Mohon tunggu...
Hafiz Fatah
Hafiz Fatah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan

Menyukai topik lingkungan dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kita Akan Baik-baik Saja

26 Maret 2020   15:29 Diperbarui: 30 Juli 2024   15:53 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas menyemprotkan disinfektan di sebuah stadion sepak bola di Italia di tengah penyebaran virus korona covid-19. (Foto: ANSA/AFP / CIRO FUSCO)

Esai ini mengulas tentang wabah, kecemasan, dan lagu Psycho oleh Red Velvet.

Berita buruk seolah tak lagi terpisahkan dari keseharian kita. Pagi dimulai dengan kabar tentang kepergian orang-orang yang kita kenal membawa pergi semua pengetahuan dan kebijaksanaannya, siang kita mendengar juru medis kewalahan melakukan perawatan sebab alat dan fasilitas serba kurang, menjelang petang kita tahu berapa orang lagi yang bernasib buruk dan telah sedekat apa sebuah kutukan merangkak mendekati kita.

Bagian paling buruk dari itu semua adalah adanya dugaan kalau ini baru tepian kegelapan, skenario terparah menggambarkan kekacauan dalam skala yang belum pernah ada di sini sejak 2004 dan kita tak perlu berpura-pura tidak khawatir karenanya.

Panik dan cemas adalah hal yang wajar kita rasakan setiap mengendus bau bahaya. Bagian otak kita yang bertanggungjawab mengelola naluri bertahan hidup (kayaknya amigdala) mengirimkan sinyal pada tubuh untuk bersiap menghadapi situasi intense. Degup jantung dan tarikan nafas meningkat, demikian pula aliran darah menuju otak. Respon alami tubuh tersebut bertujuan untuk mendorong kita melakukan sesuatu. Sesuatu yang membuat kita merasa memegang kendali: fight or flight, tawur atau kabur.

Hanya saja, kecemasan dapat berkembang menjadi terlalu intens dan berbalik merugikan. Berapa orang coba yang sudah pusing dan mual-mual sebab kecemasannya memuncak mendengar rentetan berita buruk. Dalam level kerumunan, kepanikan bisa memicu perilaku ganas yang menyebabkan keperluan pokok menghadapi masa isolasi tidak terdistribusi merata. Hand sanitiser marak dibuat sendiri dengan alkohol yang sebetulnya lebih diperlukan di rumah sakit. Dalam sebuah kabar yang sumir dari Afrika Selatan, seorang pastor halu menewaskan puluhan anggota sebuah sekte gereja dengan meminta mereka menenggak disinfektan yang dipercaya sebagai air suci penangkal virus.

Hanya garis tipis yang menjadi batas antara waspada dan panik. Setelah kita paham dan peduli pada bahaya virus corona, tugas selanjutnya adalah menenangkan diri sendiri dan orang lain agar kecemasan kita tidak berakibat buruk.

Pemerintah sudah terbangun, sudah sadar situasi dan kini bekerja siang malam mengimbangi dokter dan perawat. Saya mendoakan mereka punya solusi untuk masalah ekonomi agar bisa lebih agresif menangani bencana ini. Bangsa ini juga tak kekurangan ilmuwan dan media yang masih sehat yang tak lelah berbagi gagasan tentang cara terbaik mengatasi pandemi.

Solidaritas masyarakat tak perlu diragukan, baik lembaga maupun individu banyak yang menggalang dana untuk meringankan beban rumah sakit. Juga untuk membantu meringankan beban rakyat miskin kota; kelompok masyarakat yang paling rentan setiap terjadi kelesuan ekonomi. Semuanya menerima iuran jutaan hingga miliaran rupiah. Hal-hal tersebut adalah pertanda baik yang sangat kita perlukan saat ini.

Kita bisa turut serta dengan banyak cara; bahkan membagikan hiburan, lawakan, dan resep masakan pun berharga. Hiburan memang bukan disinfektan, tidak bisa membunuh kuman. Tapi jelas lebih baik daripada mengumbar sumpah serapah. Kata Viktor Frankl, psikiater yang sintas dari kekejaman holokaus, humor adalah salah satu senjata jiwa kita untuk mempertahankan kewarasan dan menguasai keadaan. Di tengah pandemi, buat dan bagikanlah lebih banyak humor untuk mengimbangi kadar kabar buruk dan opini marah-marah. Menjaga emosi komunitas.

Menelpon dan berkirim pesan dengan orang-orang terdekat juga bisa membuat kita melalui masa jaga jarak ini tanpa harus stres. Saya sendiri merasa serbuan wabah ini menciptakan kondisi yang membuat saya lebih nyaman berkomunikasi dengan orang lain.

Bicara tentang hiburan, video klip Psycho oleh Red Velvet tengah malam tadi berhasil melewati angka putar 100 juta kali. Sebagai penggemar baru mereka, saya senang sekali. Lagu tersebut berkisah tentang hubungan dua orang, yang sekalipun sering hangat dan mesra, tak jarang pula berselisih dan keras satu dengan yang lain: gambaran realistis untuk memotret kompleksitas sebuah hubungan yang tak selalu manis, juga tak melulu pedih. 

Hubungan bermasyarakat tak jauh berbeda: sifat majemuknya membuat perbedaan pandangan dan konflik tak terhindarkan. Tapi tentu tidak selamanya kita saling bantah dan tidak dalam semua sendi kehidupan kita punya perbedaan. Pemeluk agama yang berbeda bisa punya pilihan politik yang sama. Pebisnis yang bersaing boleh jadi merindukan nabi yang sama.

Pendukung Persebaya dan Arema mungkin saja adalah teman sekelas yang setelah lulus menjalani masa pengangguran bersama. Penggemar Armada dan Hindia barangkali sama-sama bagian dari orang-orang yang langsung berdiri dan menari saat Didi Kempot mulai bersenandung, "kaya ngene rasane wong sing nandang kangen".

Kita memang tidak bisa rukun setiap hari. Namun kita bisa bergabung dan bekerjasama melemahkan gempuran wabah. Banyak cara untuk melakukannya, tapi pertama-tama, semua jenis partisipasi mensyaratkan kita untuk terlebih dulu menguatkan mental dan imunitas tubuh, menumbuhkan empati, dan memangkas egoisme. Orang Indonesia memang masih menunjukkan sifat jelek suka ngeyel dan menyepelekan, tapi itu soal ringan kalau ingat masyarakat kita di banyak tempat juga sudah terlatih untuk bekerjasama menghadapi masalah, sudah pernah remuk dan bangkit bareng-bareng. Teruji dari terpaan berbagai macam bencana.

Perang melawan penyakit ini memerangkap kita dalam situasi yang begitu absurd; belum ada yang tahu bagaimana kekuatan sesungguhnya musuh, belum ada yang bisa menjamin kita akan menang. Tapi bukankah di luar kemampuan manusia untuk menentukan hasil akhir? Kewajiban kita membantu mereka yang berada di garis depan dengan tidak memperburuk keadaan dan mereka yang kesusahan setelah pintu rezekinya dicekik pagebluk.

Ada banyak hal buruk yang bisa membuat kita merasa kalah, tapi tak kurang pula alasan untuk percaya kita semua akan baik-baik saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun