DI tengah krisis multidimensi yang menyelimuti kehidupan umat dewasa ini, rasanya, kehadiran sosok-sosok teladan amat dirindukan. Umat membutuhkan kehadiran orang yang mampu memberikan sentuhan-sentuhan damai dalam kehidupan, serasa suasana hidup bersama Nabi muncul kembali di alam masa kini. Namun jika harapan ini tampak jauh dari kenyataan, ada baiknya jika kita mencoba mengintip barang sejenak beberapa fragmen kehidupan orang-orang di sekeliling Nabi yang sarat dengan nilai-nilai keteladanan. Kali ini, kita akan mencoba menyelami sisi-sisi kehidupan sahabat Abu Ubaidah ibnul Jarrah.
Kita perlu mengkaji sejarah orang besar ini untuk mengutip mutiara hikmah dan pelajaran darinya. Terlebih, di tengah iklim budaya masyarakat yang telah banyak meremehkan akhlak menjaga amanat. Kecurangan, khianat dan penyelewengan wewenang telah menjadi menu harian yang tak pernah berjeda menghiasi media massa.
Siapa Beliau?
Ibnu Hajar al-Asqalani, dalam Fathul Bari, menyebutkan nama asli beliau beserta nasabnya, yaitu ‘Amir ibnu Abdillah ibnul Jarah ibnu Hilal ibnu Uhaib ibnu Dhabah ibnul Harits ibnu Fihr. Nasab beliau ini bertemu dengan nasab Rasulullah pada Fihr ibnu Malik.
Syaikh Abdurrahman Raf’at Basya, dalam Shuwarun min Hayatish Shahabah, menggambarkan bentuk dan ciri-ciri fisik sahabat yang mulia ini, lewat ungkapan, “Wajahnya bersih lagi elok. Pandangan matanya mempesona, tubuhnya kurus tinggi, kulit pipinya tipis, membuat orang yang memandangnya merasa senang dan menyejukkan hati orang yang menjumpainya.”
Untuk karakter kepribadiannya, beliau juga menulis, “Dia lemah lembut dalam pergaulan, sangat rendah hati, besar pula rasa malunya. Namun, bila keadaan genting dan membutuhkan perhatian sungguh-sungguh, dia menjadi seekor singa nan garang. Dia laksana mata pedang yang berkilat-kilat karena ketajamannya. Dia adalah orang yang terpercaya dari umat Muhammad.”
Abu Ubaidah termasuk orang-orang yang masuk Islam ketika fajarnya baru saja menyingsing (assaabiquunal awwaluun) dan termasuk sepuluh orang yang diberi kabar gembira sebagai penghuni surga. Beliau memeluk Islam selang sehari setelah Abu Bakar ash-Shiddiq. Bahkan, Abu Bakarlah yang mengajaknya masuk Islam. Bersama Utsman bin Mazh’un, Abdurrahman bin Auf dan Arqam bin Abil Arqam, Abu Ubaidah mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Rasulullah.
Mereka inilah sendi-sendi awal Islam yang mengalami ujian-ujian berat bersama Rasulullah. Bahkan Abu Ubaidah mengalami cobaan melampaui batas yang bisa dibayangkan manusia. Beliau dihadapkan pada dua pilihan: ayahnya yang kafir atau keislamannya yang diridhai Allah.
Di tengah perang Badar yang berkecamuk, Abu Ubaidah harus berlari kesana-kemari menghindari kejaran ayahnya yang berada di barisan pasukan kafir Quraisy. Semakin mengelak, justeru ayahnya semakin bernafsu memburu Abu Ubaidah. Hingga tak ada pilihan lain. Beliau memutuskan untuk menghadapi ayahnya. Pertempuran Badar yang sengit, menjadi saksi bagi kekokohan iman Abu Ubaidah. Walau hatinya merasa berat, tapi demi menegakkan amanat Allah dan Rasul-Nya, Abu Ubaidah terpaksa membunuh ayahnya. Beliau membunuhnya semata-mata karena kemusyrikan yang ada pada diri ayahnya.
