Mohon tunggu...
Hafizh Zulmar
Hafizh Zulmar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Peminat sejarah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mosi Integral: Buah Pemikiran Mohammad Natsir dalam Menghadapi Ancaman Disintegrasi Bangsa

27 Juli 2021   19:34 Diperbarui: 27 Juli 2021   19:36 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alam pemikirannya ini nampak terimplementasi dari beragam tulisan yang beliau buat. Semenjak lulus dari bangku pendidikan, beliau memutuskan untuk menerbitkan jurnal Pembela Islam pada tahun 1930. Dalam banyak tulisannya ini, Natsir seringkali menggunakan nama samaran "Is" dan membahas masalah mendasar mengenai tempat Islam dalam gerakan nasionalis di Indonesia.

Diantara judul-judul tulisan mengenai Islam dan nasionalisme yang pernah ia buat adalah; (1) Islam bukan sekedar agama dalam arti hanya menyembah Allah; (2) Islam menentang kolonialisme, (3) Islam menawarkan landasan ideologis bagi negara merdeka; (4) Umat Islam berkewajiban menyelenggarakan negara merdeka itu atas dasar-dasar yang ditentukan oleh Islam; (5) Tujuan ini tidak dapat dicapai oleh umat Islam jika mereka berjuang untuk mencapai kemerdekaan dalam partai nasionalis belaka, terlebih lagi jika partai ini membenci Islam; (6) Oleh karena itu Umat Islam sejak awal masuk dan memperkuat perjuangan kemerdekaan yang didasarkan pada cita-cita Islam (Kahin, 2012:15).

Lahirnya tulisan-tulisan Natsir mengenai korelasi antara Islam dengan realitas nasionalisme dan demokrasi ini mencerminkan bahwa secara tersirat beliau memandang Islam bukan hanya tentang bagaimana hubungan seorang individu dengan tuhannya, bagi Natsir secara lebih luas Islam juga menjadi landasan yang tepat dalam mengatur hubungan sosial, politik, dan aspek kehidupan lainnya (Setyaningsih, 2016:80).

Berdasarkan bentuk implementasi pemikiran politiknya, secara substansial terlihat bahwa perjalanan intelektual Natsir membuatnya seakan mengelaborasi dua pengetahuan sekaligus, yaitu Islam dan Barat. 

Disatu sisi Islam menjadi fondasi fundamental di dalam kehidupannya, disisi lain khazanah Barat beliau jadikan sebagai akomodasi dalam menganalisis dan menafsirkan realitas. Natsir berhasil merekonsiliasi pemikiran-pemikiran modern dengan pesan-pesan dan nilai keIslaman. Fondasi inilah yang dalam perjalanannya ia sesuaikan dengan situasi sosiopolitik yang ada di Indonesia, sehingga dalam perkembangannya beliau memiliki karakteristik dan visi tersendiri dalam memandang persoalan negara dan kebangsaan.

Ciri khas visi dan karakteristik tersebut nampak jelas ketika Indonesia memasuki tahun 1946-1950, dimana Indonesia mengalami transformasi bentuk menjadi negara-negara federal. Pada periode ini Natsir melahirkan gagasan bersejarah yang dalam perjalanannya berhasil menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman disintegrasi bangsa. Gagasan memorial tersebut dikenal sebagai "Mosi Integral".

Latar belakang munculnya ide tentang Mosi Integral sangat dipengaruhi oleh kondisi Indonesia yang pada saat itu sedang tidak menentu. Konferensi Meja Bundar (KMB) berimplikasi terhadap lahirnya penyerahan kedaulatan Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949 berdampak pada terlaksananya konsep negara bagian yang diprakarsai Van Mook dalam Perjanjian Linggarjati. Perjanjian ini menyatakan bahwa tidak akan mengurangi hak suatu daerah untuk membentuk Negara Bagian dan untuk sementara menetapkan Indonesia menjadi tiga negara bagian; Negara RI, Negara Kalimantan, dan Negara Indonesia Timur.

Hal inilah yang kemudian menjadi akar permasalahan. Setelah kedaulatan diserahkan, terjadi ketidaksesuaian dalam pengimplementasian perjanjian ini, jumlah Negara Bagian yang ada nyatanya berkembang menjadi enam belas bagian (DDII, 2019:201). Hal tersebut menyebabkan terjadinya gejolak di berbagai daerah di Indonesia. Kerusuhan, konflik, dan demonstrasi terjadi di berbagai daerah.

Rakyat pada saat itu semacam mengalami disorientasi karena mereka pada dasarnya belum siap menghadapi pola transisi yang sedang dialami Indonesia. Diantara akibat nyata dari disorientasi dalam hal ini adalah timbulnya beragam resolusi dari berbagai daerah seperti Malang, Bekasi, dan Sukabumi yang menyatakan akan memisahkan diri dari negara bagiannya masing-masing pada bulan Januari 1950. Disatu sisi disorientasi demikian juga menyebabkan munculnya beragam demonstrasi di daerah lainnya seperti di Jakarta, Makassar, dan Sumatra Timur yang bahkan hingga melibatkan aparat dalam menertibkan keaadaan.

Konflik dan perdebatan juga timbul di kalangan elit politik Indonesia. Pembentukan RIS membuat elit politik yang tergabung di dalam kabinet RIS seakan terpolarisasi kedalam dua golongan, yaitu kelompok unitarisme dan federalis. Kelompok unitarisme diantaranya diwakili oleh Soekarno dan Sultan Hamengkubuwono IX yang sangat bertekad untuk secepat mungkin menghapuskan sistem federal. Mereka sangat menghendaki Indonesia agar menjadi negara kesatuan karena terdapat kesamaan visi dalam memandang realitas yang ada. Mereka sepakat berpandangan bahwa wadah negara kesatuan yang ada nantinya akan menyatukan bangsa Indonesia yang beraneka ragam (Ba'in, 1996:107).

Dilain sisi, golongan federalis diantaranya diwakilkan oleh Ide Anak Agung Gde Agung dan Sultan Hamid II. Secara substansial penolakan golongan federalis terhadap konsep negara kesatuan dilatarbelakangi oleh adanya pandangan yang menganggap bahwa kecenderungan negara untuk bersatu akan menimbulkan perpecahan yang lebih luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun