Mohon tunggu...
Lentera Kedawung
Lentera Kedawung Mohon Tunggu... Mahasiswa - KKN KOLABORASI UIN SUNAN KALIJAGA DAN IAIN KEDIRI

Kelompok 1 dan 332

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Nabi Kok Begitu, Kita Kok Begini?!

18 Mei 2023   14:00 Diperbarui: 18 Mei 2023   14:03 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Jalaluddin Rumi adalah sufi terbesar persia. Matsnawi, karya utamanya itu disebut oleh E. Browne sebagai puisi terbaik sepanjang masa. "Siapa pun yang membacanya pagi dan sore, ia akan selamat api neraka," kata Molla Jami. "Ia adalah Quran berbahasa pahlavi (Persia Kuno)," kata Syaikh Bahaibudayawan Muslim Persia abad ke-16. Karena begitu kuatnya pengaruh Al-Qur'an dalam puisi-puisi Rumi. Kata Muhammad Iqbal, filsuf sekaligus penyair Persia abad ke-20, "Rumi benar-benar wujud cinta dan api, dan aku adalah debu dari api itu."

            Tentu kita bukan sedang akan memuji Rumi. Namum sosok Rumi, yang begitu memukau di mata para filsuf, penyair, budayawan, dan tentu saja kita, dalam salah satu penggalan syairnya pernah menuliskan, "Aku adalah debu di jalan Muhammad, Al-Musthafa." Dia hanyalah debu di jalan Sang Nabi. Maka, betapa agung Nabi. Sehingga tulis Rumi dalam bait ke 2737 Matsnawi, "Bersama Muhammad cinta temukan pasangan. Sebab cinta jualah Tuhan berfirman: Laulaka." Kata Allah dalam Hadis Qudsi, "Laulaka! Seandainya bukan karenamu (wahai Nabi Muhammad), tak akan Aku ciptakan semesta." Maka, tak ada kemuliaan di muka bumi ini kecuali lantaran ia kecipratan cahaya Nabi. Karenanya, kita melakukan berbagai daya dan upaya untuk kecipratan, dengan meneladani akhlaknya, bershalawat padanya, merayakan maulidnya, bersenandung syair tentangnya, dan apa pun juga.

            Rumi seolah sedang ingin mengajarkan bahwa jangankan dengan Sang Nabi, dengan sandalnya pun kita tak bisa dibandingkan. Sebagaimana dalam surah Thaha (20) ayat 12. Maka, mustahil kita membandingkan diri kita dengan Nabi. Nabi adalah manusia teragung yang disebut sebagai insan kamil, manusia sempurna. Sedangkan kita adalah manusia yang hina, dina, sarat akan lupa, khilaf, salah, dan lain sebagainya.

            Namun, di sisi lain Al-Qur'am menegaskan bahwa Nabi adalah manusia biasa seperti kita. Hikmahnya adalah agar kita tak punya alasan bahwa kita tak bisa meneladani Nabi karena ia seorang nabi yang berbeda dengan kita. Jika kita diminta meneladani malaikat, tentu tidak akan pernah bisa, karena malaikat berbeda dengan kita secara penciptaan yang memang tak memiliki nafsu. Sedangkan Nabi diciptakan sebagai manusia seperti kita, agar bisa dijadikan teladan dan memang Allah mengutusnya salah satunya sebagai teladan yang agung bagi umat manusia. Kita diwajibkan mengikuti jalan dan segala tingkah laku Nabi. Meskipun dalam tingkatan bahwa ia adalah manusia sempurna dan teragung di sisi Allah tentu tak akan pernah bisa dicapai oleh manusia mana pun. Namun, setidaknya kita mencoba mendekati semampu kita.

            Terkait dengan itu, minimal ada tiga perbedaan mendasar antara kita dengan Nabi. Yang pertama adalah bahwa Nabi selalu melihat kebaikan di tengah keburukan. Nabi selalu mencari secercah cahaya di tengah kegelapan. Nabi selalu fokus pada kelebihan di tengah kekurangan. Karenanya ia selalu optimis.

