“Ris, cepat ke rumah kakakmu, Bapakmu sedang kritis,”kata Hamid dengan wajah cemas dan nafas agak tersengal. Rasa kaget tak bisa kusembunyikan. Bukankah sejam yang lalu bapak sudah mendingan kondisinya. Segera aku tutup pintu dan menggemboknya. Dengan tanda tanya berkecamuk di kepala aku menunggu angkot. Kurasakan angkot begitu pelan dan lama hingga perasaan cemas semakin tak menentu.
Sampai di rumah kakakku, aku disambut istriku, wajahnya sangat cemas, ada butiran air di sudut matanya. Aku segera ke kamar bapak, di kamar sudah ada kakak-kakakku, adik bungsuku dan ibu. Bapak terbaring dengan mata terpejam nafasnya terlihat pelan dan satu-satu. Kakak tertuaku sedang membisikkan kalimat tauhid di telinga Bapak. Aku mendekat dan mengelus kening bapak.
“Pak, ini Aris sudah datang,”ujar ibuku pelan, dekat sekali dengan telinga bapak. Bapak ku lihat membuka mata sedikit, kemudian mengambil nafas panjang dengan badan sedikit terangkat, kemudian tubuhnya rebah dengan pelan, karena ditopang tangan kakakku. Terdengar isak tangis yang hampir bersamaan dari kakak dan adik bungsuku, bahkan adik bungsuku menjerit histeris memanggil-manggil bapak.
“Inna Lillahi wa Inna Ilahi Rojiuun, Bapak sudah sampai takdirnya,”kata kakak tertuaku pelan, sambil mencium kening Bapak. Aku hanya tertegun dan tak mampu membendung air mata, aku tak pernah mengira, ucapan tentang puyer terakhir itu sebagai pertanda.
Bengkulu 04 November 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H