Padahal kita bisa optimalkan juga peran BUMN sebagai pemasok devisa negara, akan tetapi realitasnya BUMN kita malah loyo (defisit). Laporan kuartal pertama PLN rugi 6 triliun, Pertamina rugi 5 triliun, BPJS lebih parah 10 triliun dan Garuda rugi 2 triliun. Sehingga kondisi negara tidak banyak mengalami perubahan dan mengelola persoalan ini . Selain faktor devisa faktor  Amerika Serikat juga dominan.
Peranan Paman Sam
Penguatan dan pelemahan rupiah tidak bisa dipisahkan dari kebijakan ekonomi politik AS, ketika AS memutuskan untuk menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga maka itu akan mempengaruhi posisi rupiah terhadap dollar AS.
Bahkan para pakar ekonomi sering berguyon seperti ini, kalo AS kena "Flu" maka Indonesia bisa demam". Hal ini dikarenakan kita sangat ketergantungan dengan AS. Hal itu dibuktikan dengan 90 % transaksi luar negeri Indonesia menggunakan dollar AS. Jadi kita sangat terikat oleh AS.
Apalagi pada awal tahun 2018 kemaren kita sama2 menyaksikan shifting kebijakan ekonomi AS, dari Quantitative Easing (QE) bergeser ke Quantitative Tightening (QT), yaitu dari pelonggaran keuangan (membeli asset public, menurunkan suku bunga agar uang dimasyarakat banyak) ke pengetatan keuangan (menjual asset publik, menaikkan tingkat suku bunga, agar uang dimasyarakat berkurang). kebijakan berimplikasi pada jumlah dollar di seluruh dunia yang semakin menipis dikarenakan dollar AS kembali ke AS alias "pulang kampung".
Tapi kebijakan QT ini ternyata tidak terlalu menggerus nilai tukar mata uang negara, seperti poundsterling, dollar Singapura dan dollar Australia. Hal ini membantah pernyataan Menteri terbaik se-dunia yang menyatakan pelemahan mata uang terjadi di semua negara. Bahkan Singapura, nyaman dengan kondisi ini. Karena paham kemana harus merespon kenaikan suku Bunga The FED sejak januari kemaren, makanya di singapura sejak januari juga sudah menaikan tingkat suku bunganya dari 5,28% (januari) ke 5,33% (februari-april) silahkan cek saja ke (www.tradingeconomics.com). Berbeda dengan Indonesia yang tidak merubah tingkat suku bunganya sejak september 2017 hingga sekarang di poin 4,25%.
Peristiwa ini merupakan tamparan kecil dari Amerika untuk para eksekutif yang menjabat hari ini, karena Indonesia pada masa pemerintahan ini sangat ke kiri Tiongkok, sehingga AS sebagai sekutu lama Indonesia menegur melalaui kebijakan ini, ditambah hubungan Tiongkok dengan AS sedang "panas", menyusul kebijakan "protektif" Donald Trump terhadap barang yang masuk ke AS terkhusus dari Tiongkok. Apalagi pernah ada wacana Indonesia mau ganti kiblat ke Yuan (Tiongkok). Sehingga perlu rasanya kita berhati-hati dalam melangkah, agar selamat dari trap ini.
Najib salah satu korban dari perang kepentingan negara super power ini, di masa pemerintahannya seluruh sisi selatan Malaysia tersandera ke Tiongkok menjadi Selat Malaka jadi "Quasi Teritori" Tiongkok. Merasa terganggu kepentingannya, AS tidak mungkin menyerang Tiongkok, karena AS masih memiliki utang ke Tiongkok, maka dari itu yang menjadi sasaran serangnya ke Malaysia,lewat peristiwa hilangnya Pesawat Malaysia Airlines MH 370, MH 17 Malaysia yang di eksekusi untuk menurunkan kepercayaan publik pada Najib. Ditambah dengan dibukanya oleh AS kasus korupsi 1MDB dan terkahir terkuaknya oleh FBI kapal pesiar milik Najib di Benoa, Bali, serta di blow up seminggu full di media TEMPO tentang yang menceritakan dosa Najib. Sehingga kita ketahui bersama hasilnya hari ini. Â
Melihat kondisi ini, kita ibarat seperti si buah simalakama, melangkah kiri salah dan ke kanan salah, kita seolah-olah terjebak dalam kekuatan besar ini, Tapi percayalah disetiap kita pasti bisa keluar dari kondisi ini. Kita cukup fokus pada masalah kita dan berani untuk keluar dari kondisi ini,
Kembali keakar masalahnya, yang kalo kita runut kejadian depresiasi rupiah ini bukanlah kali pertama dan ini merupakan kejadian rutin yang kita alami selama republik ini berdiri, kalo misalkan kondisi rupiah-dollar AS itu, seperti detak jantung kita yang terekam di monitor medis, kadang naik dan turun yang secara tidak beraturan.
Namun, walaupun kita berkoalisi erat dengan AS, tapi tidak akan pernah lepas dari depresiasi rupiah. Karena, banyak faktor yang mampu melemahkan nilai rupiah kita, mulai dari jenis mata uang yang kita gunakan yaitu fiat money (uang kertas) yang digunakan produksi tanpa back up dari sesuatu yang berharga dan prilaku pasar yang cenderung spekulatif yang keputusannya tidak jauh dari bunga. Sehingga kita butuh mata uang yang mampu cenderung stabil. Bersambung