Setelah kejadian ini, Allah menurunkan firman-Nya, “Kamu tidak akan menjumpai sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka...[hingga akhir ayat].” (al-Mujadalah: 22)
Amiinul Ummah
Pada suatu ketika, utusan masyarakat Najran mendatangi Rasulullah di Madinah. Mereka memohon agar Rasulullah berkenan mengutus seseorang untuk mengajarkan agama di tengah masyarakat Najran. Rasulullah menjanjikan mereka, “Esok hari, aku akan mengutus bersama kalian seorang yang benar-benar amin (menjaga amanat), benar-benar amin, benar-benar amin.”
Keesokan harinya, usai shalat zhuhur, Rasulullah melayangkan padangan ke segenap jamaah. Para sahabat berusaha memperlihatkan diri mereka masing-msing dengan harapan Rasulullah akan memilihnya untuk pergi bersama utusan Najran. Bukan karena apa-apa, namun mereka berharap sekiranya dirinyalah orang yang memiliki sifat seperti yang disebut Rasul sebagai “seorang yang benar-benar amin”.
Debar hati para sahabat terhenti ketika Rasulullah memanggil nama Abu Ubaidah. Kata Rasul, “Wahai Abu Ubaidah, pergilah engkau bersama dengan mereka (utusan masyarakat Najran). Jalankan hukum dengan penuh kebenaran terhadap segala apa yang mereka perselisihkan.”
Sebuah riwayat dari sahabat Anas ibnu Malik menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِيْناً وَإِنَّ أَمِيْنَناَ أَيَّتُهاَ الأُمَّةُ أَبُوْ عُبَيْدَةَ ابْنُ الْجَرَاحِ
“Setiap umat memiliki orang kepercayaan. Dan orang kepercayaan kita, wahai sekalian umat (Islam), adalah Abu Ubaidah ibnul Jarah.” (h.r. Al-Bukhari)
Menjelang wafat, Umar pernah berkomentar tentang Abu Ubaidah bahwa seandainya Abu Ubaidah masih hidup, beliau akan menunjuknya sebagai khalifah pengganti beliau. Beliau katakan, “Dan kelak bila Allah bertanya kepadaku tentang apa sebabnya, aku akan menjawab, ‘Aku memilih dia karena dia seorang pemengang amanat umat dan pemegang amanat Rasulullah.’”
Kebesaan Hati Sang Panglima
Pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, panglima perang tentara Islam di wilayah timur, Khalid bin Walid, telah berhasil memenangi pertempuran melawan tentara Persia. Tentara Islam kala itu mampu membungkam musuh di 15 medan tempur. Sementara, di wilayah barat (Syam), yang menjadi pucuk pimpinan sekaligus bertugas menghadapi kekuatan super power Romawi adalah Abu Ubaidah ibnul Jarah.
Setelah kemenangan besar yang berhasil menumbangkan kekuatan raksasa Persia, datang perintah dari Khalifah agar Khalid bertolak ke Syam, dan menemui Abu Ubaidah ibnul Jarah di Yarmuk untuk menyampaikan sepucuk surat titipan dari Khalifah.
Maka, dibukalah surat itu oleh Abu Ubaidah. Bunyinya,
“Assalamualaikum. Amma ba’du. Aku mengangkat Khalid untuk memimpin pasukan di Syam. Jangan Anda membantah dia. Dengarkan dan patuhi pimpinannya. Ini bukan dari dia. Tetapi menurut dugaanku dia memiliki kepandaian tempur yang tidak Anda miliki. Wassalam.”
Ketika surat itu rampung dibacanya, Abu Ubaidah segera melaksanakan amanah khalifah. Dengan ringan, beliau serahkan kepemimpinan tentara di Syam kepada Khalid bin Walid. Kemudian, Abu Ubaidah mendampingi Khalid meraih kemenangan bersama pasukannya melawan tentara Romawi.
Begitulah beliau. Perintah khalifah tak membuat beliau merasa kecewa dan berkecil hati karena harus melepaskan jabatan sebagai panglima pasukan dan menjadi prajurit biasa. Namun, dengan penuh ketataan kepada perintah Khalifah yang bijak, beliau penuhi perintah itu.
Di masa pemerintahan Khalifah Umar ibnul Khathab, ketika kondisi relatif stabil, beliau memandang bahwa telah tiba waktunya untuk menyerahkan kembali tampuk kepemimpinan militer Syam ke tangan Abu Ubaidah. Khalid bin Walid telah mencapai sukses besar di medan pertempuran dan di saat damai Abu Ubaidah lebih tepat menduduki jabatan ini.
