"Lupakan saja perempuan itu," katamu suatu ketika, "mending tenagamu dipakai untuk cari orang lain."
Kamu benar, dan meski kemudian tidak sungguh-sungguh kulakukan, pesanmu membantuku melewati kerasnya dampak penolakan. Satu orang tak menyukaiku bukan berarti aku layak masuk tong sampah karena sama-sama golongan benda yang terbuang. Bisa jadi cuma masalah ketidakcocokan.
Di seputar masa-masa percobaan yang sia-sia itulah aku meringkuk kelelahan di hati baikmu dan merasa menemukan rumah untuk pulang.
Kita sudah di bundaran Gelora Kotabaru dan akan segera sampai di stasiun dalam dua belokan. Ucapan selamat jalan itu mesti keluar tak lama lagi.
Mural pada tembok stadion yang menyuarakan beragam pesan kebudayaan dalam dominasi warna terang terasa seperti meneriakkan suara dari akar rumput. Di antara pesan yang disuarakan adalah tentang pentingnya mempertahankan sisi manusiawi kota di tengah guyuran modal raksasa dan anjuran untuk hidup rukun sesama warga kota.
Letupan kecil pecah dalam hatiku demi mengakui banyaknya suara yang masih terkubur tentang perempuan yang kuantar ke stasiun pagi ini. Suara yang mestinya kutarik keluar lebih dulu daripada basa-basi yang mudah menguap: akankah kusampaikan perasaanku padanya?
Perempuan itu kamu --kau tentu tahu maksudku. Sedetik kemudian kutanyakan padamu tentang kemungkinan kau kembali ke kota ini.
"Tergantung hasil tes kemarin. Kalau lolos, tes berikutnya di sini lagi. Pengumumannya masih lama."
Demi Tuhan, aku percaya sudah pernah melalui fase ini sebelumnya. Sudah kuucapkan selamat tinggal yang rasanya betul-betul terakhir, berpisah sebagai teman, dan meski tersuruk di awal, pelan-pelan terbiasa hidup tanpamu seperti sekira setahun lalu saat kita belum saling mengenal. Itu saat kau pulang ke kota asalmu setelah wisuda.Â
Kini kamu kembali ke kota ini beberapa hari untuk mengikuti seleksi calon pegawai sebuah jawatan milik negara dan tiga setengah menit awal perjumpaan di acara pertemuan lingkar pertemanan kita semalam sudah cukup untuk membuat perasaan itu kembali pasang.
Mengelilingi setengah badan stadion, dari sudut pandang sempit kulihat deretan mural tampak seperti berlarian ke belakang semakin cepat. Gambar-gambar itu terasa semakin gaduh. Pikiranku semakin keruh. Mengatakan kalau aku mencintaimu sama sekali tidak mudah. Itu barangkali memang penting, tapi belum tentu perlu. Dan tak mungkin kuucapkan sambil membelakangimu. Dan tak mungkin kulakukan di jalanan, saat desau angin dan mesin kendaraan lain bisa menenggelamkan suaraku, dan aku tak punya energi lagi mengulang kalimatku jika kamu tak mendengarnya dengan jelas.