            Ketika Nabi diusir oleh penduduk Thaif, dilempari dan diolok-olok misalnya, Jibril menawarkan untuk melempar gunung di sekitar Thaif kepada penduduj Thaif yang menghina dan menyudutkan Nabi. Namun Nabi menolak dan justru mendo'akan orang-orang thaif agar anak-anak mereka kelak menjadi pengikutnya, yang setia kepada Islam.

            Ketika jenazah Yahudi digotong lewat depan Nabi, sebagaimana dikisahkan dalam riwayat Imam Bukhari. Nabi berdiri sebagai bentuk akhlak pada jenazah itu. Sahabatnya memberi tahu Nabi bahwa yang lewat adalah jenazah Yahudi. Nabi menjawab, "Bukankah dia juga manuia?!"

            Bilal, budak berkulit hitam. Tak ada yang memandangnya. Namun, Nabi memperhatikannya hingga mengetahui kelebihannya, yakni suaranya yang indah. Maka ia kemudian dimuliakan dengan diangkat menjadi muazin Nabi. Nabi selalu optimis melihat orang lain, betapa pun orang itu buruk atau dipandang kurang oleh orang lain. Ia selalu melihat kebaikan pada diri seseorang dan menemukan kelebihannya.

           Sedangkan sebagian kita cenderung justru mencari-cari keburukan atau kekurangan di tengah kebaikan atau kelebihan yang begitu banyak pada orang lain. Orang sudah menjadi pribadi yang baik, kita masih terus mencari keburukannya atau kekurangannya untuk kita hina. Lalu kita bandingkan dengan diri kita, untuk kit aletakkan di bawah kita. Sehingga kita selalu pesimis dalam melihat orang lain. Relasi antara kita dengan orang lain pun menjadi buruk.

           Yang kedua, pandangan Nabi selalu berorientasi mempersatukan. Sebelum diangkat jadi Nabi, pada sekitar 606 M atau 16 tahun sebelum Hijriah, masyarakat Mekkah melakukan pemugaran Ka'bah. Namun, terjadi perselisihan tentang siapa yang akan mengembalikan Hajar Aswad ke tempatnya semula. Semua tokoh suku saat itu merasa paling berhak. Hingga mereka bersitegang dan nyaris konflik, sebab itu soal prestise. Bahkan keluarga Abd' Dar membawa bejana berisi darah, lalu tangannya dimasukkan dan bersumpah tak akan memberikan selain keluarganya untuk mengembalikan Hajar Aswad ke tempatnya.

          Lalu, salah satu tokoh besar dan tertua saat itu, yang begitu disegani dan dipatuhi, yakni Abu Umayyah bin Al-Mughirah dari Bani Makhzum mengemukakan agar kehormatan itu diserahkan para orang yang pertama memasuki pintu Shafa keesokan haarinya. Dan ternyata Nabi yang pertama masuk. Semua orang saat itu berpikir bahwa Nabi akan mengambil Hajar Aswad dan meletakkan di tempatnya dengan penuh kebanggaan. Dan jika Nabi melakukan itu, sah-sah saja karena itu memang haknya berdasarkan kesepakatan semua orang saat itu. Tapi, Nabi berkata: "Kemarikan sehelai kain." Nabi hamparkan kain itu dan letakkan Hajar Aswad di tengah-tengah kain. Lalu Nabi berkata. "Hendaknya setiap kepala suku memegang ujung kain ini." Lalu mereka membawanya bersama-sama. Sesampai di temmpat peletakkan, Nabi mengambi Hajar Aswad dan meletakkannya. Keputusan iu memuaskan semua suku. Prosesi itu pun tak menyisakan sakit hati di setiap kepala suku. Konflik tak terjadi, ketegangan mereda, dan persatuan terajut di antara mereka. Jika kita tidak menemukan alasan untuk bersatu dengan orang lain, baik itu karena agamanya, karena imannya, atau lainnya, maka cukup persamaan kita sebagai sesama manusia menjadi landasan untuk bersatu, berangkulan, dan menjalin persaudaraan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun