan dan ada pula kelanjutan. Ia bukan obat mujarab sekali telan, baik bagi orang-orang yang mengenali kekurangan-kekurangan dirinya, apalagi bagi orang-orang yang melepaskan sama sekali kendali atas nafsu-nafsu-rendah keduniawiannya.
Pada suatu musim haji yang lain, seseorang datang kepada Imam ‘Ali Zayn al-‘Abidin dan berkata: “Alangkah banyaknya teriakan dan alangkah sedikitnya orang berhaji.” Imam ‘Ali pun menyahut: “Bukan begitu. Tapi katakanlah: ‘Alangkah sedikitnya orang yang berhaji dan alangkah banyaknya teriakan.'” Setelah itu, sang Imam menyingkapkan kepada orang tersebut keadaan batin orang-orang yang sedang berhaji itu. Ternyata sebagian besar di antara mereka tak lebih adalah sekumpulan binatang yang berkeliaran di tanah Arafah, sementara yang berbentuk manusia sangat sedikit sekali. Nastaghfirul-Laahal-‘Adhiim.
Tulisan ini pernah dimuat di Tempo, 11 Februari 2003.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H