Kedudukan tertinggi dalam ketentaraan yang dipegang oleh Abu Ubaidah malah membuat beliau semakin rendah hati dan zuhud terhadap kemewahan dunia. Sikap beliau ini sangat berkebalikan seratus delapan puluh derajat dengan kenyataan yang kita saksikan hari ini. Para pejabat negara yang duduk di kursi kepemerintahan hidup bermewah-mewah dengan gaji besar, padahal kerja mereka tak sebesar gaji yang diterima. Sementara rakyat kecil kesulitan makan, mereka justeru menuntut kenaikan gaji dan mengajukan anggaran fasilitas serba mahal untuk kerja yang tak seberapa berat. Ini ironi yang sedang melanda umat Islam.
Sejak memegang jabatan kembali, nama beliau semakin tenar. Rakyat semakin memuji dan mengagumi kegiatan jiwa dan kesungguhannya dalam melaksanakan amanat. Ketenaran itu tidak membuat beliau lantas mabuk kekuasaan dan haus pujian, tidak. Malahan, beliau berpidato di depan rakyatnya,
“Wahai segenap manusia, sesungguhnya aku ini seorang muslim dari Quraisy. Tiada seorang pun dari kalian, yang merah maupun yang hitam, yang melebihi aku dalam bertakwa kepada Allah melainkan benar-benar aku ingin menggantikan kedudukannya.”
Di Mata Umar
Begitu besar arti seorang Abu Ubaidah ibnul Jarah bagi Umar ibnul Khathab. Pada suatu kesempatan lawatannya ke Syam, Khalifah Umar mengunjungi Palestina. Di keramaian orang-orang yang menyambutnya, Khalifah bertanya, “Mana saudaraku?”
Mereka balik bertanya, “Siapa?”
Khalifah menjawab, “Abu Ubaidah ibnul Jarah.”
Tak berselang lama, Abu Ubaidah muncul. Demi melihat Umar, keduanya saling berpelukan erat. Hangat dan mesra bagai dua orang kekasih yang melepas rindu karena telah lama tak bersua. Abu Ubaidah mengajak Khalifah berjalan menuju ke kediamannya di negeri rantau itu.
Setibanya di rumah Abu Ubaidah, Umar terkejut bukan kepalang. Ia melihat rumah itu kosong tanpa perabot. Yang terpampang hanya tombak, pedang, perisai perang dan sebuntal pakaian. Rupanya, panglima militer ini biasa merebahkan dirinya beralaskan kulit lapisan pelana dan kudanya, sementara buntalan pakaian itu beliau gunakan sebagai bantal.
Sambil tersenyum, Khalifah melontarkan pertanyaan, “Tidakkan engkau memakai untuk dirimu sebagaimana dipakai orang lain?”
“Wahai Amirul Mukminin, saya khawatir kalau-kalau nanti menjadi pembicaraan orang,” sahut Abu Ubaidah lembut.
Kerelaan hidup sederhana seperti ini tidak kita jumpai di kalangan para pejabat tinggi negeri ini yang katanya juga mengaku muslim. Padahal, para sahabat ini adalah manusia-manusia mulia binaan Rasulullah yang harus dicontoh oleh segenap umat yang mengaku pengikut beliau. Sungguh jauh akhlak kita dibandingkan mereka.
Akhir Hayat
Di sela-sela kesibukannya, suatu hari, Khalifah Umar mendapat kabar duka tentang wafatnya Abu Ubaidah. Saat itu, bola matanya meneteskan air mata. Beliau lantas berdoa agar Allah mencurahkan rahmat atas sahabatnya yang mulia itu. Beliau mengulangi lagi ucapan yang sering beliau katakan, “Kalau aku mempunyai suatu puncak keinginan, maka aku ingin suatu rumah yang di dalamnya penuh dengan orang-orang seperti Abu Ubaidah.”
Demikian akhir perjalanan hidup sang amiinul ummah. Beliau meninggal saat bertugas di Syam. Dan jenazah beliau dimakamkan di bumi yang pernah dibebaskannya dari cengkeraman kaum penyembah api dan berhala itu.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H