Mohon tunggu...
Elvi Ansori
Elvi Ansori Mohon Tunggu... -

Suka Menulis, berbagi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sekujang, Halloween ala Melayu

8 September 2016   20:59 Diperbarui: 9 September 2016   13:32 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila Amerika dan beberapa Negara Eropa memiliki perayaan Halloween, maka di Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu ada perayaan Sekujang

Sekujang merupakan tradisi masyarakat Serawai yang dilakukan setiap tahun pada malam Rayo Pertamo (Lebaran Pertama). Tradisi Sekujang dilakukan sebagai upaya mendo’akan 'jemo putus'. Jemo putus adalah orang yang meninggal tanpa memiliki keturunan. Termasuk di dalamnya adalah para ibu yang meninggal saat melahirkan anak pertama, waria, orang yang mati dalam keadaan membujang, anak-anak yang meninggal, bahkan orang yang mati tanpa diketahui keberadaannya dan tidak memiliki kubur (misalnyanya mati hanyut, hilang di tengah hutan, di laut, jatuh ke jurang dan tidak ditemukan).

Dokpri
Dokpri
Sekujang sendiri sebenarnya merujuk pada arwah-arwah yang tidak mendapat doa dari keturunan karena tidak diziarahi kuburnya (diyakini dalam kepercayaan masyarakat Serawai). Roh atau arwah mereka diyakini akan kembali ke kampung pada saat Lebaran Kedua. Roh-roh ini jika tidak mendapat doa, dipercaya akan mencegah melekatnya benih yang menghasilkan bunga dan buah-buahan (mencegah proses pembuahan pada tumbuh-tumbuhan) seperti durian, manggis, petai, rambutan dan lain-lain. Bunga-bunga itu akan gugur dan tidak ada buah yang bisa dipanen. Tradisi ini merupakan wujud doa masyarakat agar arwah-arwah tersebut tenang dan tidak mengganggu tanaman mereka.

Layaknya Festival Halloween, para peserta tradisi Sekujang merupakan orang-orang yang berbalut kostum tertentu yang disebut sekura. Para sekura ini merupakan lambang arwah Sekujang. Pada mulanya kostum sekura hanya terbuat dari ijuk untuk arwah Pak Pandir dan karisiek (pelepah pisang kering) untuk istrinya. Sekura menggunakan topeng yang disebut sekura dayi yang terbuat dari upin pinang atau kayu.

Pada saat ini, sejalan dengan perkembangan dan makna jemo putus, maka jumlah dan jenis sekura ikut berkembang, berbentuk ibu hamil, pocong anak-anak dan waria.

Para sekura ini akan berkeliling kampong untuk meminta kue ke rumah-rumah penduduk. Sebelum berkeliling kampong, tetuo Sekujang akan meminta izin kepada Puyang Mulo Jadi untuk melepas para sekura. Lalu untuk menghindarkan bahaya, digunakan air tepung setawar sebagai pelindung mereka dari rasa gerah, gatal karena ijuk, dan bahaya tersulut api. Setelah itu barulah mereka dilepas dengan terlebih dahulu melakukan Tari Nelas.

Para sekura akan menyanyikan 'Ratapan Sekujang' sepanjang perjalanan mereka. 'Ratapan Sekujang' berupa lima hingga tujuh bait pantun yang bergantung dengan respons tuan rumah. Sebagai balasan kue yang diberikan, tuan rumah dapat meminta sekura untuk melakukan sesuatu, seperti bernyanyi, menari, berpantun, bersilat atau minta didoakan keselamatan dan kesembuhan. Kue-kue yang terkumpul dibawa ke masjid untuk didoakan imam atau perangkat desa.

Sekujang, sebuah tradisi unik dan perlu dilestarikan.

Dokpri
Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun