Mohon tunggu...
Elvi Ansori
Elvi Ansori Mohon Tunggu... -

Suka Menulis, berbagi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Puyer

4 November 2016   18:04 Diperbarui: 4 November 2016   18:15 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seluruh pakaian bapak basah kuyup, ia dorong becaknya ke teras samping rumah, kemudian dia buka bajunya sebelum masuk rumah, rumah yang berlantaikan tanah, tidak rata, terasa basah dan sedikit becek saat turun hujan, apa lagi saat hujan deras dengan angin kencang seperti ini. Bapak berjalan menuju kamar mandi di belakang rumah, sebenarnya tidak layak disebut kamar mandi, hanya dua buah drum besar yang ditutup dengan seng bekas sekelilingnya. Tak lama kemudian bapak keluar dengan sarung menyelimuti tubuhnya. Dia berhenti sejenak di sebelahku yang sedang membuatkan kopi untuk bapak.

“Ibumu mana Ris?”tanya bapak pelan.

“Ke pasar pak, beli bahan untuk jualan besok,”jawabku sambil meletakkan kopi yang baru aku seduh di atas meja dekat televise empat belas inci yang gambarnya sering hilang. Kalau tidak dipukul-pukul, kadang-kadang gambarnya tidak mau normal.

“Ris!”teriak bapak dari dalam kamar. Aku langsung masuk ke kamar bapak, bapak sedang berbaring dengan diselimuti sarung.

“Belikan Bapak puyer,”katanya sambil memberikan aku uang kertas nominal seribu rupiah. Aku langsung mengambil uang yang diserahkan bapak, ambil payung dan lari ke warung. Dua bungkus puyer bergambar macan aku belikan untuk bapak. Puyer inilah yang sering bapak minum kalau merasa demam atau sakit gigi, selama puluhan tahun puyer bergambar macan itu selalu ada di kantong bapak atau di tas yang ada di belakang jok becak. Ak\u juga kadang minum puyer itu kalau sedang kena demam atau gusiku sedang bengkak, asam-asam pahit rasanya. Sampai di rumah langsung aku seduh puyer itu dengan seperempat gelas air panas, aku aduk dengan sendok, lalu aku berikan kepada bapak yang sedang berusaha bangkit untuk duduk.

“Badan bapak panas,”kataku sambil mengurut betisnya. Betis bapak cukup keras dengan otot-otot yang menonjol, khas betis orang yang sering mengayuh becak.

“Iya Ris, agak meriang, tolong selimuti bapak ya, yang tebal, biar keluar keringat,”ujar bapak sambil membaringkan tubuh, menyelimuti tubuhnya dengan sarung. Aku tambah selimut di atasnya, kemudian kiri dan kanan tubuhnya aku beri bantal. Seperti itulah biasanya kalau bapak sedang merasa tidak enak badan, minum puyer kemudian tidur dengan badan diselubungi sarung dan selimut tebal. Beberapa jam kemudian bapak akan bangun dengan tubuh penuh keringat dan merasa segar lagi.

***

Bapak tidak narik becak lagi, bukan karena sudah tua dan tak punya tenaga, tapi kami, anak-anaknya yang melarang bapak narik becak. Kami ingin bapak istirahat, bermain dengan cucu-cucu dan mengisi waktu tuanya dengan kegiatan yang ringan. Bapak dan ibu tinggal sama kakakku yang paling tua. Ibu juga tidak jualan di kantin lagi. Kami sudah bekerja semua, sudah bisa mencukupi kebutuhan bapak dan ibu, walaupun dengan gotong royong. Tapi kadang-kadang bapak bandel, diam-diam di dorong becaknya, kemudian mangkal di simpang Lima. Tempat bapak biasanya mangkal waktu masih menarik becak. Adikku yang bungsu biasanya yang paling marah kalau tahu bapak masih narik becak. Malu katanya, malu melihat bapaknya narik becak, sedangkan anak-anaknya sudah bekerja semua, ada yang sudah jadi dosen dan ada yang punya usaha sendiri. Apa lagi usia bapak juga semakin tua.

“Bapak cuma ingin kumpul sama teman-teman bapak kok,”kata bapak saat adikku protes karena bapak kepergok mangkal di Simpang Lima oleh adik bungsuku. Bapak benar-benar tidak narik becak lagi ketika becaknya dijual adik bungsuku.

Bapak mulai sering sakit-sakitan, kakakku membawa bapak ke klinik langganan, hasil pemeriksaan membuat bapak harus menghindari obat-obat pasaran, yang boleh diminum adalah obat dari resep dokter. Tapi bapak, lagi-lagi bandel, diam-diam membeli sendiri puyer bergambar macan, obat kesayangannya secara diam-diam dan dia minum saat dia merasa tak enak badan. Ibu sering melakukan sweping atau razia,  ibu geledah setiap tempat yang diduga jadi tempat penyimpanan puyer persediaan bapak, ibu tahu dan sangat paham, bapak kalau beli puyer pasti dalam jumlah banyak, serenteng istilah ibuku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun