Pengadilan Niaga Semarang menyatakan perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, yaitu PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) berada dalam status pailit. Putusan itu sendiri dibacakan dalam sidang pada hari Rabu, 18 Desember 2024 lewat putusan PN Semarang atas perkara nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg. Sebenarnya PT Sritex ini telah beberapa kali mengalami pasang surut dalam hal penanganan utang dan gugatan dari perusahaan lainnya, seperti gugatan CV Prima Karya dan PT Indo Bharat Rayon. Di tengah banyaknya tantangan yang terjadi, Sritex selalu dapat bangkit dan menyelesaikan masalahnya dengan berbagai metode dan kebijakan yang dilakukan. Namun, dalam kasus pailit terbarunya ini, Sritex seolah kehabisan cara dan mati langkah untuk mengatasinya. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), yang dimaksud Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Berangkat dari kasus yang melibatkan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Â yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang. Permohonan kasasi Sritex kepada Mahkamah Agung (MA) ditolak, mempertegas status hukum dari kepailitan perusahaan tersebut. Namun, pemerintah melalui Menko Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mendorong Sritex untuk tetap berproduksi guna menjaga lapangan kerja dan mengurangi dampak sosial dari pemutusan hubungan kerja (PHK). Di sisi lain, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) sebagai salah satu kreditur utama menyatakan akan menghormati putusan MA dan terus berkoordinasi untuk menyelesaikan persoalan piutang. Berdasarkan laporan keuangan konsolidasi Sritex per 30 Juni 2024, Â utang yang dimiliki oleh perusahaan tekstil ini adalah sebesar US$ 71.309.857 atau Rp1,153 triliun (kurs Rp16.180). Jumlah itu berubah menjadi US$ 72.916.624 atau sekitar Rp1,179 triliun pada laporan keuangan konsolidasi Sritex per September 2024
Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi aspek penting yang tidak bisa diabaikan dalam kasus ini. CSR adalah tanggung jawab perusahaan terhadap dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari operasionalnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam situasi pailit, CSR Sritex diwujudkan melalui upaya mempertahankan karyawan dan menghindari PHK sebanyak mungkin. Hal ini mencerminkan bahwa meskipun menghadapi tekanan keuangan, Sritex berupaya tetap menjalankan tanggung jawab sosialnya terhadap karyawan sebagai salah satu pemangku kepentingan utama. Industri tekstil, seperti Sritex, juga menyerap tenaga kerja salam jumlah besar di Jawa Tengah sebagai tempat pabrik Sritex beroperasi. Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah menunjukkan jumlah tenaga kerja di industri tekstil mencapai 94.732 orang pada 2020 silam, dan jumlahnya terus bertambah pertahunnya. Jumlah tersebut setara dengan 5% dari total pekerja di Jawa Tengah.
Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) mencerminkan nilai-nilai keadilan dan keberlanjutan yang menjadi pilar dalam dunia usaha. Prinsip ini menegaskan bahwa sebuah perusahaan bukan hanya entitas ekonomi semata, tetapi juga aktor sosial yang memiliki kewajiban terhadap masyarakat. Dalam situasi kepailitan, prinsip keadilan mensyaratkan perusahaan untuk memastikan bahwa hak-hak semua pemangku kepentingan, termasuk karyawan, kreditur, dan masyarakat luas, tetap dihormati. Berkaca pada kasus pailit Sritex, keberlanjutan operasional perusahaan adalah sebagai suatu upaya untuk menjaga stabilitas sosial atas hajat hidup puluhan ribu karyawan, sekaligus mencegah aspek yang lebih luas, yaitu krisis ekonomi. kepailitan sebuah perusahaan besar seperti Sritex tentu akan memiliki dampak sosial yang luas, terutama terhadap karyawan dan masyarakat sekitar. Dengan lebih dari 50 ribu karyawan, Sritex adalah satu satu tulang punggung perekonomian masyarakat Sukoharjo dan sekitarnya, yang sekarang terancam kehilangan pekerjaan. Implikasi sosial dari kepailitan ini sangat signifikan, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang akan terjadi dapat meningkatkan angka pengangguran, mengurangi daya beli masyarakat, dan memicu ketidakstabilan sosial.
Kepailitan Sritex secara tegas telah diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan menyatakan bahwa kepailitan dapat diajukan jika debitur memiliki dua atau lebih kreditur serta tidak mampu membayar utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Dalam hal ini, Â permohonan pailit yang diajukan oleh PT Bank Central Asia Tbk (BCA) dan PT Indo Bharat Rayon didasarkan pada terpenuhinya syarat formil dan materiil dalam undang-undang tersebut. Namun, penting untuk dicatat bahwa CSR juga memiliki landasan yuridis yang kuat melalui Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang mewajibkan perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosialnya, termasuk dalam situasi krisis seperti kepailitan. Langkah hukum Peninjauan Kembali (PK) yang akan ditempuh oleh Sritex merupakan bagian dari hak hukum perusahaan untuk mencari keadilan. Pasal 69 UU No. 37 Tahun 2004 mengatur bahwa debitur yang dinyatakan pailit masih dapat mengajukan PK jika terdapat keadaan baru (novum) atau kekhilafan hakim dalam pengambilan putusan sebelumnya.
Adagium hukum klasik "salus populi suprema lex"Â yang berarti bahwa kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi, menjadi relevan dalam merefleksikan penerapan CSR dalam kepailitan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Dalam hal ini, CSR tidak hanya sekadar memenuhi kewajiban formal, tetapi menjadi sebuah instrumen penting untuk melindungi kepentingan sosial ekonomi karyawan dan masyarakat luas. Ketika sebuah perusahaan mengalami kepailitan, fokus tidak boleh hanya pada penyelesaian utang dan hubungan kreditur-debitur semata, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak ekonomi yang lebih luas terhadap para pekerja yang menggantungkan hidupnya pada kelangsungan operasional perusahaan. Dengan lebih dari 50 ribu karyawan, langkah Sritex untuk tetap berproduksi dan meminimalkan PHK mencerminkan penerapan prinsip CSR yang sejajar dengan adagium ini, yakni menjadikan kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas utama.
Kasus kepalilitan dari PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) ini mencerminkan adanya sebuah tantangan besar dalam menjaga antara keseimbangan bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Meskipun permohonan kasasinya ditolak oleh Makhamah Agung, Pemerintah tetap berupaya mendorong Sritex untuk melanjutkan operasionalnya demi mempertahankan lapangan kerja dan menghindari PHK masal. Keberadaan lebih dari 50 ribu karyawan menjadikan Sritex sebagai salah satu pilar ekonomi masyarakat Sukoharjo dan sekitarnya. Selain itu, kasus kepailitan Sritex dan tanggung jawab sosialnya ini telah diatur secara hukum berdasarkan Undang-Undang tentang Kepailitan serta Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang mewajibkan perusahaan untuk tetap menjalankan tanggung jawab sosial meskipun dalam kondisi krisis. Dengan demikian, penyelesaian kepailitan Sritex harus memperhatikan dampak sosial yang lebih luas, termasuk menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya tanpa mengabaikan aspek yuridisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H