Pada saat itu konflik yang terjadi di Negara Indonesia Timur semakin memanas akibat banyaknya golongan unitarisme yang menggelar demonstrasi dan mengeluarkan resolusi tentang penggabungan Negara ini kedalam Negara RI, padahal berdasarkan komposisi suara di DPR negara tersebut, 2/3 dari mereka ingin tetap mempertahankan Negara Indonesia Timur sebagai bagian dari RIS (Ba'in, 1996:117).
Akibat hal ini kelompok federalis juga melakukan tindakan serupa, mereka banyak menggerakkan masa untuk menyampaikan aspirasinya agar NIT tetap tergabung kedalam RIS, hal inilah yang membuat iklim politik dan kontestasi demonstrasi di NIT semakin menegangkan, Kondisi demikianlah yang menyebabkan golongan federalis bertekad untuk tetap mempertahankan RIS.
Ditengah kekacauan politik dan ancaman disintegrasi inilah Natsir mengaplikasikan pemikirannya dan berusaha memperbaiki situasi dengan mengajukan Mosi Integral dalam sidang parlemen pada tanggal 3 April 1950. Dalam mosinya, Natsir mendorong pemerintah agar mengambil langkah inisiatif dalam mengatasi persoalan dengan setidaknya menyusun sebuah konsepsi penyelesaian terhadap permasalahan yang telah meluas akibat dari perkembangan politik di Indonesia dengan cara-cara integral dan program-program tertentu (Kahin, 2012:65).
Pengajuan mosi ini dilatarbelakangi oleh pandangannya yang menganggap bahwa persoalan disintegrasi yang sedang dihadapi bangsa Indonesia pada saat itu bukanlah dalam artian sempit tentang pertentangan unitarisme dan federalisme. Secara lebih luas, persoalan yang ada menurutnya adalah tentang mentuntaskan produk perjuangan masa lampau yang nyatanya seakan masih menyimpan "duri dalam daging". Dengan kata lain, Natsir beranggapan bahwa persoalan yang terjadi bukanlah tentang bentuk negara, tetapi tentang konstelasi pergerakan rakyat yang akan semakin meluas dan dapat membahayakan kehidupan bangsa apabila tidak segera ditangani.
Gagasan Natsir dalam perkembangannya mendapat tanggapan positif oleh seluruh pimpinan fraksi di parlemen RIS. Mohammad Hatta yang saat itu menjabat sebagai Perdana Mentri menyatakan bahwa mosi yang digagas Natsir akan menjadi pedoman dalam penanganan masalah yang terjadi.
Dalam hal ini pemerintah RIS dan RI bertindak cepat, enam pekan setelah Natsir menyampaikan gagasannya, pada tanggal 19 Mei 1950 diselenggarakan sebuah pertemuan antara pemerintah RIS yang diwakilkan NIT dan NST dengan pemerintah RI di Jakarta. Pertemuan ini menghasilkan sebuah Piagam Persetujuan RIS-RI yang akhirnya membentuk kesepakatan mengenai pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Berdasarkan uraian diatas, nampak jelas bahwa latar belakang kondisi sosio-kultural, sosialisasi nilai-nilai keIslaman, dan sentuhan pengetahuan Barat dalam perjalanannya sangat mempengaruhi pemikiran politik Islam Mohammad Natsir. Secara substansial terlihat bahwa terdapat elaborasi pemikiran antara sisi religiusitas dengan aspek intelektual sekuler. Dengan kata lain, terlihat bahwa Natsir berhasil mengawinkan pemikiran modern dengan pemikiran Islam. Fondasi pemikiran inilah yang nyatanya secara luas menghasilkan sisi pemaknaan kebangsaan yang kongkrit kepada Natsir. Mosi Integral yang beliau cetuskan menjadi bukti nyata dari kebijaksanaannya dalam mengaplikasikan pemikiran yang secara tersirat telah mengalami penyesuaian dengan kondisi sosio-politik yang terjadi di Indonesia pada saat itu.
Daftar Pustaka
Ba'in. (1996). Terbentuk dan Runtuhnya Negara RIS 1945-1950. (Tesis: Universitas Indonesia).Â
DDII. (2019). Mohammad Natsir: Sebuah Biografi. (Jakarta: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia).
Emi Setyaningsih, Emi. (2016). "Perjuangan dan Pemikiran Politik Mohammad Natsir (1907-1993)". Jurnal TAPIs Vol. 12, No. 2.Â